Lisa Part
Tidak sulit untuk berpura-pura. Bahkan ketika kau ingin menangis atau berteriak. Kau hanya perlu menarik kedua sudut bibirmu hingga seakan-akan kau orang paling bahagia di dunia ini.
Setidaknya itulah yang aku rasakan sekarang. Rasanya aku sudah membawa diriku dalam dunia hayalan hingga suara itu tidak lagi mempengaruhiku. Suara hatiku.
"Kau berkencan dengannya? Sejak kapan?"
Rose sahabatku tersenyum. Pipinya tampak merona merah. "Dia mengatakannya kemarin."
Aku tersenyum tipis. Lagi-lagi suara hatiku melebur oleh egoku. Harga diriku terlalu besar untuk mengakui kalau aku begitu terusik setiap kali mendengar nama itu.
"Lisa mengapa kau tidak mengatakan apa pun?" tanya Rose.
"Kau terlihat bahagia, Unni. Aku senang," jawabku.
"Terima kasih. Dukungan kalian vitamin untukku."
"Jangan berlebihan, deh." Kata Jenny .
Begitulah percakapan itu menguap karena kami terlalu sibuk dengan jadwal yang padat. Tapi, nama itu. Lagi-lagi nama itu tidak mau menguap. Sebaliknya ia terus mencobai kesabaranku untuk terus menahan suara hatiku setiap nama itu disebut.
*****
Aku menyipitkan mata, lighting yang begitu benderang membuat mataku silau.
"Terima kasih atas dukungannya. Berkat kalian kami tidak akan sampai di sini!"
Aku menatap kosong ke arah panggung sembari bertepuk tangan saat suara itu terdengar. Sorak-sorai fans, ucapan selamat dari idol dan penyanyi lainnya, dan suasana panggung yang meriah sayup terdengar.
Di sanalah, tatapan tajam itu berasal, diantara para idol yang ikut berdiri mengucapkan selamat. Tatapan yang paling kubenci. Oh, kenapa dia tersenyum? Apa hanya aku yang sadar arti senyuman itu? Senyuman meremehkan!
Tiba-tiba saja aku teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu setelah penampilan debutku bersama member lain.
"Kau sangat menarik. Aku penasaran apa yang ada di dalam kepalamu."
Aku menatap lelaki itu heran. Perkataannya barusan di luar dugaanku.
"Apa kau marah karena aku mendapatimu sedang berciuman di tangga darurat?"
"Aku tidak peduli. Why? Apa kau penasaran bagaimana rasanya?"
"Whatever!" aku berbalik dan menatapnya tajam, "jangan sok dekat dengan memberku, terutama Jisoo Unni. Aku tidak tahan melihatmu mencoba menarik perhatiannya."
"Waow...waow.. Ada yang jealous di sini."
"Tidak. kenapa aku harus jealous padamu?"
"Bukan padaku. Tapi kurasa kau hanya merasa iri karena mungkin tidak ada yang tertarik padamu. kau merasa kesepian. kasihan sekali."
Aku membuka mulutku lebar. perkataannya barusan begitu... begitu jahat.
"Pikirkan apa yang kau pikirkan. yang jelas, aku tidak akan membiarkan bibir pervertmu itu mendekati memberku."
"Hei." ia menarik lenganku dan mendorongku ke dinding.
"Biasanya aku tidak suka kasar pada perempuan. Tapi, untukmu pengecualian. pertama, kau sudah ikut campur pada urusanku. Kedua, kau lupa kalau di sini senioritas sangatlah penting. Ketiga...." aku mendorongnya tanpa hasil.
ia mendekatkan wajahnya padaku, "aku alergi pada...hatshimmmm!!" katanya melepaskan cengkraman lalu mengusap hidung.
"gadis sepertimu," lanjutnya.
"Kuharap kita tidak bertemu lagi."
"Jangan terlalu membenciku, baby" kata lelaki itu sebelum pergi.
Argh. Sepertinya hidupku belum cukup rumit sampai harus berurusan dengannya. Lagi.
Jimin Part
"Kita bertemu lagi. Tidak disangka, bukan?" Aku menarik kursi dan duduk menyilangkan kaki. Gadis itu, Lisa membolak-balikan majalah tanpa mengangkat wajahnya.
"Coba kita ingat lagi. Kapan ya kira-kira itu terjadi? Satu? Dua tahun? Waktu itu kau ada di sana. Aku ingat sekali."
"Kau tidak suka melihatku. Tidak perlu basa-basi seperti itu," jawab gadis itu.
"Kau punya ingatan yang sangat bagus. Akhirnya kita tidak perlu berusaha keras agar terlihat bagus di depan kamera."
"Terserah kau saja."
Seperti yang kuduga, gadis itu selalu menunjukan sikap dinginnya.
"Hubungan virtual ini hanya akan terjadi di depan kamera."
"Persis," jawab gadis itu terdengar begitu menjengkelkan di telingaku.
Aku mengambil majalah yang menyita perhatiannya itu.
"Belajarlah untuk menghargai orang lain."
"Dan dari mana kata-kata itu datang?" nada bicaranya terdengar ketus.
"Sikapmu berbanding terbalik dengan Jenny. Dari luar ia terlihat dingin, tapi hatinya sangat lembut, sedangkan ..."
"Oh, kau tidak akan mau mengeluh sepanjang hari seperti anak kecil, kan?"
Sialan! Kata-katanya begitu tajam. Aku tersenyum paksa. Jangan sampai emosiku tersulut oleh perilakunya. Anggap saja dia memang sudah terlahir seperti itu.
"Kau pasti kesepian. Bisa kutebak, tidak ada yang tahan dengan sikapmu yang menyebalkan."
Gadis itu terlihat kesal. Rupanya, umpan yang kuberikan berhasil mengusik egonya.
"Benarkah? Apa aku terlihat membenci hidupku?" tantangnya.
Dan itu membuatku bertambah pitam. Ia terlihat acuh, kuat, mandiri, dan santai saja dengan kehidupannya. Ah, kenapa aku membahas masalah itu?
"Lihat saja nanti, apakah kau bisa bertahan dalam acara ini," katanya tampak santai sembari merampas kembali majalah yang kurebut darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE VIRTUAL
FanfictionJimin, lelaki playboy dari boygroup terkenal. Ia bukanlah tipe orang yang takut pada apa pun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah ekspresi isi hatinya. Ia ingin menjadi orang seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya. Hanya sayang, pekerjann...