XX. Harusnya Mengerti

72 19 24
                                    

.

.

.

.
Happy Reading^^

Mempertahankannya seperti terhunus pisau tajam, semakin dipeluk semakin terasa sakit. Namun melepaskan juga meninggalkan luka.

Dia berada diambang kepiluan, yang memang bukan hanya dari pikirannya sendiri.

Perasaan yang sudah hampir hilang kini kembali menyapa lagi, trauma yang susah payah ia sembuhkan, kini muncul lagi.

Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang salah dengan hidupnya?

Fani, segera memasuki kamarnya tanpa menyapa siapapun yang dilewati. Hingga orang tua dan kakaknya heran.

Sudah lama Fauzan tak melihat adiknya seperti ini, dan sang Ibu mencoba menghampiri kamar anak bungsu nya itu.

Tok..tok..

"Fan? Ibu boleh masuk?"

Tak ada jawaban, namun pintu di hadapannya tak terkunci. Ibu membuka nya perlahan.

Dilihatnya sang anak tengah menutup wajahnya dengan bantal. Berusaha menyembunyikan teriakan yang ia keluarkan.

"Kamu kenapa nak?" Ibu memeluk, mengusap pucuk kepala Fani penuh kasih sayang. Ingatan kejadian masa lalu muncul di kepalanya.

"Bu, sakit. Sakit bu!"

Sang Ibu memeluk Fani semakin erat, "iya nak, ada apa? Apa yang buat kamu begini lagi?"

"Sakit Bu,"

Ibu nya mengangguk, seakan mengerti apa masalah dan apa yang dirasakan anaknya.

"Ada Ibu nak, Ibu selalu disamping kamu. Ada Ayah juga mas Fauzan yang selalu ada untuk kamu."

"Kita obatin rasa sakit kamu sama-sama ya?"

Fani masih menangis, meraung seakan esok tak ada lagi hari untuknya menumpahkan airmata.

"Besok kita ke dokter ya?"

Fani mengangguk pasrah, ia juga tak ingin seperti ini. Ia tak ingin kembali ketempat dimana semua memori terdahulu-nya akna berputar di kepalanya.

***

Seorang gadis remaja tengah asik berbincang di dalam kelas, tanpa sadar seseorang tengah memperhatikan dirinya sedari tadi. Lewat celah jendela, Enda memperhatikan Yunita tanpa berkedip.

"Samperin!" Seseorang menepuk pundaknya, membuat Enda terkejut bukan kepalang.

"Hilman!!"

Yang disebut namanya hanya tertawa memamerkan deretan gigi rapihnya.

"Bener sih kata Hilman, samperin. Jangan cuma diliatin. Kamu kira dia barang di museum?" celetuk Nanda yang juga datang bersama Hilman.

Enda memilih pergi, mengacuhkan ucapan teman-temannya.

"Loh? Heh, mau kemana? Dibilangin malah kabur." lanjut Nanda,

"Ngelak mulu heran, padahal masih sayang." kali ini Hilman mengompori ucapan Nanda.

-

Bel pulang sekolah telah berbunyi, namun Enda dan kawan-kawan yang sudah memasuki tahun akhir memiliki pelajaran tambahan.

Lose You || Lucas Wong✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang