Tamat

35 5 4
                                    


Lisa POV

"Ice cream?" Jimin menyela saat aku sedang bersiap-siap.

Aku mendelik padanya. Asistenku yang sedang mengepang rambutku ikut menoleh. Memangnya ia tidak lihat posisiku sekarang?

"Ahhhh...." Jimin mengangguk. 

Bukannya pergi, ia masih berdiri di depanku lalu membungkuk memasukan tangan ke saku jeansnya. 

"Permen?"

Aku mengernyit. Dia pikir aku anak kecil?

"Boleh untukku?" tanya penata riasku bercanda. Jimin mengangguk. "Ice cream ini untuk Nunna saja daripada mencair kelamaan menunggu yang lagi merajuk."

Merajuk???

"Aku tidak merajuk," ralatku.

"Iya. Ngambek."

"Apa bedanya?" jawabku kesal.

"Aku sudah minta supaya mengubah jadwalku dan syuting iklan denganmu, tapi ditolak. Katanya sudah terlambat."

Penata rias dan beberapa staf tampaknya menguping walaupun berupaya supaya tidak terlihat olehku. Orang ini memang gegabah sekali. Kalau sudah bicara asal keluar tanpa disaring. Aku benar-benar ingin meledak sekarang.

Jimin melebarkan pupil matanya, "bukan. Jangan salah paham." Ia meluruskan posisi berdirinya. Kedua tangan digerakan depan dada. "Lisa. aku tak tau apa yang kau pikirkan, but aku tidak punya motif jahat."

"Kau pikir, aku marah karena iklan itu?" Harga diriku meronta. 

"Bukan?"

"Siapa yang peduli? Kau gabung atau tidak, yang penting bayarannya."

Jimin tampak mengembungkan sebelah pipi kanannya. "Oh." Ia menatapku lurus. "Jadi karena uang?"

"Terus, buat apa lagi?" Jawabku.

"Aku bingung menukar jadwalku, ternyata..." Jimin yang biasanya cengengesan atau bengal, kini ekspresinya tampak kaku.


Jimin POV

Aku setengah percaya Lisa melirik padaku. Gadis itu tidak menyadari kalau aku menangkap sinar matanya.

"Marah?" lirihnya di sela persiapan syuting. Syuting terakhir kami. Kami akan tamat. 

Aku mengangguk pada manajerku yang tersenyum simpul melihat kami berdua. Aku sama sekali tidak bermaksud mengacuhkan Lisa.

Lisa menarik ujung jaketku. Kaos lengan panjang yang dikenakannya sampai menutupi telapak tangannya, imut sekali.

Aku menatapnya, "kau masih marah?" tanyaku pada Lisa.

Lisa menggelengkan kepala. Aku tersenyum. Lucu juga, pikirku.

Kami sama-sama terdiam, sementara staf lalu lalang di sekitar kami.


Lisa POV

"Kau sudah bleh turun," Jimin membukakan pintu mobil. Desiran air laut terdengar semenjak mobil yang kami kendarai memasuki kawasan pinggiran. Bau asin menyerbak. Sinar matahari yang masih ada belum meninggalkan langit sore Busan.

Senyum lebarku mengalir begitu saja. Jimin melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Aku ikut meniru perbuatannya. Setelah itu, ia menggenggam tangan dan menuntunku ke area kosong menghadap bibir pantai. Jemari kakiku bisa merasakan butiran pasir putih yang menempel di kulitku.

Jimin memperlambat langkahnya sembari menahan helaian rambutku yang terbang disapu angin sore. 

"Bagaimana? Suka?" tanya Jimin seraya tersenyum.

LOVE VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang