Bara sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Shaula, tapi gadis itu ngotot dan benar-benar tak menahan saat Bara memutuskan pulang. Mereka selesai. Setidaknya itulah yang ada di kepala Shaula. Kalau Bara, dia hanya menganggap semua ini jeda, dia hanya ingin memberi Shaula waktu untuk memikirkan semuanya. Mereka saling membutuhkan dan Bara yakin dalam waktu singkat Shaula akan menyadari itu.
Pagi ini Bara tak menjemput Shaula untuk berangkat ke sekolah bersama, Shaula pasti belum ingin menemuinya. Sementara di rumahnya Shaula terus kepikiran, dia sedikit kecewa karena Bara menerima begitu saja keputusannya untuk berpisah.
Keduanya bertemu di parkiran, Bara hanya melirik sekilas setelahnya langsung berjalan menuju ke kelasnya. Shaula juga sama, bedanya mungkin gadis itu pakai acara menghela napas lelah. Padahal kemarin Bara masih menjadi sosok yang sangat peduli, kenapa hari ini rasanya asing sekali?
Kaki itu juga melangkah menuju ke kelasnya, mungkin mulai hari ini, mulai sekarang dia harus membiasakan diri. Bara juga manusia, sama seperti papanya kapan pun Tuhan mau, dia bisa mengambil Bara. Shaula tak boleh terus bergantung pada cowok itu, apalagi sampai menggantungkan kebahagiaannya, menusia adalah tempatnya kecewa dan bersama Bara pun sama, sebaik apa pun perlakuan cowok itu, suatu waktu mungkin dia akan mengecewakan Shaula.
Dunia itu selalu berubah, sosok Bara yang satu hari lalu masih mengiriminya pesan penuh perhatian, hari ini bisa mengacuhkannya begitu saja. Lucu memang, tapi Shaula tak akan pernah menyalahkan Bara sebab keputusan untuk selesai adalah keputusannya. Wajar sekali Bara begitu, karena Shaula bahkan tak memberi kesempatan untuknya memperbaiki keadaan, walau sebenarnya keadaan sangat baik-baik saja. Memang hanya perasaan Shaula yang sulit untuk dijelaskan.
Bara sendiri sebenarnya sangat amat tersiksa, dia sangat tak bisa begini, mengabaikan sesuatu yang sebenarnya dia sangat peduli dengan itu, apalagi soal Shaula. Apa yang Bara tak usahakan untuk gadis itu? Sekarang dia malah harus berusaha untuk tak peduli dan itu sangat menyiksa.
***
Sampai jam istirahat pertama tiba juga mereka tak saling menyapa, beberapa kali tak sengaja saling tatap. Tapi beberapa kali juga saling mengalihkan tatap, seolah memang keduanya tak ingin lagi ada tatap.
“Kenapa nggak sama Kak Bara?” tanya Nana, entah setan apa yang merasukinya tapi hari ini dia menggunakan sapaan Kak untuk Bara.
“Putus,” jawab Shaula singkat, tapi jawaban itu cukup jelas, jelas untuk membuat Nana berubah ekspresi menjadi sumringah.
“Gue bilang juga apa, lo tuh nggak cocok sama dia, dia tuh terlalu bangsat buat cewek sebaik lo.”
Shaula menghela napas. Nana belum tahu saja sebaik apa Bara memperlakukannya. “Gue nggak sebaik itu.”
“Udahlah cari yang lain, banyak pasti yang mau sama lo, jangan sama kang pukul kayak Bara, serem tau hidup lo!”
“Gue nggak mau pacaran.”
“Bacot!” Hanya dengan Shaula, Nana sedikit nyaman berbicara kasar.
Shaula tertawa, memang sekarang yang ada dipikirannya hanya melanjutkan kehidupan dengan baik. Tapi kan tak pernah ada yang tahu kalau di sela usahanya itu seseorang datang memberikan kenyamanan.
“Tapi saat ini gue emang belum mau.”
“Awas aja lo balikan sama Bara.” Nana memasukkan potongan besar roti ke dalam mulutnya, dia kurang percaya dengan omongan Shaula karena kebanyakan tidak sesuai dengan realita.
“Iya!”
“Nggak percaya gue.”
“Segitu bencinya lo sama Bara?” tanya Shaula, padahal seingat Shaula, Nana berinteraksi dengan Bara juga karena dirinya. Bara sama sekali tak pernah mengusik hidup Nana, tapi kenapa bisa dia sebenci itu?
“Karena kak Bara sama lo tuh beda banget, pokoknya gue nggak mau aja temen gue disakitin badboy cap kuda lumping kayak Bara.”
Shaula tertawa, bisa-bisanya Nana masih sempat kepikiran soal kuda lumping.
***
Rasanya cukup kehilangan, tapi juga lega, lega karena tidak harus bersama siapa pun di sekolah kecuali Nana. Kali ini Shaula tidak sejalan dengan perasaannya sendiri, kalau ditanya sebenarnya dia masih mau Bara atau tidak, maka jawabannya adalah iya masih. Shaula tak pernah merasakan sebuah perlakuan sebaik perlakuan Bara, dia hancur oleh Arsen dan menjadi ratu dengan Bara.
Gadis itu duduk sendirian di depan kelas, hiruk pikuk suasana sekolah sama sekali tak mengusiknya. Matanya tertuju pada gelang hitam yang melingkar di tangannya, posisi gelang itu masih nyaman di sana, Shaula tak ada niat melepasnya.
Tanpa dia sadari, sosok yang menyematkan gelang itu memandanginya dari jauh, katakanlah Bara sangat pengecut, tapi dia benar-benar tidak siap jika menghancurkan sosok itu lagi. Dia tidak siap jika Shaula kembali terluka karena keberadaannya, mungkin untuk saat ini atau sampai waktu yang tidak ditentukan, Bara akan tetap menjadi pengecut. Menunggu dari jauh dan memastikan bahwa wanitanya baik-baik saja.
Bara tak punya teman di sekolahnya yang sekarang kecuali Shaula, bahkan beberapa orang hanya menghadiahinya tatapan tidak suka. Bara tidak peduli dengan ratusan orang yang tidak menyukainya, karena dia menyukai Shaula, maka dia akan terus mengejar gadis itu.
Shaula mengalihkan pandang dan akhirnya bertemu dengan tatapan Bara, keduanya saling tatap dalam satu garis lurus. Bara menatap penuh ketulusan sementara Shaula dengan mata sendunya. Tanpa berpikir panjang lagi Bara mengeluarkan ponselnya lantas menghubungi nomor gadis itu, dia benar-benar tidak bisa begini. Omong kosong jika dia tidak peduli dengan Shaula.
Bara bisa melihat secara langsung kalau Shaula menatap ke ponselnya namun setelahnya cewek itu mengabaikan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Bara mengerutkan dahinya mengangkat tangannya bertanya. Shaula menjawab itu dengan gelengan, padahal seharusnya mereka bisa baik-baik saja jika mau berkomunikasi dengan baik.
Bara melangkah cepat untuk menghampiri Shaula, tapi Shaula langsung bangkit dari posisi duduknya. Dia juga berjalan cepat untuk menghindar dari Bara.
“Shaula!”
“Kita udah selesai!” Itu membuat langkah Bara berhenti, bukan hanya Bara yang mengalihkan fokusnya ke Shaula, tapi orang-orang yang berada di sekitar sana juga mengalihkan pandangan ke dua orang itu.
“Apa aku pernah bilang aku setuju?”
“Nggak penting kamu setuju atau nggak, aku mau kita selesai,” ujar Shaula, dia memang tak menggebu-gebu seperti antagonis di sebuah cerita fiksi, matanya sendu, tapi karena tatapan sendu itu Bara jadi semakin tak siap untuk kata selesai di antara mereka berdua.
Tak ada kata terucap sampai Shaula berbalik, berlari meninggalkan Bara. Apa memang seumur hidup Bara hanya untuk ditinggalkan? Dia sudah terbiasa dengan sendirian, tapi untuk urusan ditinggalkan, dia benar-benar tak pernah siap?
Apa ini salahku yang membiarkan kamu masuk ke dalam hidupku La?
Kukira kamu akan menjadi selimut hangat yang akan memelukku ketika dinginnya hujan menyapa bumi, tapi aku salah. Kurasa kamu mungkin adalah kaktus, sudah tahu berduri, masih kuputuskan untuk memelukmu.
Bara menelan ludahnya dengan susah payah.
“Kamu harus tau, kamu adalah bentuk cinta yang aku yakin aku nggak akan pernah temukan di orang lain!!”
Shaula mendengar itu, tapi dia memutuskan tetap melangkah, tak sedikitpun berbalik, dia masuk ke dalam kelas, memutus akses pandangan Bara atas dirinya.
Bara mengelus dadanya sendiri, kini orang-orang menatapnya, kalau sebelumnya heran, kini prihatin.
“Oke ini belum berakhir.”
Jangan lupakan fakta soal perjuangan Bara untuk mendapatkan Shaula, kali ini dia akan berjuang lebih keras lagi.
***
Sepulang sekolah, Shaula menunggu jemputan karena Saqquil menawarkan diri untuk menjemputnya, karena setelah ini dia akan kembali ke perantauan untuk menuntut ilmu. Bara berhenti tepat di depan Shaula, tanpa kata langsung menyodorkan helm, dia hanya ingin pulang bersama, bukan bertengkar.
Shaula menatap helm tersebut, sangat ingin sebenarnya, tapi kalau dia mengambil helm tersebut dan pulang bersama Bara, ini perihal harga diri.
“Yuk.” Bara mengajak seolah tak terjadi apa-apa.
“Nggak mau dia.” Bukan Shaula yang menjawab tapi Nana.
Bara melirik teman pacarnya itu, Nana balas menatapnya sewot.
“Shaula pulang sama abangnya.” Nana memberitahu tanpa diminta, Shaula kesal dengan itu. Kemarin Bara sempat berbincang dengan abangnya dan respons abangnya sangat baik, Shaula yakin keduanya sudah mulai akrab.
Mobil Saqquil muncul, tanpa pamit Shaula langsung berjalan menuju mobil.
“Lo mau pulang sama Bara?”
“Nggak!”
“Terus itu dia?” tanya Saqquil.
Shaula hanya diam, mood-nya hancur karena seorang Bara hari ini, jangan paksa dia untuk menjelaskan apa pun.
“Udah putus Bang.” Nana yang hari ini ikut nebeng menjelaskan tanpa diminta.
Saqquil langsung menoleh ke arah Nana. “Serius lo?” tanyanya tak percaya, dia baru memberi pesan ke Bara dan sekarang mereka putus?
“Iya!” jawab Nana antusias, Saqquil lumayan asik, juga tampan.
“Goblok lo!”
Nana melongo mendengar itu.
“Bara udah baik banget sama lo!” Dan cowok itu tak kunjung menjalankan mobilnya.
“Ck, Abang nggak bakal ngerti sekalipun gue jelasin.”
“Sejak kapan Bara baik?” tanya Nana heran.
“Emang dia jahat?” Kembali Saqquil menatap Nana.
“Banget Bang!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaula's Story
Teen FictionShaula bertemu dengan Bara saat cowok itu menghajar temannya. Sebenarnya tak ada yang spesial dengan pertemuan itu, tapi karena Bara merasa tertarik dengan Shaula, dia menghubungi Shaula duluan. Dari ketertarikan itu Bara terus berusaha mendekati S...