16. Duka

31 9 4
                                    


Pagi ini tak ada drama membangunkan dari mamanya, dengan kesadaran dirinya sendiri Shaula bangkit dari kasur, meminum air putih yang memang sudah biasa ada di atas nakas di kamarnya. Shaula menatap ponselnya sendiri yang sebelumnya ada di sebelah gelas air putih miliknya. Selesai dengan minumannya dia beralih ke benda pipih tersebut. Shaula mengerutkan keningnya, dulu sebelum pacaran Bara selalu menjadi kolom chat paling atas di ponsel Shaula. Kenapa sekarang saat mereka sudah official hal itu sama sekali tidak ada?

Shaula masuk ke aplikasi watsapp, di sana malah terdapat pesan dari Arsen, tapi sudah di hapus, bahkan sebelum Shaula sempat membacanya.

Shaula :
‘Kenapa?’

Arsen :
‘Salah kirim.’

Shaula :
‘Tadi itu ucapan selamat pagi ya?’
‘Lupa kalau kita udah putus?’

Arsen :
‘Hahaha.’
‘Bener lagi.’

Shaula hanya menghela napas setelahnya kembali meletakkan ponselnya, sudah terlambat untuk memperbaiki segalanya, lagi pula sejak awal mereka sudah hancur, sebelum hari ini hanya berusaha berpikir positif bahwa semuanya akan berjalan baik, namun nyatanya tidak juga.

Shaula memilih untuk tak melanjutkan chat tersebut, mereka sudah selesai, baik Shaula maupun Arsen harus paham bahwa untuk sekadar basa-basi juga mereka memiliki batas sekarang. Mungkin Shaula menerima Bara untuk melupakan Arsen, mungkin dia belum memiliki sebuah rasa untuk Bara, tapi tetap saja dia sudah memutuskan untuk menjadi pacar Bara. Itu artinya apa pun yang terjadi, dia harus tetap menghargai keberadaan cowok itu.

Terlalu pagi untuk bergalau-galau ria, maka Shaula memutuskan langsung mandi untuk bersiap ke sekolah. Urusan soal Bara nanti juga di sekolah bisa diselesaikan karena meski berbeda kelas dan berbeda angkatan mereka pasti bertemu di sekolah.

Selesai dengan segala persiapan untuk berangkat ke sekolah hari ini, ternyata Bara tak menepati janjinya, dia tak datang untuk berangkat sekolah bersama. Shaula hanya bisa menghela napas, beruntung hari ini abangnya masih ada di rumah, jadi Shaula bisa minta diantar ke sekolah.

***
Biasanya dia adalah orang paling rajin mendatangi Shaula ke kelasnya, tapi hari ini tidak. Sampai jam istirahat pertama masih belum ada kabar dari Bara. Ya walau sebenarnya dia juga enggan peduli dengan apa yang cowok itu lakukan. Tapi masalahnya adalah sekarang mereka pacaran, kabar itu penting.

Bara tidak sama seperti spesies manusia pada umumnya, jadi dirinya yang tiba-tiba hilang seperti ini cukup membuat Shaula khawatir, ya bagaimana tidak? Dia saja bisa menghajar orang sampai hampir mati, bukan tidak mungkin orang lain melakukan hal yang sama padanya.

Shaula memutuskan menghubungi nomor cowok itu, nomor tersebut berada di luar jangkauan, sepertinya ponselnya mati.

Shaula :
‘Kak...’
‘Lo di mana?’
‘Kok nggak masuk?’

Shaula mengirim pesan-pesan itu, namun sepertinya memang ponsel Bara mati sebab pesan itu hanya centang satu. Dia mulai sedikit khawatir, takut kalau apa yang dia pikirkan benar terjadi. Nyawa bagi Bara dan gengnya itu seperti candaan dan sekarang Shaula benar-benar takut dengan kabar kematian Bara.

“Kenapa?” tanya Nana, keresahan Shaula sangat terlihat dan itu membuatnya penasaran.

Shaula menggeleng, kalau dia menceritakan yang sebenarnya pada Nana, maka Nana akan langsung memintanya melupakan Bara. Hubungannya dengan Bara saja masih dia rahasiakan karen Nana memang tidak merestui mereka.

Nana menyipitkan pandangannya. “Bohong banget,” kata Nana.

Shaula menghela napas. “Bukan urusan lo juga sih Na.” Dia berkata lemah, dia sudah lelah dengan Bara jangan sampai ada orang lain lagi yang membuatnya merasa ingin mengamuk.

Gadis itu menggeleng lantas beranjak dari sana meninggalkan Nana dengan sejuta tanya di kepalanya. Dia sedang tak ingin menjelaskan apa pun, pada siapa pun, biarlah Nana dengan kesimpulannya sendiri.

***

Seperti kelas pada umumnya, kelas Shaula juga hening ketika guru menjelaskan di depan sana. Shaula mungkin tidak menyukai hal-hal berbau masa lalu, tapi dia cenderung tertarik dengan sejarah. Dengan seksama para murid mendengarkan penjelaskan dari Pak Prima di depan sana, guru muda itu tampak berwibawa dengan senter kecilnya menunjuk beberapa hal yang tertampil pada infokus.

Dalam keheningan itu tiba-tiba ponsel Shaula berdering membuat semua yang berada dalam ruangan tersebut mengalihkan atensi ke arah gadis itu. Jantungnya langsung terpacu cepat, Shaula merutuki Bara karena yang menelepon adalah cowok itu.

Pak Prima tampak menghela napas. “Shaula, ponselnya di matikan dulu ya, atau buat dalam mode hening,” ujar pak Prima kalem, memang guru muda ini terkenal akan kharismanya, poin pentingnya adalah dia tidak pernah marah, selalu menghadapi tingkah para murid dengan kepala dingin.

Shaula yang gelagapan langsung menekan tombol off lama sampai layar ponselnya berubah hitam. “Maaf Pak,” ucapnya selepas itu.

Pak Prima mengangguk paham, dia juga pernah menjadi murid dan guru yang berusaha membesarkan masalah kecil selalu sangat menyebalkan, maka dari itu dia berjanji tak akan pernah menjadi guru menyebalkan.

“Shaula Audia, ditunggu di meja piket.” Entak kebetulan macam apa dan nama Shaula dipanggil menggukan pengeras suara.

Pak Prima menatapnya. “Silakan.” Guru yang sedang mengajar di kelas itu mempersilakan.

Ini adalah pertama kalinya, ada apa? Belum selesai dengan rasa penasarannya, Shaula harus segera keluar dari kelas. Sembari berjalan di tengah lapangan dia memikirkan berbagai kemungkinan, kalau dipanggil untuk urusan keluarga sepertinya tidak, karena tidak ada agenda acara keluarga. Lantas?

Sampai di meja piket dia melihat tantenya. “Tan?” tanya Shaula.

Sosok yang biasa Shaula sapa tante Tini itu mengangguk, wajahnya menggambarkan sesuatu yang sepertinya serius.

“Kenapa?” tanya Shaula lagi, dari ekspresi tante Tini dia seperti menyimpulkan satu hal dan itu membuat darahnya berdesir.

“Papa...”

Mata gadis itu mulai tergenang, entahlah sepertinya ini bukan berita baik.

“Papa udah nggak ada La,” ungkap tante Tini, sebuah kalimat yang langsung menancap tepat di ulu hati Shaula. Dia tak pernah siap dengan berita duka, apalagi menyangkut orang tua.

Tadi pagi mereka masih sarapan bersama, papanya baik-baik saja, pasti tantenya salah. “Tadi pagi masih sarapan pagi,” kata Shaula, tiba-tiba saja dia lupa di mana dia berpijak, dia seperti tak sedang berada di bumi, entahlah tapi pandangannya buram, kakinya tak kuat menopang, tubuhnya seperti kehilangan banyak tenaga padahal hanya berjalan dari kelas menuju meja piket.

Tante Tini mengangguk, karena abangnya memang meninggal mendadak. “Serangan jantung.”

“Bukan Papa aku kan Tan?” Shaula sudah jatuh terduduk.

Tante Tini mengangguk, batinnya teramat tersiksa tapi bagaimanapun Shaula harus berada di sana, menyaksikan langsung pamitnya sang papa dari dunia ini. Om Gian yang sedari tadi hanya diam, mendekat lantas membopong tubuh Shaula, tanpa kata mereka bertiga meninggalkan sekolah, semua orang sudah menunggu, menunggu untuk menumpahkan segala duka bersama.

***

Keluarga itu harmonis, tak kekurangan ekonomi, tak pula kurang kehangatan. Semuanya pas dalam porsinya, sang ayah tetap menjadi cinta pertama putrinya, sementara sang putra menjadi ibu acuan untuk memilih pasangan. Tapi itulah semesta, dia tak pernah bisa ditebak dengan segala yang terjadi padanya. Rasanya baru pagi itu mereka sarapan bersama sembari berbincang, sekilas tak ada yang aneh, namun ternyata pesan papanya untuk membawa payung pagi itu adalah pesan bahwa semesta Shaula akan mendung, dia akan menghadapi hujan tak berkesudahan.

Kini sosok pelindung yang sebelumnya selalu berusaha memastikan belahan jiwanya tak terkena setetes pun air hujan, tetap diam padahal hujan-hujan itu pindah ke mata orang-orang tersayang.

Rasanya lelah sekali, air matanya sudah kering, bahkan Shaula hanya bisa menatap, setelah ini apa? Bagaimana? Siapa yang akan menjadi penuntun arahnya? Siapa yang menjadi alasannya pulang ke rumah? Saat sosok yang biasa mengkhawatirkannya, selesai untuk itu selama-lamanya.

Pelukan orang-orang sama sekali tak berhasil menanangkannya, dia tetap takut, dia adalah anak perempuan yang kadang kesal saat papanya banyak omong, yang kadang mematikan ponsel hanya karena sang papa menelepon di jam sembilan malam. Sekarang dia butuh itu, dia ingin papanya bangkit dan mengomelinya, Shaula menginginkan itu.

Semua orang berpesan padanya jangan takut, ada mereka. Tapi mampukah mereka memberikan keyakinan pada Shaula bahwa dunia akan baik-baik saja selepas ini? Dia hanya yakin saat papanya yang memintanya untuk melangkah. Dia kehilangan, dia tak pernah merasakan rasanya hari ini sebelumnya. Seolah-olah semua hal menjadi abu-abu dan rasanya sangat menakutkan.

Semua teman-temannya turut hadir, ikut mendoakan sosok yang sudah terbujur kaku, sekuat apa pun doanya, sepertinya papanya lebih memilih mendengar doa-doa itu dalam tidur panjangnya.

“Yang kuat ya La.” Nana mengelus bahu Shaula, dia menjadi satu-satunya yang memeluk Shaula, yang lainnya hanya sibuk menatap dan meratap.

Kuat? Bagaimana bisa saat pondasinya saja sudah tumbang, Shaula hancur bahkan sebelum dia menguatkan dirinya sendiri.

Semua orang yang berkaitan dalam hidup Shaula, dalam hidup mamanya, dalam hidup abangnya, dalam hidup papanya. Mereka semua berkumpul untuk mendoakan sesosok yang waktunya sudah selesai di dunia ini.

Namun satu sosok tidak kelihatan sejak awal, dia adalah Bara, ya di saat seperti ini memang Shaula tak seharusnya memikirkan kekasihnya, apalagi yang statusnya hanya pacar. Tapi Shaula sedang sangat patah, paling tidak walau hanya bualan Bara harus mengatakan apa pun pada jiwa yang sedang sangat rapuh ini.

Shaula menghela napas, mungkin memang kesalahan Shaula adalah percaya bahwa Bara akan merubah lara menjadi bahagia, seharusnya dia berusaha untuk bahagianya sendiri.

Arsen ada di sana, dia satu langkah unggul lagi dari Bara.

***





Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang