Lisa Part
"Berhenti melihatku seperti itu," kata Jimin.
Kebetulan mata kami bertemu saat Director mengatakan "CUT."
Bukankah harusnya ada yang meminta maaf ya? Gumamku.
Pemuda itu menundukan wajahnya lalu berbisik. Kupikir, ia akan meminta maaf. Namun, ekspresi takzimnya berubah menjadi senyuman bengal.
"Hei, si pendek. Lain kali jangan masuk ke kamar orang tanpa izin."
Bukankah harusnya aku yang mendapatkan permohonan maaf tulus? Aku membungkuk pada staf lalu meminta izin pada ibunya untuk pulang terlebih dahulu.
"Hei, bukannya kemarin kita sudah menjadi teman ya?" Ia terus mengoceh saat aku menuruni tangga menuju halaman depan rumahnya.
Aku mundur mengamatinya. Kok bisa ya, pemuda yang masih berumur 25-an ini berperilaku seperti paman mesum?
"Apa?"
Aku tidak menggubrisnya. Director berdiri di belakang kami dan mengatakan bahwa syuting di rumah Jimin akan dilanjutkan besok. Aku hanya diam.
"Masih marah? Merajuk?" ia mengekorku.
Aku mempercepat langkahku menuju manajer yang lebih dulu berjalan di depan.
"Hei..." ia menarik jaketku. Aku mengernyit padanya. Lekas langsung dilepaskan genggaman itu.
"Maaf," katanya lagi.
Ekspresinya sih tampak bersungguh-sungguh, ....
"Maaf karena memukulmu dengan mainan dewasa."
Ia menunggu reaksiku.
Memangnya aku harus apa? Teriak? Sudah kulakukan dari sepersekian detik dalam kepalaku setelah ia mengatakan kata terakhir itu. Aku sudah menjambak rambutnya dalam benakku. Bahkan sudah mencak-mencak seperti orang gila dalam hayalanku...dan mengutuknya menjadi zombie yang memakan otaknya sendiri. Menendangnya dengan salto jungkir balik seperti power ranger pink...dan entahlah apa pun yang bisa dan ingin kulakukan terhadapnya.
Ia menggerakan kedua tangan di depan wajahku.
Tenang Lisa. Jagalah kesehatan mentalmu, kataku pada diri sendiri.
"Kau bisa balas memukulku," tawarnya.
Dengan apa? Dengan toys favoritnya itu? Nah, paman mesum ini, otaknya mungkin sudah hilang separuh.
"Kau membuatku ngeri. Dari tadi kau tidak menjawab pertanyaanku, tapi menatapku seperti pandangan Joker."
Memang!
Aku tertawa pendek. Sangat datar layaknya robot. Jimin memasang wajah bergidik, lagi dan lagi menggodaku.
"Ekspresimu menyeramkan....hihhhh...!"
"Aku sedang meditasi," jawabku lalu berjalan lagi.
"Lisa!" terdengar suara Jimin dari belakangku.
"Jangan ganggu aku. Aku sedang mencari ketenangan jiwa!"
"Kau tidak akan memberitahu siapa-siapa, kan?" teriaknya bodoh atau hanya pura-pura bodoh. Entahlah.
Tidak terdengar suara Jimin lagi.
Apa itu yang paling penting baginya? Bagaimana dengan kepalaku yang sudah terkontaminasi? Bagaimana dengan kepolosan dan keluguanku? Aku menggeser pintu mobil dengan kasar, melampiaskan kekesalanku pada si pervert itu.
Jimin Part
Aku mengetukan kepalaku di dinding. Menarik rambutku sendiri, mengumpat dan menyumpahi. HP di tanganku masih berdering, belum ada respon dari orang yang kutuju.
"Hallo, Hyung, Wassap!"
"Bajingan, jangan tidur di kamarku saat aku tidak ada di rumah ibuku!"
"Hah? Kenapa marah-marah sih? Hyung, pinjamkan aku uang. Banyak order yang masuk. Aku butuh modal tambahan."
"Singkirkan barang-barang itu dari kamarku!"
"Oh, sudah kau coba? Bagaimana menurutmu?"
Aku menghela napas, "jika dalam 10 menit kau belum sampai di rumahku. Tamatlah riwayatmu!"
Manajerku masuk membawa segelas teh mint untukku. Aku merebahkan tubuh di sofa. Aku sama sekali tidak tergiur dengan teh itu.
"Jimin..." kata manajerku sembari memijat kaku.
"Aku sudah bilang, kan, simpan barang-barang sepupuku di gudang, tapi Hyung malah meletakannya di sana."
"Waktunya mendadak. Aku panik sehingga kuletakan dalam kamarmu. Apalagi, melihat rundown syuting yang tidak dilakukan di kamarmu. Maka kupikir, tempat itu bisa menjadi tempat aman, setidaknya untuk sementara waktu."
Aku menghela napas. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Mau menjelaskan pun percuma. Tidak ada yang akan percaya kalau pembelaan itu keluar dari mulutku. Apalagi......Aku membayangkan wajah Lisa yang kelihatan shock. Ia sudah meihat bekas di leherku ditambah barang-barang sialan itu di kamarku.
"Hampir saja, untung mereka tidak jadi syuting di kamarmu hari ini," kata manajerku masih belum mengetahui cerita tragis hari ini.
Aku menggeser kakiku.
"Hyung.....aku tidak ingin syuting besok."
Lisa Part
Ia membuka tutup botol minuman dan meletakan di depanku. Kemudian, menata kedua sumpit di dekat mangkukku. Menggeser kursi untukku, menuangkan air minum saat aku tersedak.
Sekalinya, saat aku kesusahan dengan rambutku yang tergerai. Ia menyodorkan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia juga yang membantuku membuat kimchi bersama Ibunya. Ia tampak patuh dan tenang. Sayangnya perilaku Jimin ini justru membuatku merasa tidak nyaman.
Aku berdiri di wastafel dapur dan menggulung lengan bajuku. Tiba-tiba sebuah tangan muncul, menyalakan kran untukku.
Aku menoleh dan menatapnya dengan tatapan: 'yang benar saja!'
Ia menghela napas dan berkata, "aku belum mau mati, dan aku memang berniat berbuat baik."
Tidak mungkin!
"Jangan terlalu banyak melamun."
"Aku tidak melamun, tapi bicara pada diriku sendiri," kataku lalu menggosok tanganku dengan sabun cair.
"Apa bedanya? Kalau kau sama-sama menyumpahiku dalam hati."
Aku menghela napas dengan ketara.
"Lisa," Jimin memangil namaku, "Apa yang harus kulakukan agar kau tidak terusan mendiamiku?"
"Jimin...." jawabku yang memang tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Oppa, kecuali di depan kamera.
"Kalau kau jadi aku apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan menghapus semua pikiran itu dalam benakku dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi."
Aku masih memandanginya, tentu dengan kesal.
"Kau tidak perlu memaafkanku. Aku memang ashole, tapi aku harap kau tidak terganggu dengan yang 'kemarin'....aku sungguh-sungguh..." katanya pelan.
"Baiklah, aku akan profesional," kataku lalu mendahuluinya. Aku tahu dia masih mengikutiku. Aku pun berbalik, "bersikaplah seperti biasanya. Aku sangat tidak nyaman kalau kau terlalu baik padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE VIRTUAL
FanfictionJimin, lelaki playboy dari boygroup terkenal. Ia bukanlah tipe orang yang takut pada apa pun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah ekspresi isi hatinya. Ia ingin menjadi orang seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya. Hanya sayang, pekerjann...