30. Pembuktian Rasa Sayang

23 11 3
                                    


“Sekarang lo nggak bisa bohong.” Kalau sebelumnya hanya sangat mengganggu, kini Bara menjadi sangat amat mengganggu!

Shaula memang menyelamatkannya, tapi itu sama sekali tak berarti apa pun, Shaula hanya takut Bara meregang nyawa di sekolah mereka. Shaula hanya takut Bara mati konyol hanya untuk dendam-dendam tak jelas antar sekolah.

Kericuhan berakhir saat polisi datang dan mengamankan beberapa orang, kondisi tawaran yang babak belur juga katanya selamat dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit.

“Lo masih sayang sama gue La!” Bara menahan tangan Shaula yang tetap berjalan meski Bara terus mengikutinya.

“Apaan sih! Nggak!” Shaula melepaskan tangannya dari cengkaraman Bara.

“Buktinya lo nggak mau gue mati.” Bara masih berusaha.

“Ya karena gue punya rasa kemanusiaan!” sangkal Shaula, ya sebelumnya dia memang terlihat sangat peduli dengan Bara, tapi kalau Bara sudah sangat menyebalkan seperti ini juga dia agak enek.

Shaula tetap melangkah mengabaikan Bara, dia sungguh tak lagi ada urusan dengan cowok itu. Kericuhan sudah selesai sejak bermenit-menit lalu dan kini mereka sudah tak lagi ada urusan.

Bara menatap punggung Shaula, rambut gadis itu yang mengibar ke sana kembari menjadi daya tarik untuknya.

“Lo nggak kasihan sama Zian?” tanya Bara.

Pertanyaan itu mengusik gadis yang melangkah dengan yakin sebelumnya, kini langkah Shaula memelan dan perlahan tubuh itu berbalik. Sorot matanya tajam menatap sepasang mata yang juga menatapnya.

“Maksud lo?”

“Lo jahat La, ngejadiin seseorang buat melupakan orang lain, jahatnya ternyata lo nggak bisa lupa.”

Shaula terdiam, dia mengamati wajah Bara, kali ini sepertinya cowok itu tidak sedang bercanda.

“Hubungan gue sama Zian bukan urusan lo!” Gadis itu masih berusaha agar tidak terpancing, dia yang menjalani hubungan dengan Zian, dia yang paling paham mau dibawa ke mana hubungan tersebut. Bara sama sekali tak berhak menilai, apalagi menyudutkannya.

“Urusan gue, karena lo sendiri yang memaksa gue buat berada di antara kalian.”

“Stop Bara!”

“Kenapa? Lo sayang sama gue, perasaan yang ada buat Zian cuma rasa kasihan, berhenti nyakitin diri sendiri. Gue di sini gue nggak ke mana-mana, dari awal gue selalu siap buat jadi tempat kembali.”

Sialnya setiap kata yang keluar dari mulut Bara sangat meyakinkan di otak Shaula, dia sadar bahwa beberapa cinta memang terlalu naif dan sedikit membuat bodoh.

“Aku cariin kamu loh dari tadi.” Tepat! Zian muncul di hadapan mereka berdua.

“Kita putus!” Shaula menghalau tangan Zian yang sempat memegang pergelangan tangannya.

Bara hanya menatap, kini Shaula berjalan cepat meninggalkan dua cowok yang keduanya sama-sama tercengang. Tak lama setelah itu, Zian lebih dulu tersadar dan berlari mengikuti Shaula.

Bara tertawa melihat itu, dia merasa agak menang karena Shaula peduli dengan beberapa menit lalu.

***

Beberapa tangis memang tidak butuh alasan untuk terjadi, air mata hanya selalu memberontak untuk keluar. Gadis itu memeluk dirinya sendiri di depan jendela kamarnya, ini hanya soal percintaan remaja, tapi rasanya dia sudah ingin meregang nyawa begitu saja. Langit seolah tak peduli dengan tangisnya, dia bersinar cerah menerangi penduduk bumi yang juga tampak baik-baik saja. Dunia selalu baik-baik saja meski satu jiwa sedang sangat diobrak-abrik keadaannya, meski satu nyawa sedang sangat ingin kehilangan nyawa.

Tangis itu sangat menyayat hati, padahal tak sebegitunya semesta menyakiti. Sebuah hati hanya merasa sesak, merasa sudah sangat jahat pada hati lain, merasa sangat kecewa dengan diri sendiri. Seharusnya sejak awal memang dia jangan memulai apa pun, dia tersakiti oleh sesuatu yang sebenarnya dia buat sendiri. Mencintai dua hati, apa hal semacam itu benar? Tidak! Tentu saja tidak, sekarang Shaula hanya sedang tidak mengerti hati mana yang benar-benar dia inginkan. Bahkan saat ini, saat menangis dia tak tahu sedang menangisi siapa.

Menangisi Zian kah? Yang menjadi korban ketidaktahuan Shaula akan perasaannya sendiri? Atau Bara? Yang segala rasa untuknya sulit untuk diselesaikan? Atau mungkin dirinya sendiri? Yang terlampu rumit, yang teramat menyedihkan karana tak bisa membaca situasi? Ah entahlah. Selain dirinya, keadaan juga rumit, ingin selesai, tapi tidak juga karena masih ingin bersama Bara.

“Jelek banget lo!”

Gadis itu mengangkat wajahnya yang semula menunduk, salah satu sosok yang menjadi alasannya menangis tanpa sebab muncul, dengan wajah tengilnya seperti biasa.

“Ngapain sih lo?!” Shaula mengubah posisi duduknya jadi membelakangi cowok itu, dia benar-benar sedang tidak ingin bercanda apalagi dicandai?

Bara hanya duduk diam dari luar jendela kamar Shaula, dia mendudukkan diri di balkon. Bara memperhatikan punggung Shaula, menghitung getaran punggung tersebut karena siumpunya menangis. Shaula tetap menangis, persetan dengan Bara, malah cowok itu harus sadar dan harus mikir dua kali kalau mau menyakiti Shaula.

Merasa ada yang janggal, Shaula mengangkat wajahnya, memutar kepalanya dan melihat Bara masih di sana.

“Ngapain lo?” tanya Shaula, Bara tak berbohong tentang wajah Shaula yang jelek ketika menangis, jadi dia malu kalau Bara masih di sana.

“Nemenin lo,” jawab Bara santai, dia berusaha mengalihkan pandangan agar tak melihat wajah Shaula, karena gadis di hadapannya kentara sekali jika sedang malu.

“Gue nggak butuh temen.”

“Ya udah sih, gue cuma mau nemenin.”

“Nyebelin banget sih!”

Bara tertawa mendengar itu, di saat-saat seperti inipun Shaula masih bisa mengomelinya, tapi sebenarnya lebih baik Shaula yang mengomel daripada Shaula yang menangis bombai seperti ini karena Bara jadi tidak tahu dirinya harus apa.

“Gue bawain permen, kembalian rokok sih ini tadi.” Bara menyerahkan permen ke Shaula.

Shaula menatap permen batangan yang ada di tangan Bara, menarik tapi gengsi dong kalau nerima.

“Lo bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya? Lo bikin gue putus sama pacar gue,” protes Shaula sebab Bara tampak tak ada niat pergi dari sana meski sudah diusir,

“Gue bangga!” Bara menepuk dadanya sendiri.

“Lo bangsat.”

“Bangsat paling ganteng di bumi.”

“Sumpah ya manusia kayak lo nyebelin banget!!!”

“Makanya lo sayang sama gue.”

“Pede banget gila!”

Berhasil, akhirnya Shaula tak menangis lagi, hanya saja Bara harus menanggapi seluruh debatannya.

“Mau bukti?” tanya Bara.

“Apa?” Sayangnya Shaula tak bisa menolak rasa penasarannya.

“Lo nyelametin gue biar gue nggak mati, lo nahan gue matu-matian biar gue nggak berantem. Terus lo juga mutusin Zian di hadapan gue, menurut gue itu pembuktian rasa sayang.”

***






Jangan lupa bahagia kita semuaaaa

Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang