Jejak

81 13 3
                                    

Lisa Part

Aku meminta izin sebentar ke kamar mandi saat break. Ibu Jimin menawarkan diri untuk mengantarku sampai ke lorong dan menunjuk sebuah ruangan berdaun pintu yang berwarna cokelat bata. 

Aku membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, memajukan tangan untuk membuka pintu.

Aku menekan knot pintu dan berbalik. Di dalam sini, seorang pemuda bertelanjang dada juga sama kagetnya denganku. Kami terdiam untuk beberapa saat karena situasi yang begitu di luar dugaan.

"Aduh mataku!" Aku langsung menunduk. Melihat ke garis lantai yang ada di bawah.

"Sejak kapan kau ada di sini?" tanyanya.

Aku bisa melihat kakinya maju.

"Eits..." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Kau menghalangiku."

"Ohh..." aku langsung bergeser. Tetap tidak ingin melihat padanya.

"Atau..." ia berrhenti dan urung membuka pintu.

"Ah, cepatlah keluar pervert."

"Kaulah yang pervert," katanya lalu mengapitku. Ternyata, si pervert ini mengangkat sebelah tangannya, menggapai turtleneck di gantungan dan memakainya lagi.

"Masih lama?" protesku.

"Bilang saja kau ingin berlama-lama di sini."

Aku melotot padanya lalu menyesal karena  tidak sengaja melihat tanda itu.

"Bagaimana aku bisa keluar kalau kau berdiri di depan pintu? Setidaknya tutuplah jejak yang ada di lehermu itu."

Aku mengangkat wajahku setelah pemuda selesai mengenakan turtleneck putihnya.

"Mau lihat lagi?" ia memajukan tubuhnya seraya menutunkan turtleneck yang menutupi lehernya.

"Tidak terima kasih," lalu mendorong punggungnya agar cepat enyah dari hadapanku.

Aku mengunci pintu dan mundur beberapa langkah. Terdegar ketukan pintu. Suara Jimin yang serak terdengar, "ini bukanlah apa-apa. Jangan berpikiran negatif padaku dulu, Lisa."

Aku tidak memberikan respon, menunggu sampai bayangan di bawah pintu pergi.

Apa-apaan sih dia? 


Jimin Part

Sial!

Kenapa?

Semangatku untuk menyelesaikan part terakhir hari ini pudar. Seandainya kami tidak terjebak dalam ruangan dan situasi yang sama. 

Aku mengangkat wajahku, memandanginya dari bawah pohon. Asistennya sedang menyisir rambutnya. 

Director sudah berdiri si sampingku. Ia menyubit telingaku, "anak usil."

"Aduh, Hyung."

"Karenamu editor harus bergadang karena selalu saja ada bagian yang perlu diedit."

Aku menurunkan tangannya, "maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan."

"Itu hanya berlaku dalam 5 menit. Nanti kau akan melakukan hal yang sama lagi. Untunglah pasangan virtualmu Lisa."

"Memangnya aku kenapa?" dengan nada usil.

"Kau akan menggodanya terus sampai wajahnya memerah. Kau tidak akan berhenti sampai ia tampak kewalahan, kan?"

Aku tersenyum lebar.

"Oh, ya, boleh kami syuting di kamarmu?"

Apa?

"TIDAK. TIDAK HYUNG!" tolakku dengan keras.


Lisa Part

"Apa itu?"

Jimin melompat dan berdiri di depanku.

"Bukan apa-apa!"

Aku menunduk dan memanfaatkan celah di bawah kakinya, menarik kotak kayu itu. Hingga isinya berserakan di lantai. Aku melihat ke atas, wajahnya tampak pucat. Aku? Aku tampak seperti orang dungu yang kehilangan arah.

"Apa ini?" lalu menjatuhkan benda aneh itu di lantai.

Ia mendekap mulutku dengan telapak tangan.

"Nona, rasa penasaranmu akan membuatmu tersesat," bisiknya lirih.

Aku berusaha melepaskan dekapan tangannya. Pemuda ini tidak mudah ditaklukan. Ia menendang mainan itu ke dalam kolong tempat tidur.

Aku menggigit telapak tangannya. Jimin mengaduh dan membebaskanku.

Dua orang staf yang mendengar kegaduhan kami masuk, dan bertanya, "suara apa barusan?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Jimin. Ia menoleh padaku dan lirih memperingatkanku, "diamlah."

Cepat-cepat ia menutup pintu hingga setengah terbuka.

"Ah, cepat sekali kau menemukan semua itu. Padahal sudah kusembunyikan baik-baik."

Aku sama sekali bingung dengan maksudnya.

"Sebaiknya kau tidak tahu," katanya lalu sekali lagi memintaku untuk tidak bertanya. 

Aku mengabaikannya karena menganggap semua itu tidak penting.

"Ya, sudah," jawabku yang tidak ingin berlama-lama satu ruangan dengannya. Tanpa sengaja saat hendak keluar aku menginjak sesuatu yang mengeluarkan suara. Suara mistis yang mirip seperti......... erangan? 

ERANGAN??? Apa aku yang ketularan pervert ya?

"Shit!" umpatnya bersamaan dengan suara kepalaku.

Aku terbelalak.

Jimin mengambil benda itu dan menyembuyikannya di belakang punggung.

"Apa?"

"Apa?" aku balik bertanya.

"Anak kecil sana keluar!"

Aku jelas tersinggung dipanggil anak kecil.

"Memang aku mau keluar. Weekkk..." aku menjulurkan lidahku.

"Kau ini?" ia mengeluarkan benda itu dan memukul kepalaku pelan dengan benda itu. Lagi, suara itu terdengar. "Aisssh, shit!" umpatnya menyadari sebuah kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan.

Aku tertegun, seperti mendapat pencerahan.

"Kepalaku yang suci tanpa noda......"

"Maaf," katanya.

 Aku langsung berlari keluar dengan terburu-buru bahkan terpeleset di depan pintu kamarnya. 

"Kau akan selamat kok," terdengar suara. Ia mengulurkan tangannya. Aku mengibas tanganya.







LOVE VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang