28. Pengaruh Bara

27 11 5
                                    

Karena sering menggombal, jadi meski terlihat sangat serius, di telinga Shaula apa pun yang keluar dari mulut Bara terdengar seperti omong kosong. Shaula hanya memandang rintik hujan, bahkan tanpa sadar hanya mereka berdua yang ada di koridor tersebut. Sementara Shaula memandangi rintik hujan, Bara memandangi wajah gadis di sebelahnya, wajah yang membuatnya selalu hampir gila hanya dengan mengingatnya. Rasanya cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan wajah itu, mungkin kata candu lebih cocok.

“Mau pulang bareng?” tanya Bara.

“Masih hujan.”

“Gimana kalau hujan-hujanan?” tanya Bara.

“Kalau gue sakit lo mau tanggung jawab?” tanya Shaula balik, ya seru sih sepertinya, tapi tidak dengan Bara juga!

“Kalau lo hamil aja gue mau tanggung jawab!” Bara bangkit memakai jaket jeansnya.

Shaula menatapnya malas, selalu saja ada kosa kata untuk dikatakan, apa sebenarnya Bara manusia yang ada di balik kamus bahasa Indonesia? Kalaupun iya sepertinya tidak! Bara tidak sepintar itu.

Tanpa menunggu persetujuan Shaula, Bara langsung menarik tangan gadis itu kemudian membawanya berlari di sepanjang koridor. Shaula tentu terkejut setengah mati, dengan susah payah kakinya berusaha menyamai langkah Bara.

“Lo udah gila ya!” protes Shaula di tengah perjalanan mereka.

“Iya, karena lo!”

Bara bahkan tak melepaskan tangan itu, terus menariknya menembus hujan, berlari pelan menuju parkiran. Shaula yang sudah kadung basah memilih tetap melangkah mengikuti alur Bara.

Sampai di parkiran. “Nggak usah pakai helm ya, kita hujan-hujanan.”

“Serah lo!”

Menyenangkan sebenarnya tapi tentu saja Shaula gengsi untuk mengakuinya, keduanya lantas melaju membelah jalanan di bawah derasnya hujan, sudah lama sekali sebenarnya Shaula tak hujan-hujanan.

“Pegangan entar jatuh!” teriak Bara, suaranya dengan suara hujan saling mengejar!

Shaula tak mengindahkan itu, dia malah merentangkan tangannya menikmati setiap tetas milik semesta. Dia bahkan menengadahkan wajahnya membiarkan tetesan semesta turut menyapa wajahnya.

“Seruuu bangett!!” teriaknya.

Tentu saja itu membuat Bara merasa senang, hanya dia, hanya dia yang bisa mengajak Shaula melakukan hal-hala random namun menyenangkan, Shaula harus segera sadar bahwa hal-hal seperti ini hanya akan dia dapatkan jika dia bersama Bara.

“I love you Shaula Aludra!”

Shaula terdiam mendengar itu, tapi fokusnya kembali kepada hujan, lagi-lagi otaknya mengirim sinyal bahwa Bara selalu seperti itu mengatakan berbagai hal sesukanya.

Bara mengambil tangan Shaula dibawa melingkar di perut Bara. Shaula melihat ke pergelangan tangannya sendiri, masih ada gelang dari Bara, mungkin setelah ini dia akan kembalikan.

Keduanya sampai di depan gerbang rumah Shaula, hujan sudah mulai reda tapi mereka berdua sudah basah kuyup, sejenak keduanya melupakan soal ponsel dan buku-buku mereka yang mungkin basah.

“Bar...” Shaula berdiri tepat di sebelah Bara.

Gadis itu lantas mengulurkan tangan meminta tangan Bara. Karena tak mengerti maksudnya Bara ikut mengulurkan tangannya. Selanjutnya Shaula meletakkan gelang Bara ke telapak tangan cowok itu.

“Kita udah selesai.”

Bara menatap mata Shaula, tapi sepasang mata yang ia tatap terus menghindar.

“Kita nggak pernah selesai,” kata Bara masih tak mengalihkan pandangannya.

Shaula menghela napas, dia bahkan mengesampingkan kedinginannya untuk menyelesaikan ini semua.

Bara kembali memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Shaula. “Suatu saat lo bakal jadi istri gue.”

Bara lantas memutar kemudian pergi meninggalkan Shaula.

***

Shaula masuk ke dalam rumah dengan gamang, apa semua ini benar? Ya memang dia mungkin akan selalu bisa memahami meski Zian harus berurusan dengan perempuan lain. Tapi hal itu tak seharusnya menjadi alasan untuknya melakukan hal yang sama, Zian sedikit membuatnya kecewa hari ini, tapi Bara hadir dengan membawa obat dari segala kekecewaan tersebut.
Menggelengkan kepalanya sendiri, Shaula berjalan menuju kamar mandi membilas badannya.

Selesai mandi, Shaula mendudukkan dirinya di atas kasur, mengeringkan rambutnya. Setelah beberapa menit dia baru sadar dan mencari keberadaan ponselnya, membongkar tasnya ternyata semua yang ada di dalam tas tidak ada yang basah, sudah ada beberapa pesan dari Zian, ada juga dari Bara.

Zian :
‘Aku udah di rumah.’

Bara :
‘Gue udah sampe.’

Zian :
‘Nanti malam jangan lupa ya.’
‘Aku mau kasih sesuatu.’
‘See you~’

Bara :
‘Buku gue basah semua.’
‘Besok gue libur.’
‘Jangan rindu, biar gue aja.’
‘Canda.’

Shaula menaikkan sudut bibirnya membaca pesan dari Bara, entah kenapa hal random dari cowok itu selalu behasil merubah suasana hatinya. Tapi Shaula memilih untuk tak membalas pesan Bara, melainkan membalas pesan Zian.

Shaula :
‘Ya udah aku tunggu.’
‘See you too.’

***

Shaula sudah rapi, gadis itu memainkan ponsel sembari menunggu Zian di teras samping. Beberapa hal menganggu pikirannya termasuk sebenarnya harus dibawa ke mana hubungannya dengan Zian, jika mereka terus jalan, melanjutkan hubungan ini, kemungkinan besar Shaula yang akan berpotensi menyakiti Zian. Dia selalu bahagia bersama Bara dan itu adalah fakta, sementara dengan Zian rasanya flat, benar kata Bara kalau cowok itu terlalu baik untuk Shaula. Tapi masa Shaula harus putus dengan alasan terlalu baik?

Klakson dari Zian menyadarkan Shaula, gadis itu lantas berjalan menghampiri Zian.

“Langsung jalan?” tanya Zian.

Shaula mengangguk kemudian naik ke atas motor.

“Maaf ya.”

Salah satu yang membuat hubungan ini tak menyenangkan adalah Zian sering kali merasa bersalah dan terus meminta maaf, padahal Shaula selalu berusaha mengerti. Kalau biasanya Shaula akan menyangkal maaf itu, kali ini dia tak menjawab, hanya diam.

Perjalanan terasa hambar karena memang keduanya hanya diam, Zian tentu saja dengan rasa bersalahnya, sementara Shaula dengan rasa kesalnya, kesal tanpa sebab, kesal karena Zian terlalu baik.

“Zi...”

“Hmmm?”

“Kita putus aja ya,” ucap Shaula tanpa beban.

“Kamu kenapa?” tanya Zian, mereka baik-baik saja bukan?

“Aku kayaknya nggak bisa sama kamu.”

“Dan aku kayaknya nggak bisa kalau nggak sama kamu.”

***

Bara egois, tapi bukannya cinta emang harus egois?

Soalnya penyesalan paling sesal adalah saat dia udah bersama orang lain.





Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang