Lisa POV
"Haruskah aku jauhi dia?"
Tapi sikap Jimin sepertinya santai saja. Ia tidak marah kalau aku tidak membalas pesannya atau menolak ajakannya. Artinya....
Aku menyandarkan kepala di atas meja. Lesu.
"Boleh aku jemput?"
Aku mengangkat kepalaku. Pesan baru dari Jimin!
Aku memegang dadaku yang berdegub kencang. Baru saja dipikirkan.
"Bagaimana caranya?" balasku.
"Aku jemput di TBL bagaimana? Nanti aku akan ganti mobil di sana."
Pikiranku ke mana-mana, Jimin tampaknya sudah biasa berkencan sampai satu hal sedetail ini. Lagi-lagi, aku merasa kurang bersemangat.
Jimin POV
Lisa tampak kosong. Aku memundurkan kursinya, Lisa reflek melihatku.
"Istirahatlah, nanti kalau sudah sampai aku bangunkan, ya."
"Apa kau terbiasa kencan di perusahaanmu?"
"Hemm?" tanyaku spontan. "Maksudnya?"
"Lupakan," jawab Lisa, tapi kok aku merasakan nada merajuk ya.
"Aku tidak pernah kencan dengan orang satu agensi atau berkencan di perusahaan," jawabku jujur sembari menatap lurus ke depan mengawasi lalu lintas. "Itu adalah tempat yang paling kuhindari."
"Masa," celetuk Lisa lirih sekali.
"Biasanya kau kencan di mana? Ah, lupa. Ya ampun untuk apa aku bertanya.." lanjut Lisa.
Aku memberhentikan mobil di pinggir jalan lalu memeriksa ekspresinya. Lisa tampak berusaha berpura-pura normal saja.
Aku mengusap kepalanya lembut. Lisa tak bisa menyembunyikan sifat pemalunya.
"Apa kita boleh lanjut?" kataku pelan.
Lisa mengangguk. Aku tersenyum senang lalu mencubit pelan pipinya.
Lisa POV
Aku tidak menyangka kalau Jimin akan membawaku ke rumah ibunya lagi. Bahkan aku disambut dengan sangat hangat. Ada paman dan bibi serta sepupu Jimin yang ada di sana saat aku tiba. Ternyata, mereka sedang makan malam untuk merayakan ulang tahun ibunya Jimin. Namun, itu belum seberapa karena yang menakutkan juga ada di sana. Jenny. Ya, kami sama-sama terkejut melihat satu sama lain.
Jimin mengajakku masuk dan memperkenalkanku pada anggota keluarganya.
"What the..." bisik Jenny padaku. Ia merolingkan bola matanya, ketara sekali ia tak ingin melihatku di sini.
Selama makan malam, Jimin selalu di sebelahku. Ia membantuku menjawab beberapa pertanyaan, ikut bercanda supaya aku merasa tidak canggung, dan membantuku untuk lebih tenang.
"Terima kasih Lisa," kata ibu Jimin saat aku memberikan hadiah ulang tahun kepadanya sesuai saran dari Jimin.
"Sekian lama, Jimin tidak pernah mengajak teman perempuannya ke rumah dan memperkenalkan kepada kami," ujar pamannya.
Aku hanya tersenyum menutupi rasa gugupku.
Akhirnya, Jenny punya peluang untuk menginterogasi kami berdua. Ia mengajak kami ngobrol di teras rumah Jimin.
"So?" tanpa tedeng aling-aling Jenny menembak Jimin dengan pertanyaan.
"Aku yang mengajaknya ke sini," kata Jimin tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE VIRTUAL
FanfictionJimin, lelaki playboy dari boygroup terkenal. Ia bukanlah tipe orang yang takut pada apa pun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah ekspresi isi hatinya. Ia ingin menjadi orang seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya. Hanya sayang, pekerjann...