'Jika sejak awal aku hanya candaan, mari terus bercanda, aku masih ingin tertawa bersamamu hingga akhir.'
Shaula's Story
~Thierogiara
***
Kadang manusia itu paling tak bisa menampik rasa nyaman, merasa bahwa kalau ada dia rasanya jadi baik-baik saja. Aksara sederhana yang dia kirimkan kadang adalah obat dari segala lelah. Dan beberapa hal spesial justru tidak datang dari orang spesial pula. Batu karang dapat terkikis oleh air laut, begitu juga dengan hati, sekuat apa pun pendiriannya jika dia hadir setiap hari, menyapa setiap saat, bukan tidak mungkin kerasnya hati akan luluh. Shaula tak mengatakan bahwa dia jatuh hati pada sosok Bara, namun keberadaan cowok itu tidak lagi terasa menyebalkan, membalas pesannya pun sebuah kerelaan sekarang.
Mereka belum bertemu namun sudah saling nyaman, lucu memang, tapi bukankah semesta memang suka bercanda?
Bara :
‘Gue mau keluar, sama cewek lain.’
Shaula tertawa, kenapa dia terjebak lantas menyimpulkan semua ini sebagai rasa nyaman? Iya karena Bara adalah buaya, dia pandai memperlakukan wanita.
Shaula :
‘Terus kalau cewek lo lihat?’
Kadang satu harian Shaula menghabiskan waktu hanya untuk membalas pesan tidak penting dari Bara.
Bara :
‘Itu adalah saat yang tepat untuk nunjukin semua bukti yang gue punya.’
Shaula mengangguk, memang kadang-kadang balas dendam terbaik adalah melakukan hal yang sama, Bara pasti lebih tahu karena dia yang sudah jauh lebih berpengalaman dari Shaula.
Bara :
‘Lo nggak cemburu?’
Shaula :
‘Lo bukan cowok gue.’
Bara :
‘Kita nggak pacaran tapi lo punya gue.’
‘Hahaha!’
‘Kapan-kapan ketemu ya.’
‘Siapin hati, soalnya gue nggak bisa tanggung jawab kalau lo naksir.’
Shaula :
‘Dih!’
‘Pede gila!’
Bara :
‘Hahaha!’
Setelah pesan itu Shaula beralih ke ikon telepon yang ada di ponselnya, dia menghubungi Arsen, menunggu beberapa saat namun panggilan tersebut tidak diangkat. Di sisi lain ada yang rutin mengiriminya pesan, di lain sisi pula sosok yang seharusnya melakukan itu malah mengabaikannya. Shaula menekan sekali lagi ikon hijau untuk menelepon Arsen.
“Aku lagi main game.” Singkat, padat namun tidak jelas, Arsen langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Tidak jelas apakah dia hanya ingin Shaula tidak meneleponnya, atau ingin Shaula pergi dari hidupnya.
Helaan napas lelah terdengar keluar dari bibir tipis tersebut, mau bagaimana lagi? Mencintainya artinya harus siap dengan segala hal menyebalkan yang ada dalam dirinya. Katakan saja Shaula bodoh, karena kalau dia tidak bodoh, sejak awal dia tak akan memutuskan mencintai sosok seperti Arsen.
***
Satu-satunya cowok yang mampu membuat Shaula menitikan air mata kini kembali ke depan rumahnya, mengajak untuk berangkat sekolah bersama. Mudah untuknya menolak Shaula, tapi setelah itu kembali datang. Dia tidak hanya memporak-porandakan perasaan Shaula, namun juga membuat Shaula berusaha keras untuk membencinya.
“Habis nangis?” tanya Arsen, sayangnya Shaula tak pernah bisa berbohong di hadapannya, mata bengkaknya pasti menjadi bukti.
Kadang Shaula ingin berhenti, berhenti memikirkan sesuatu bernama cinta, namun lagi-lagi dia tak bisa. Dia selalu tersakiti, tapi berusaha sekuat tenaga pula untuk bertahan.
Shaula menggeleng, Arsen menyerahkan helm padanya. Bahkan tanpa kesadaran sendiri Arsen masih tetap tak peduli.
“Kamu tau nggak sih aku nangisin kamu semaleman?” tanya Shaula, lebay? Memang, dia terlalu perasa untuk Arsen yang selalu tampak biasa saja, kesannya hanya dia yang berjuang dalam hubungan mereka dan Shaula lelah dengan itu semua.
Arsen menoleh. “Kamu nangis cuma gara-gara aku main game?”
“Dan kamu tau berapa kali kamu gituin aku?”
“Udahlah jangan kayak anak kecil, kamu punya dunia sendiri, aku juga.”
Shaula langsung menyerahkan helmnya kembali ke Arsen setelah itu berjalan cepat mencegat tukang ojek yang kebetulan lewat, dia tidak butuh lagi, dia bisa berangkat sekolah sendirian! Untuk apa bersama? Untuk apa memperjuangkan sesuatu yang sejak awal tak menghargaimu?!
Arsen mengikuti ojek yang Shaula tumpangi dari belakang, Shaula sendiri sebisa mungkin mengabaikan cowok itu. Sudah begini baru, sebelumnya benar-benar tak ada niat memperbaiki keadaan. Di lampu merah Arsen berhenti di samping Shaula.
“Aku sayang sama kamu,” ungkapnya mengabaikan tatapan orang-orang yang tertuju padanya.
Shaula membuang pandangannya dengan arah yang berlawanan dari Arsen.
Buat apa? Biar seluruh dunia tahu kalau dia adalah pacar idaman? Cih! Shaula mengenalnya lebih dari siapa pun.
Motor ojek yang ia tumpangi kembali berjalan, Shaula tetap menolak menoleh ke arah Arsen, dia kadung kecewa, bukan dia yang harus luluh, tapi Arsenlah yang harus berusaha lebih keras lagi.
Sampai di sekolah Shaula tetap abai, setelah memarkir motor dengan benar dan melepas helmnya dia langsung mengejar Shaula, perempuan itu selalu menghindar namun akhirnya Arsen berhasil menahan tangannya.
“Maafin aku.”
“Basi banget.”
“Oke mau kamu apa?” Bertengkar sepagi ini di sekolah adalah bagian paling epik dari sebuah hubungan.
“Udahan! Putus aja udah, nggak tahan gue!”
“Nggak!” Arsen menghentikan langkahnya setelah itu menarik napas dan membuangnya.
“Mungkin kamu butuh waktu buat sendiri dulu. Aku ke kelas.”
Ada penyelesaian? Tidak! Selalu seperti itu, seharusnya mereka saling memaki, saling menghardik, saling mengatai tapi semuanya harus selesai, Shaula benci ditinggalkan. Tapi tetap dia tak bisa beralih dari punggung yang kian menjauh itu.
Menghentakkan kaki sekali Shaula berbalik berjalan cepat menuju ke kelasnya, pokoknya Arsen menyebalkan, dia mau putus!
***
Dan Arsen benar-benar menghilang, dia bahkan tak ada niatan untuk menemui Shaula, padahal mereka harus menyelesaikan sesuatu. Shaula juga tak akan memulai apa pun, biarkan saja semuanya menggantung begitu saja.
Bara :
‘Gue lewat sekolah lo barusan.’
Shaula :
‘Nggak urus.’
Bara :
‘Wkwkwkw! Sadis!”
Shaula mengabaikan itu, moodnya benar-benar berantakan karena seorang Arsen, tapi Arsennya sepertinya malah tak peduli dengan Shaula.
Bara :
‘Pulang sekolah ketemu ya?’
Shaula :
‘Males.’
Mereka tidak kenal, Bara itu berbahaya dan cukup diincar geng anak nakal sekolahnya dan Shaula tentu tak mau ambil risiko dengan berurusan dengannya. Sebelumnya saja Arsen sudah marah, apalagi tahu Shaula berurusan dengan Bara, akan sangat marah pacarnya itu.
Bara :
‘Gue mau ketemu.’
Shaula :
‘Gue nggak!’
Bara :
‘Pokoknya gue tunggu nanti di depan sekolah lo, pulang sekolah.’
Shaula mengabaikan itu, dia tak akan menemui Bara, dia bukan cewek gampangan yang gampang menampung cowok lain padahal masih ada urusan dengan pacarnya.
Seperti biasa, kalau dia diabaikan maka langsung menelpon.
“Kenapa sih nggak mau?”
“Ya kenapa harus mau?”
Suara tawa menyebalkan itu lagi, seolah Shaula memang hanya sebuah lelucon bagi Bara.
“Gue pengen kenal lebih jauh sama lo.”
“Nggak perlu, sekolah kita nggak pernah damai, bahaya kalau lo sampai nekat deketin gue.”
“Lo nggak tau ya gue ini berani banget? Gue sangat bernyali Shaula!”
“Gue nggak peduli, lagian gue muak sama cowok.”
“Gue beda sama pacar lo.” Bara sudah meredam tawanya, sebelum mengatakan itu juga dia sedikit menetralkan suaranya.
“Bodo amat!”
“Ketemu ya?”
“Nggak! Ngapa sih lo ngebet banget?” tanya Shaula heran, nyatanya tak ada yang spesial dalam dirinya.
“Pengen aja.”
“Mau lo kasih apa gue?”
“Ciuman?”
“Oke gue nggak akan pernah ketemu sama lo!” putus Shaula.
***Aku kepikiran pen ngehapus cerita ini dah😑😑
Kek sepi banget gitu, aku butuh feedback guys!
Komen dong, satu aja komennya aku udah seneng kok. Kalau cerita sepi tuh kek pengen tutup akun. Tapi sayang followers nya udah 600an.
Pokoknya gitu dah, jangan lupa vote & comment!
Tembus 50 komen! Up besok!
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaula's Story
Novela JuvenilShaula bertemu dengan Bara saat cowok itu menghajar temannya. Sebenarnya tak ada yang spesial dengan pertemuan itu, tapi karena Bara merasa tertarik dengan Shaula, dia menghubungi Shaula duluan. Dari ketertarikan itu Bara terus berusaha mendekati S...