8. Yang Lebih Dari Arsen

35 12 4
                                    

Satu harian mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu dengan menonton drama-drama sedih untuk mendukung kegalauannya dan agar ada alasan jika ditanya kenapa menangis. Setelah sekitar jam delapan malam Shaula baru keluar dari kamarnya.

“Kenapa kamu?” tanya mamanya, bagaimana tak heran jika mata anaknya itu bengkak besar sekali, membuatnya terlihat semakin sipit.

“Nonton drama.”

“Drama apa sampe begitu?” Sani mengikuti Shaula sampai ke dapur.

“Mama nggak masak?” tanyanya.

“Jawab dulu!”

“Nonton drama korea Ma,” jawab Shaula lagi, untuk judul sekalipun diberitahu mamanya pasti tak akan tahu.

Sani menatap penuh curiga, tidak mungkin selebay itu kan?

“Kamu beli nasi goreng aja sama Abang sana, udah habis, soalnya Mama masaknya tadi siang,” jelas Sani, sungguh dia tak akan rela waktunya menonton sinetron di jam segini dipakai untuk memasak, anak-anaknya sudah besar, jadi mereka pasti tahu caranya membeli makan sendiri.

“Yuk,” ajak Saqquil--abang Shaula--selama ini dia kuliah di luar kota, Shaula juga baru tahu kalau dia kembali hari ini.

“Bentar.” Malas bertanya lebih, Shaula memutuskan kembali ke kamar untuk mengambil cardigan, meski sering terpisah lama, tapi dia lumayan akrab dengan Saqquil, namanya agak susah disebut. Maklum sajalah orang tue mereka tidak mau nama anaknya pasaran.

Sambil berjalan menuju garasi Saqquil membelai kepala Shaula.

“Apaan sih?!” tanya Shaula.

“Dih! Emang nggak boleh?”

Shaula hanya diam, Saqquil mengeluarkan motor dari garasi.

“Galau lo ya? Putus?”

“Nggak!” Saqquil itu bocor, bisa-bisa kabar putusnya menjadi bahan bullyan di rumah. Walaupun keluarganya asik kalau dia yang jadi topik tetap tidak enak.

“Heleh! Gue tau banget lo orangnya gimana,” ujar Saqquil, memang dulu saat dia belum kuliah masa apa pun pasti selalu Shaula ceritakan tapi karena sekarang dia lumayan sibuk jadi dia tidak punya waktu untuk mendengarkan Shaula. Apalagi soal percintaan yang kebanyakan berisi omong kosong.

Keduanya naik motor menuju tukang nasi goreng yang biasa mangkal di depan kompleks perumahan.

Kedua sampai di tempat, Shaula langsung mendudukkan diri di bangku yang sudah disediakan sementara Saqquil berdiri karena memang sudah tak ada kursi di sana. Saudara kandung Shaula itu memperhatikan adiknya.

“Lo ada cowok nggak sih?” tanyanya memulai percakapan setelah sebelumnya menyampaikan pesanan ke abang-abang penjual.

“Nggak ada.” Padahal baru tadi mereka membahas soal putus.

“Oh iya ada ya, siapa tuh namanya Mesin?”

“Mesin apa sih anjir.” Shaula tertawa setelahnya.

“Oh Arsen, iya sih cewek kayak lo nggak mungkin nggak ada cowok,” kata Saqquil, karena mungkin jarang bertemu jadi kali ini dia mengakui kalau adiknya itu memang cantik.

Shaula hanya mengedikkan bahu dan kembali bermain ponsel. Saqquil yang memang tak ada kerjaan menoel-noel pipi Shaula.

“Apaan sih?!”

“Lo pasti anak hits kalau di sekolah kan?”

“Iya lah, emang lo! Cupu.”

Dara cara bicaranya saja Saqquil sebenarnya sudah menebak sosok seperti apa adiknya itu.

“Gue nggak bawa hp.”

“Derita lo lah!”

Sangking gabutnya kini Saqquil memainkan rambut Shaula, siapa pun yang melihat mereka menyangka keduanya dalam hubungan yang bukan pacaran.

“Beruntung banget kan lo punya adek kek gue?”

“Dih!” Saqquil langsung saja melepaskan tangannya dari rambut Shaula, dia kesal kalau adiknya itu sudah mulai kepedean.

“Lo yang beruntung punya abang kayak gue!”
Shaula hanya mengedikkan bahu dan memandang abangnya itu penuh kenajisan, Saqquil juga ganteng, hanya saja memang alay.

Setelah dua puluh menit berada di sana keduanya akhirnya pulang ke rumah, rasa lapar Shaula sudah menguap sangking lamanya mamang nasi goreng memasak. Baru saja kakinya masuk melangkah melewati pindu depan beberapa chat dari Bara masuk ke ponselnya. Cowok itu mengirim banyak foto, Shaula membukanya dan ternyata itu adalah foto-foto dirinya dengan Saqquil di tempat tukang nasi goreng barusan.

Bara :
‘Udah ada cowo baru aja.’

Shaula :
‘Lo di mana tadi? Kenapa nggak samperin?’

Bara :
‘Kan lo lagi sama cowok lo.’

Shaula :
‘Abang gue itu, samperin aja kali, biar dibeliin sekalian sama abang gue.’

Bara :
‘Sungkan sama abang ipar.

Shaula :
‘Najis!’
‘Udah ya, gue mau makan dulu.’

***

Selesai makan Shaula kembali ke kamarnya, kehadiran Saqquil di hidupnya malam ini ternyata cukup mampu membuatnya sedikit melupakan persoalan patah hati, abangnya yang memang sedikit eror itu banyak bercanda sepanjang mereka berdua makan malam, ya lumayan membuat suasana hati Shaula membaik.

Niat awal ingin lanjut nonton drama tapi seseorang menelepon, siapa lagi kalau bukan Bara? Perasaan Shaula tak ada ramah-ramahnya ke dia, tapi dia benar-benar seniat itu, seperti tidak ada ancang-ancang akan menyerah.

Shaula mengangkat panggilan tersebut setelahnya merebahkan diri.

“Gue nggak mau loh jadi pacar lo.” Kalau yang biasanya to the point adalah Bara, maka kali ini Shaula.

Bara tertawa mendengar itu. “Nggak mau nembak kok ini, lagi apa?” Secepat itu dia mengalihkan pembicaraan.

“Rebahan.”

“Itu doang?”
“Lah terus lo pikir apa yang bisa gue lakuin di atas kasur selain rebahan?”

“Bikin anak, mau dibantu?”

“Sialan!” Sungguh bercandaan semacam ini benar-benar tak cocok untuk Shaula.

“Nggak tidur?” tanya Bara, dia sudah tak lagi tertawa, nada bicaranya berubah sangat serius sekarang.

“Belum ngantuk.”

“Eh lo tadi di mana sih?” tanya Shaula penasaran, dia terlalu fokus pada ponselnya tadi jadi tak memperhatikan sekitar.

“Di warnet depan itu yang sekalian ada tempat fotokopinya.”

“Lo masih main warnet?” tanya Shaula, maksudnya kan zaman sudah berubah, sepertinya orang-orang lebih sering bermain game dari ponsel masing-masing.

Suara Bara terdengar, tampaknya memang Shaula selucu itu di telinga Bara sampai beberapa kali Bara selalu tertawa. “Tadi gue cuma ngelihatin music videonya big bang kok,” jelas Bara.

“Oh lo k-popers?” tanya Shaula, jarang sekali menemukan cowok yang suka k-pop.

Bara tertawa lagi, ini lebih seperti tawa biasa. “Nggak sih, cuma tau-tau aja, gue suka big bang, Exo, Monsta x, pokoknya ya gitu-gitu doang.”

“BTS?”

“Nggak! Bukan angkatannya.”

Shaula mengangguk. “Gue juga suka banget, gue suka Chanyeol, gue suka TOP juga, Ikon lo suka nggak? Gue suka banget sama Bobby.”

“Ah iya Ikon juga gue suka.”

“Wah, ternyata lo bisa ya suka begituan.”

Bara tertawa. “Tapi lebih suka Bokep sih.”

“Ck!”

“Normal itu La.”

“Ya nggak usah diomongin juga sama gue!” protes Shaula, sama seperti orang Indonesia pada umumnya, dia tabu perihal hal semacam itu.

“Ya nanti juga ngomongin gituan sama lo. Kan lo calon ibunya anak-anak.”

“Terus bermimpi, mimpi, mimpi, mampus.”

Bara tertawa mendengar itu. Setelahnya dia mengalihkan panggilan menjadi panggilan video. Dia langsung siap sedia dengan gitarnya.

“Mau request lagu apa?”

Shaula mengedikkan bahu, dia kurang terbiasa videa call, alasannya Arsen tak pernah mau melakukannya sebelumnya.

“Oke.”

Setelahnya alunan lagu love scenario dari ikon mengalun dari bibir Bara diiringi dengan petikan gitar yang ia lakukan sendiri. Terharu? Tentu lagi-lagi Arsen tak pernah melakukannya.

Bara hadir seolah-olah melengkapi apa-apa yang belum pernah Arsen lakukan untuknya dan itu membuat Shaula sangat berterima kasih pada semesta.

***






Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang