Zian meminta diberikan kesempatan, lagipula tadi malam sebenarnya Shaula masih belum memiliki alasan masuk akal untuk mengakhiri hubungan itu. Karena saling berhadapan dan bertemu membuat Shaula jadi tak kuasa untuk bersikeras, karena alasan terlalu baik juga tidak mungkin dia gunakan. Sampai hari ini Zian masih pacarnya dan Bara masih menjadi mantan yang terus mengusik hidupnya.
Hari ini jam pelajaran pertama adalah olahraga, Bara yang kebetulan gurunya tidak masuk memilih nongkrong di salah satu bangku di halaman sekolah, tentu saja sembari memperhatikan Shaula.
Shaula sedikit salting tapi masih mampu mengendalikan diri, ya bagaimana tidak? Shaula main volly, Bara lihat. Shaula pemanasan, Bara lihat. Shaula main basket, Bara juga tetap memperhatikan.
Bahkan selesai olahraga, saat Zian menghampirinya memberi sebotol air mineral Bara masih saja memperhatikannya. Andai memiliki kesempatan dan membunuh bukanlah bagian dari kejahatan mungkin Shaula sudah mencolok mata Bara.
"Diperhatiin mantan tuh." Zian menunjuk keberadaan Bara dengan dagunya, sebenarnya dia sendiri sudah ketar-ketir dengan pergerakan Bara, takut kalau-kalau Bara menikungnya, walau sebenarnya ya dia percaya penuh dengan Shaula.
"Kamu lupa kalau aku cantik?" tanya Shaula, jangan serius banget, dia juga takut, kan tidak lucu jika Zian dan Bara bertengkar hanya karena dirinya.
Zian terkekeh lantas menarik hidung Shuala. "Iya deh."
Sementara Bara yang masih setia memperhatikan tertawa kemudian membuang pandang, dia sama sekali tidak cemburu hanya sedikit terbakar.
"Ya udah aku ganti baju dulu ya."
Zian mengangguk, Shaula lantas berjalan meninggalkannya, bergabung dengan teman sekelasnya yang lain untuk berganti baju olahraga menjadi seragam biasa. Bahkan saat Shaula berjalan bersama teman-temannya Bara masih memperhatikan.
"Cuma mau ngingetin, Shaula cewek gue." Zian menepuk bahu Bara setelah itu langsung pergi.
Bara tertawa mendapat perlakuan seperti itu.
"Bentar lagi juga bakal jadi cewek gue!" Bara sedikit berteriak agar Zian yang sudah melangkah pergi tetap dapat mendengarnya.
Zian hanya mengedikkan bahu, Bara itu selengekan, anaknya lumayan berantakan dan keputusan untuk tak mendengarkan apa pun yang kelaur dari mulutnya, menurut Zian adalah keputusan yang tepat.
***Selalu ada pertikaian antar sekolah swasta di kota itu, Pengubah Bangsa adalah satu dari sekian sekolah yang ikut saling bermusuhan. Sebenarnya hal itu terjadi baru sekitar dua tahun belakangan, itu juga didasari pembentukan geng motor yang anggotanya murid-murid SMA Pengubah Bangsa itu sendiri. Geng motor ini sudah beberapa kali diperingatkan hanya saja namanya kenakalan akan tetap terjadi di luar sekolah.
Selain geng motor ada beberapa geng yang diisi anak-anak orang kaya, karena gengnya elit jadi banyak yang tidak suka, terutama dari sekolah lain yang biasa saja.
Shaula merapikan rambutnya di depan cermin kamar mandi, dia mendengar suara ribut-ribut tapi belum tertarik sejauh ini.
"Ih ngeri banget." Shaula menoleh dan melihat anak dari kelas lain masuk ke toilet.
"Ada apa sih kok berisik banget?" tanya Shaula penasaran, dia belum kelaur dari toilet sejak ganti baju tadi.
"Itu ada anak kelas bahasa dihajar sama sekolah lain, dibawa pawai, sekarang dipamerin di depan sekolah kita," jelas orang itu, sepertinya jujur karena dia tampak merinding.
"Kok bisa?" tanya Shaula, di zaman seperti ini sampai terjadi hal semacam ini seperti tidak masuk akal. Mengingat aparat hukum biasanya berpatroli.
"Nggak tau deh gue."
Shaula terdiam.
"Sekolah mana yang ngehajar?" tanya Shaula.
"Katanya sih Pelita Bangsa gitu."
Tanpa kata Shaula langsung keluar dari toilet, dia harus mencari Bara, karena Pelita Bangsa adalah sekolah Bara sebelumnya. Kalau sampai orang-orang mulai menyadari kalau Bara adalah pindahan dari sana, maka kemungkinan besar Bara akan dihajar di sekolah ini. Selain itu jangan sampai juga Bara menunjukkan batang hidungnya di depan sana.
Keadaan di luar benar-benar kacau, semua siswa dan siswi berhamburan keluar kelas, beberapa tampak tak peduli beberapa berlarian pula. Shaula ikut berlari untuk melihat apa yang terjadi di depan sana, mengejutkan sekali ternyata, benar seorang anak babak belur bahkan tampak tak berdaya. Dipampangkan di depan sana, dengan orang-orang lain yang protes. Entahlah apa yang mereka proteskan padahal mereka bukan murid sekolah ini.
Shaula agak merinding melihat kondisi anak yang babak belur tersebut, dia memilih langsung pergi dari sana. Semua orang sibuk dengan keadaan masing-masing, para guru sendiri berusaha bernegosiasi dengan para murid dari sekolah lain yang seperti sedang berdemo itu.
"Mana Bara?"
Willen tiba-tiba muncul di hadapan Shaula, Shaula seketika gugup.
"Gue nggak tau, gue udah nggak ada hubungan sama dia."
Bukan hanya Willen, ada Justice juga, ada beberapa orang lain yang pasti satu geng dengan mereka, mereka semua pasti sedang mencari Bara. Shaula munduru karena Willen maju.
"Gue beneran nggak tau!"
"Nggak mungkin lo nggak tau!"
"Apaan sih lo semua! Minggir!" Shaula lantas menerobos orang-orang yang menghalaninya, dia yakin rasa persahabatan antara Willen, dirinya juga Justice masih ada, mereka tak akan menyakitinya.
Shaula berlari kecil, dia harus menemukan Bara terlebih dahulu, jangan sampai Willen dan kawan-kawan menemukannya karena kemungkinan besar Bara akan bernasib sama seperti anak yang sekarang menjadi tawanan sekolah lain.
"Lo di mana sih!" Shaula mulai panik karena Bara tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Sampai ketika menoleh Shaula melihat Bara memegang sebatang kayu, langsung saja gadis itu berlari menghampiri Bara kemudian menarik tangan cowok itu masuk ke sebuah ruangan.
"Lepasin gue!"
Shaula memeluk tubuh di hadapannya itu.
"Nggak akan!"
"Gue harus selesaikan ini karena mereka nggak akan diem kalau nggak lihat gue!" Shaula bisa bisa merasakan emosi Bara yang tidak stabil.
Shaula mengelus kedua tangan Bara yang mulai menunjukkan urat-urat karena cowok itu sedang marah.
"Gue mohon, bahaya Bar!" Sekali lagi Shaula memeluk tubuh itu.
Bara menatap bahu yang ada di depannya, cewek yang selama ini menolaknya mentah-mentah malah suka rela memeluknya.
"Lo kenapa?" tanya Bara.
"Gue nggak mau lo kenapa-napa," ujar Shaula.
Perkataan itu bagai mantra, perasaan Bara menjadi tenang, potongan kayu bakar yang dia ambil milik ibu kantin seketika meluruh begitu saja. Tegangan pada tubuh Bara perlahan melemah, cowok itu membalas pelukan Shaula.
"Jangan..."
"Iya nggak." Bara mengecup puncak kepala Shaula.
"Lo bisa mati dan gue nggak siap untuk itu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaula's Story
Fiksi RemajaShaula bertemu dengan Bara saat cowok itu menghajar temannya. Sebenarnya tak ada yang spesial dengan pertemuan itu, tapi karena Bara merasa tertarik dengan Shaula, dia menghubungi Shaula duluan. Dari ketertarikan itu Bara terus berusaha mendekati S...