Tragisnya Nasibku

275 38 1
                                    

Jimin Part

"Sial! Sial! Sial!"

Aku meninju sak melampiaskan emosiku. Air tubuhku berontak, keluar dari pori-pori. Kening dan juga dadaku basah. Kepalan tanganku masih menyasar sak seakan dialah korban persembahan demi memenuhi keserakahan tuannya. Sampai...

"Jimin!" suara Hyung menghentikanku.

Dengan tangan yang tertutup sarung tinju aku menghentikan alunan sak. Menoleh padanya tanpa mengatakan apa pun.

"Ada apa denganmu? Taehyung dan Jin memanggilmu dari tadi."

Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan keras. Kutatap keduanya yang sedang duduk di kursi menunggu respon dariku.

"Dia sudah seperti itu selama 1 jam," imbuh Jin yang ditegaskan oleh anggukan Taehyung.

"Hem, biar kutebak. Apakah ini karena permintaan CEO?" tanya Jin.

Taehyung menggelengkan kepala, "bukan. Dia begitu karena tidak bisa berlibur ke Paris dan bersenang-senang bersama para model atau kehabisan stock kata-kata karena semua isi buku gombalannya sudah pernah dipakainya untuk merayu gadis. Mampuslah Hyung, kau sudah kehilangan jiwa senimu," timpal Taehyung yang langsung disambut tawa Jin dan Nam Joon, leader kami.

Aku hanya hanya tersenyum lebar. Anak-anak ini memang kurang ajar. Lihat apa yang akan kulakukan.

Tanpa aba-aba, aku melemparkan handuk basah yang kupakai untuk membasuh keringat. Ketiganya langsung berjingkat berdiri dengan panik.Taehyung langsung melimpahkan handuk itu pada Jin yang diterimanya secara terpaksa sembari meringis jijik. Dengan cepat ia menjatuhkan handuk itu kembali ke arah Taheyung dan tepat mengenai wajahnya.

Namjoon Hyung? Tentu saja ia sudah lebih dulu kabur entah ke mana.

Aku tertawa sembari memegangi perutku.

"Hyung!!" protes Taehyung.

"Mwo? Bagaimana mungkin kau melemparkan handuk menjijikan itu pada Hyungmu? Anak nakal!" jawab Jin.

Aku hanya menggelengkan kepala, melihat perilaku keduanya. Kulangkahkan kaki meninggalkan keduanya yang masih mempeributkan handukku.

"Ah, istirahat lalu mandi akan menyegarkan," gumamku lalu bersiul ringan.

Di belakangku masih terdengar pertengkaran keduanya.

Lisa Part

Pertemuanku tidak berjalan mulus. Yah, kalau pun berhasil kurasa itu hanyalah mimpi belaka. Mengharapkan lelaki kurang ajar itu berubah seperti mengharapkan matahari terbit di sebelah barat. Mustahil.

Aku menurunkan hoody warna putihku dan memencet tombol lift. Pintu tertutup dengan perlahan. Lalu aku terhenyak karena sebuah tangan tiba-tiba menghalaunya hingga membuat pintu itu terbuka lebar. Aku mengigit bibir bawahku, kalau ini adalah stalker maka yang harus kulakukan adalah menendang perutnya agar membuatnya lumpuh dan berlari sekencang mungkin.

Aku mundur. Mataku terpaku pada lelaki dengan hoody hitam, masker, dan topi hitam. Dari penampilannya saja sudah mencurigakan. Ia terdiam sebentar, terlihat ragu lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Inilah saatnya, gumamku. Sebelum lelaki itu masuk, aku langsung menerjangnya dan menendangnya. Tendanganku meleset. Aku bergeser mencari celah untuk keluar.

"Arghhhh...." tangannya mencengkram ujung bajuku.

"Le...lepaskan!" kataku dengan panik. Aku berusaha melepaskan genggamannya.

Hoodyku turun hingga membuat wajah polosku terkena cahaya lampu. Lelaki itu menengadah sembari mengucap lirih menahan sakit.

"KAU!"

Aku benar-benar merasa terancam. Aku menarik rambutnya agar bisa menyelamatkan diri. Berhasil, akhirnya genggamannya longgar, aku pun melangkah cepat.

"Tu..tungggu!" ia berhasil menggapai bahuku, menarikku masuk ke dalam lift dan mendorongku hingga ke dinding. Sebelah tangannya menekan tombol lift.

Setiap detik lift itu menutup, keringat dinginku menetes. Mungkinkah ini akhir hidupku? Tenagaku sudah habis terkuras saat mencoba menyerangnya tadi.

Bagaimana ini? Siapa pun tolong aku, jeritku dalam hati.

Jimin Part

Seumur hidupku, baru kali ini rasanya sekujur tubuhku terasa lemas tak berdaya. Apalagi gadis bar-bar ini sudah menendang 'sesuatu' yang begitu sensitif, membuatku malu, kesakitan, sekaligus marah.

Tatapan matanya terlihat takut. Ia diam mematung di dinding lift sementara aku masih berusaha mengatur napas sebelum berbicara. Aku menghembuskan napas beberapa kali menahan sakit yang teramat di bagian bawah sana. Wajahku memanas, aku membungkuk, meremat jemariku.

"Brengsek!" umpatku. Aku menurunkan hoody dan maskerku agar ia bisa melihat siapa aku.

"Jimin?" ucapnya pelan bahkan terdengar amat lirih.

Aku meninju dinding lift, hanya beberapa sentimeter darinya. Guncangan terasa. Gadis itu tertegun, muara air muncul di kelopak matanya. Tentu saja bukan disengaja. Itu terjadi karena aku tidak tahan lagi. Rasanya seperti ditinju bertonton besi. Tidak tertahankan, ingin menjerit tapi yang keluar hanyalah erangan. Tengkukku terasa dingin karena keringat. Kakiku bergetar karena seragan telak tadi. Ya, aku terjebak dalam situasi yang tragis ini.

Lift terus berjalan hingga lantai paling atas. Aku hanya melirik sekilas pada tanda merah di dinding lift. Setelah beberapa saat, aku berusaha menggerakan kakiku. Sakitnya masih terasa.

"Kalau sampai 'ini' cacat. Tamatlah riwayatmu!" gumamku lalu seraya melemparkan tatapan menghakimi.

"Kau tidak apa-apa?"

Kau tidak apa-apa? Tidak Apa-Apa? TIDAK APA-APA?! Tolong garis bawahi kata-kata itu. Apa dia tidak waras?

"Ufhhh..."gumamku. Rasa lumpuh di bawah sana membuat lidahku kelu dan tidak bisa mengeluarkan suara yang ada di kepalaku.

Apa dulu saat masih dalam kandungan ia sudah terbiasa menendang? Sebegitu beringasnyakah kaki gadis ini. Beruntunglah dia bukan saudariku kalau iya, akan kuikat kaki kurang ajar itu. Kenapa? Kenapa harus di situ? Erangku gemas. Hal bodohnya adalah aku masih bisa memikirkan hal konyol ini dalam keadaan sakit.

"Dalam hitungan ke tiga," aku mengibaskan tanganku.

Ia masih terdiam di sana seperti orang bodoh. Ya Tuhan, mengapa kau ciptakan gadis bodoh ini sebagai partnerku kerjaku?

"Shatu.." kataku sambil menahan sakit.

"Dhuu..."aku mengambil jedah untuk menghembuskan napas.

Gadis itu langsung berjongkok mencari celah bebas. Aku hanya menoleh ketika melihat gadis itu lari terbirit-birit. Setelah kepergiannya aku mengepalkan kedua tanganku dan menahan napas. Ya Tuhan, rasanya benar-benar sakit.

"LISAAAA!!" teriakku membiarkan rasa sakit itu menguasaiku.

LOVE VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang