Chapter 3

8.3K 656 45
                                    

ꋬꋪꏂꋪꋬꇙ

"Dari mana aja? Pulang sore seperti ini? Jam pulang sekolah saja pukul dua, bukan pukul lima sore!"

Vigo Pangestu, Ayah Zella yang berdiri di depan putrinya dengan wajah datar. Bahu tegap seraya bersedekap dada. Zella menghembuskan napas panjang. "Main dulu sebentar," jawab Zella malas. Gadis itu seperti muak berbicara dengan sang ayah.

"Sebentar kamu bilang? Udah tiga jam lho kamu main. Waktu segitu belum cukup untuk kamu. Mau jadi apa kamu, hah?!"

Zella berdecak. Tubuh Zella kini sangat lelah. Dia sekarang butuh istirahat. Tetapi ayahnya telah membuang waktu Zella dengan hal yang menurutnya tidak penting. Toh, Vigo tidak akan pernah peduli dengan Zella.

"Kamu bisa tidak menghormati orang tua? Kalau diajak berbicara itu, tatap matanya! Kamu itu sangat berbeda dengan anak-anak dari kolega bisnis ayah! Mereka pintar sehingga bisa meneruskan perusahaan orang tuanya!"

Zella memalingkan wajah. Lalu memutar bola mata. "Ayah bisa gak seperti orang lain juga? Mikirin perasaan anaknya sendiri!"

Zella menunjuk dadanya menggunakan jari telunjuk sambil menatap Vigo dengan tajam. "Zella terus yang salah kan? Ayah gak pernah salah. Di rumah ini, selalu Zella yang salah!"

"Zella gak pintar seperti anak-anak lain. Cukup menuntut Zella dengan kemauan ayah yang gak ada habisnya!"

Zella melempar secara asal tas ransel yang sejak tadi menggantung di bahu sebelah kanannya saja. Lalu gadis itu berlari keluar dari rumah. Menuju rumah Galuh yang berjarak beberapa meter. Hanya melewati dua rumah saja.

Saat Zella berdiri di depan pagar rumah Galuh, cowok itu sudah berdiri di depan pintu utama rumahnya. Zella tersenyum. Galuh memang selalu tau bagaimana keadaan Zella sekarang. Cowok itu selalu punya insting kuat jika Zella sedang tidak baik-baik saja. Galuh berlari menghampiri Zella dan membuka gerbang agar gadis itu masuk. Galuh menarik Zella menuju taman belakang rumahnya. Dan duduk di gazebo kayu.

"Lo gapapa?" tanya Galuh untuk berbasa-basi doang.

Zella mendongakkan kepala lantaran mata mulai berkaca-kaca dan siap menumpahkan buliran hangat.

"Gue ... capek," jawab Zella serak.

"Capek banget gue."

"Itu wajar, Zel. Setiap manusia pasti ada rasa lelah," balas Galuh seraya mengusap sebelah bahu Zella untuk menenangkan gadis itu.

"Kapan gue bisa bahagia, Gal? Dari kecil!! Sulit banget buat gue mendapatkan kebahagiaan!"

Pertahanan Zella hancur. Gadis itu meneteskan air mata. Lalu mengusapnya cepat. Zella tidak pernah menangis di depan siapapun. Bahkan di depan Galuh saja, Zella jarang menunjukkan kesedihannya. Walaupun ujungnya, cowok itu sendiri yang peka terhadap kondisi Zella.

Galuh menipiskan jarak duduk dengan Zella. Gadis itu langsung menyandarkan kepalanya di bahu Galuh sambil memejamkan mata. "Cuma bahu lo yang jadi tempat bersandar gue, Gal. Kak Zavian terlalu jauh untuk gue gapai."

"Padahal, dia satu-satunya orang yang gue harap menjadi tempat untuk keluh kesah gue."

"Ada yang sakit, Zel?" tanya Galuh mengalihkan pembicaraan.

Zella langsung menegakkan kepala. Dia menatap mata Galuh dan melihat sorot kekhawatiran. Lalu Zella menggeleng pelan. "Belum, Gal."

"Jangan berbohong, Zella!"

"Belum, Gal! Belum ada. Tapi nanti bakalan ada, kok. Tinggal menunggu waktunya aja."

Galuh menarik kepala Zella kembali agar bersandar pada pundaknya. "Jangan sakit lagi, Zel. Gue juga ikutan sakit. Apa perlu gue lawan om Vigo supaya lo tetap aman?"

ArzellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang