10. Akibat dari Sebab

38 14 8
                                    

Bara mempertimbangkan banyak hal sebelum pindah sekolah, termasuk segala risiko perihal dirinya yang mungkin akan menjadi bulan-bulanan mereka yang sudah lama menyimpan dendam. Tentu dia menempati list paling pertama yang akan dihajar oleh anak-anak nakal SMA Pengubah Bangsa sebab memang dia yang selalu berada di barisan paling depan ketika tawuran.

Hari ini Bara ikut baik-baik dengan mereka yang memintanya untuk ikut, dia bukan tahan banting, hanya saja sedang menghadapi risiko dari perbuatannya. Dia juga tak menyangka kalau ternyata dia bisa sebegininya dengan seorang gadis. Bara tak biasa mengejar, tapi Shaula berbeda, Bara merasa dia harus mendapatkan gadis itu.

Bara dibawa ke sebuah gedung tua dan tanpa ampun menerima berbagai pukulan, dia tak melawan karena merasa semua itu barangkali adalah sambutan, dia hanya sendiri menerima berbagai serangan dari mereka yang lebih dari lima orang. Pesannya hanya satu, jangan hancurkan motornya karena hanya itu yang Bara punya.

Sementara di tempat lain Shaula berada di mobil yang dikendarai Saqquil, hari ini dia dijemput abangnya itu. Dia lupa soal Bara karena terbiasa memang tanpa cowok itu di sekolahnya.

“Ke mana nih kita?” ajak Saqquil.

“Gue lagi nggak mood.” Shaula membuang pandang keluar jendela, sejak berbicara dengan Bara tadi dia benar-benar tak bisa menikmati harinya di sekolah.

Saqquil langsung menatapnya tak suka. “Tau gitu pulang sendiri lo, kan gue ngajak lo biar bisa jalan-jalan, bosen banget di rumah!”

Shaula mengabaikan ocehan abangnya, sudah biasa baginya.

“Ke mal?”

“Serah!”

“Gue beliin mochi deh.”

“Kemarin lusa gue baru makan mochi.”

Saqquil menghela napasnya, berat memang kalau manusia sudah mengenal cinta, seluruh hidupnya pasti dihabiskan untuk menggalau.

“Ya cowok lo ganteng sih, tapi masa galaunya nggak selesai-selesai?” tanya Saqquil tak habis pikir, adiknya itu berpacaran dengan orang tampan, tapi kan Shaula juga cantik, dia harus sadar diri agar segera move on.

“Siapa yang galau?”

“Terus lo kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Dasar cewek!”

Saqquil adalah manusia yang paling bisa banyak omong hanya di hadapan Shaula, sisanya menipu dunia dengan berlagak menjadi sosok misterius yang kebanyakan diam.

***

Setelah puas, mereka meninggalkan Bara begitu saja, Bara merogoh sakunya, beruntung ponselnya masih aman, retak di beberapa sudut tapi masih hidup. Dia langsung menghubungi seorang teman meminta untuk dijemput, temannya juga mengomel karena Bara nekat pindah sekolah tapi lagi-lagi dia berusaha meyakinkan kalau dia baik-baik saja.

Sementara Shaula dan Saqquil akhirnya pergi ke mal, mereka masuk ke arena bermain, Saqquil menghabiskan waktu dengan mencoba berbagai permainan bak orang gila sementara Shaula hanya diam menatap dan menunggu. Dia sama sekali tak berminat akan apa pun. Dia hanya memikirkan bagaimana hari-harinya setelah ini di sekolah? Pasti tak akan sedamai sebelumnya.

Hiruk-pikuk mal yang biasanya mampu menenangkan jiwanya tetap tak mampu mengusik Shaula dia hanya fokus pada pemikirannya sendiri, apakah dia akan bisa menerima Bara di dalam hidupnya.

Baru saja dipikirkan sosok itu sudah mengirim foto padanya, akhir-akhir ini sering kali cowok itu mengirim foto.

Shaula membelalakkan matanya saat terbuka ternyata itu foto wajah Bara yang sedang babak belur.

Shaula :
‘Kenapa lo?’

Bara :
‘Bisa nggak lo ke kos gue?’
‘Nggak ada yang ngobatin.’

Shaula :
‘Di mana kos lo?’

Bara langsung share alamat dan tanpa pikir panjang Shaula menyerahkan belanjaan abangnya dan pergi dari sana, ini yang dia takutkan, Bara pasti dihajar anak-anak sekolahnya.

Saqquil menatap kepergian Shaula dengan pandangan bodoh, sekarang apa? Tentu saja melanjutkan permainan.
Shaula melangkah cepat keluar dari mal dan langsung memesan taksi, beruntung dia mendapat driver yang kebetulan sedang dekat di sana. Shaula menunjukkan alamat yang dikirim Bara lantas menunggu sambil harap-harap cemas. Banyak sekali kejutan yang Bara berikan dan semuanya hampir membuat jantung Shuala copot.

“Kamar lo nomor berapa?” tanya Shaula begitu sampai, dia langsung menelepon Bara karenat takut tersesat, kos Bara agak masuk ke dalam gang dan mobil tidak bisa masuk.

“Nomor enam.”

“Oke.” Tanpa memasukkan ponselnya ke dalam saku Shaula langsung berjalan cepat mencari kamar Bara.

Sampai di depan kamar Bara tanpa mengetuk pintu Shaula langsung menekan handle pintu dan membuka pintu coklat tersebut. Di hadapannya langsung terpampang pemandangan Bara yang terduduk bersandar pada kasur, kancing baju cowok itu sudah terbuka semua. Dan begitu melihat Shaula masih sempat-sempatnya dia tersenyum.

“Sakit banget La,” adunya, baru kali ini Shaula mendengar nada manja dari sosok Bara.

Shaula menghela napas lantas berjalan mendekat kemudian berlutut di hadapan cowok itu.

“Lo adalah manusia terbodoh yang pernah gue temuin,” ungkap Shaula, bagaimana tidak? Pindah sekolah di saat dia hampir tamat, hanya demi seorang Shaula.

Bara tertawa, tapi kemudian merasa keram di perutnya. “Gue cuma bodoh di hadapan lo, seharusnya lo bersyukur.”

Shaula lemas, dia duduk bersila menghadap Bara, memperhatikan luka-luka di wajah cowok itu, pandangannya turun ke perut dan lengan Bara, hampir seluruh bagian tubuh cowok itu dipenuhi lebam.

Shaula meringis.

“Di sini ada obat?” tanyanya.

Bara menunjuk sebuah laci, Shaula berjalan ke laci tersebut dan mengeluarkan kotak p3k. Dia juga mencolokkan dispenser karena butuh air hangat untuk membasuh luka-luka Bara.

“Udah ngerasa hebat?” tanya Shaula yang mulai menyeka tubuh Bara, dia yang sebenarnya tak biasa berurusan langsung dengan tubuh seorang cowok terpaksa melakukannya.

Bara hanya menatap Shaula.

“Nggak usah ngelihatin gue.”

“Gue cuma nggak mau kehilangan kesempatan untuk memperhatikan bidadari,” ujar Bara, bahkan di saat seperti ini pikirannya masih memiliki banyak stok kalimat untuk menggombal.

Shaula memutar bola mata malas.

“Ini kos gue, lo nggak takut?” tanya Bara menaikkan alis matanya.

Shaula menghempas kapas yang sebelumnya ia gunakan membersihkan luka Bara, selanjutnya tangan gadis itu terangkat memukul belakang kepala Bara.

“Akh!”

“Eh!” Dan seketika itu pula dia panik.

“Canda.” Setelahnya Bara nyengir kuda.

Shaula kembali menempelkan beberapa plaster ke luka Bara, selesai dengan seluruh luka-luka Bara dia mendudukkan diri di samping cowok itu, ikut bersandar pada kasur milik Bara.

“Hari ini lukanya segini, besok seberapa?”

“Mungkin hanya tinggal nama,” jawab Bara santai, dia tidak takut mati, karena Bara bahkan tak sudah lelah dengan segala permainan semesta.

Shaula menghela napasnya. “Semudah itu?”

Bara menoleh. “Lo nangis nggak kalau gue mati?”

Shaula balas menatapnya. “Lo nggak ngerti aja perasaan gue pas lihat foto yang lo kirim tadi.” Ambigu tapi cukup membuat Bara mengerti.

“Makasih udah khawatir.”

“Lo tinggal sendiri?” tanya Shaula.

Bara mengangguk.

“Keluarga?”

“Nggak punya.”

Shaula tertawa, entah omongan Bara yang seperti apa yang akan ia percaya.

“Gue nggak lagi bercanda.”

Hening seketika menyelimuti, Bara tak masalah jika ada yang mengungkit soal keluarganya karena dia sudah sangat berdamai sekarang.

“Gue nggak tau siapa orang tua gue.”

Shaula diam. Tidak ada lanjutan dari Bara, artinya memang dia tak mau menjelaskan lebih rinci lagi.

“Lo mau jadi keluarga gue?” tanya Bara.

Shaula menatap cowok itu dengan mata bulatnya. “Kenapa yang ada dipikiran lo nikah mulu sih?”

“Gue cuma pengen ngerasain, rasanya punya keluarga.” Itu adalah sebuah ungkapan paling jujur, Bara memang penasaran rasanya memiliki keluarga.

“Belum kepikiran.”

“Gue sih selalu yakin lo bakal jadi istri gue.”

***  





























Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang