12. Gara-gara Bara

40 11 4
                                    

Karena tangannya sedang cedera jadi Bara tak bisa membawa motor, bisa sih buktinya tadi pagi bisa. Tapi siang ini dia ngotot meminta pulang bersama dengan Shaula, kalau tadi pagi dia masih bisa dengan satu tangan, kini karena harus membonceng Shaula sepertinya hal itu akan sulit dilakukan.

“Mana kuncinya?” tanya Shaula, tak ada pilihan lain, mereka bisa pulang bersama jika Shaula yang membawa motor.

“Emang lo bisa?” tanya Bara ragu, jangan sampai dia yang sudah cedera ini semakin parah hanya karena dibonceng oleh Shaula. Dari wajahnya tampak sangat tidak meyakinkan.

“Bisa.”

“Punya sim?”

“Ya nggaklah!”

“Lo yakin kita bakal selamat sampai tujuan?” tanya Bara, memang hidupnya teramat tak berguna, tapi tetap saja dia masih ingin hidup, masih ingin bertaubat dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi di masa depan.

Shaula langsung merogoh saku seragam Bara. “Lama lo!” ujarnya yang sudah nengkreng di atas motor.

“Mau naik nggak?” tanya Shaula.

Bara terdiam sejenak. Arsen muncul.

“Lo mau bawa motor?” tanya Arsen.

Shaula hanya mengangguk singkat, please! Dia benar-benar tidak ingin bertemu Arsen, apalagi di saat seperti ini.

“Bareng gue aja, gue bawa mobil,” ajak Arsen, Bara malah mengangguki hal tersebut karena ya lebih baik Shaula selamat sampai tujuan.

“Enakan naik motor, ayok Kak Bar,” ajak Shaula percaya diri, ini adalah saat yang tepat untuk membuktikan dirinya masih mahir menyetir motor.

Bara mengangguk lantas naik ke boncengan Shaula.

“Pegangan!” ingatkan Shaula, ya dengan senang hati Bara melingkarkan tangannya di perut cewek itu, kapan lagi coba memeluk cewek galak seperti Shaula. Shaula langsung tancap gas melewati Arsen begitu saja.

“Gue mungkin cuma punya matic, tapi lo harus tau kalau gue di barisan paling depan kalau lagi tawuran!” Bara membuka suara, Shaula membawa motor dengan kecepatan yang teramat pelan, jadi suara Bara bisa terdengar jelas.

“Bangga lo?”

“Iyalah!”

“Iya deh, mobil Arsen juga nyaman sih sebenarnya.”

“Ah harga diri gue.” Bara berkata lebay.

“Harusnya itu lo jadiin motivasi, minta gitu ke ortu lo.”

Bara tertawa. “Apalah daya gue yang nggak punya orang tua.”

“Timun mas lo.”

“Gelap anjir.”

“Eh serius?” tanya Shaula, dia kira Bara hanya bercanda.

“Serius cantik, makanya kalau lo sama gue lo nggak akan menghadapi mertua,” ujar Bara menjelaskan.

Shaula menghela napas, bahkan di saat seperti ini Bara masih menyempatkan diri menggombal, entah terbuat dari apa otaknya sampai bisa mengumpulkan semua kata-kata itu.

“Lo baik-baik aja Kak?”

“Hmm.”

“Maafin gue.”

“Lo nggak pernah bisa bikin gue marah, gue sesayang itu La,” ungkap Bara, entah ungkapan kasih keberapa kali, tapi kali ini hati Shaula menghangat mendengarnya.

“Jangan sayang sama gue.”

“Kenapa?”

“Gue nggak mau bertanggung jawab atas rasa sayang itu.” Aneh, tapi memang setiap ada yang menyukainya Shaula malah bertanya-tanya, kok bisa? Kenapa seseorang bisa sayang padanya? Dia tak sekeren itu untuk mendapat perhatian lebih dari orang lain. Apalagi jika modelannya seperti Bara, cowok itu tertarik padanya seperti sebuah ketidakmungkinan, Bara terlalu suhu untuk Shaula yang cupu.

Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang