Chapter 4

7.7K 549 24
                                    

Mata Arderas berpencar ke sekeliling pesta. Lalu berhenti pada satu titik. Seorang gadis cantik yang berdiri di pinggir kolam renang. Arderas menghampiri gadis itu, berdiri di sebelahnya. Wajahnya yang cantik itu diterpa oleh sinar bulan dan kelihatan semakin cantik.

"So where's your boyfriend tonight?" tanya Arderas

Cowok itu melirik Zella seraya menenggak segelas koktail. Zella menoleh pada Arderas. Dia tidak menjawab, melainkan mata gadis itu mengarah pada seorang cowok dan cewek yang berada tak jauh di samping Arderas.

Arderas mengikuti arah pandang Zella. "Cowok lo?" tanya Arderas.

Zella masih tidak memberikan respons apapun. "Dia bukan cowok lo, tapi gue."

"Sejak kapan?!"

Setelah agak lama, baru gadis itu membuka suara. Arderas tertawa kecil. Tawanya mengalun merdu di telinga Zella. "Sejak tadi pagi," jawab Arderas.

"Lupa?" tanya Arderas sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Sebuah hubungan yang terjalin harus disetujui oleh kedua belah pihak. Lo yang tiba-tiba ngajak pacaran, tapi udah gue tolak. Itu berarti, hubungan ini gak pernah terjadi," jelas Zella.

"Gue gak minta persetujuan dari lo," balas Arderas tanpa menatap Zella.

Zella menghela napas. Dia mengeratkan jaketnya sebab angin malam semakin dingin. "Lo cowok aneh yang baru pertama kali gue temui. Ada alasan kan di balik lo mendekati gue?"

Arderas terdiam bisu. Dia tidak mungkin memberitahu pada Zella alasan sebenarnya. Jika dia kalah dalam taruhan ini, maka Gavin akan semakin gencar mengolok-olok Arderas.

"Suka sama seseorang itu pasti ada alasannya. Gak mungkin baru dua hari bertemu, lo udah ngajak gue pacaran, Kai."

Arderas menghentikan waiter yang kebetulan hendak melewati mereka. Mengambil segelas milk shake jambu merah. Arderas menyodorkan gelas itu pada Zella. Gadis itu mengambil gelas tersebut dan menelusuri mulut gelasnya.

"Gue tau lo mau mengalihkan topik," ucap Zella setelah minum satu teguk milk shake.

"Besok malam, datang ke lokasi ini." Arderas menyerahkan sebuah kartu warna hitam berisikan sebuah alamat.

"Ini studio musik milik Gravantas Band?"

Zella menaikkan sebelah alis. Beberapa detik kemudian, dia tersenyum penuh arti. "Jangan bilang lo salah satu anggotanya?" tanya Zella.

"Gue dan teman-teman gue."

"Wow, keren. Kalian buat band baru-baru ini, kan? Tapi, udah jadi perbincangan di instagram."

"Selain ketua basket, lo anak band juga. Terus, gue denger-denger lo juga siswa yang selalu mendapat peringkat kedua di kelas. Hebat, ya, lo," puji Zella.

"Gimana sih rasanya jadi orang berbakat? Padahal, lo nakal, tapi pintar juga. Sedangkan gue, udah sering terlambat, kadang bolos sekolah, malah tetap bodoh." Zella mulai menjelekkan dirinya kembali.

"Gue nakal, tapi masih ingat belajar juga. Nakal itu biasa, kok. Asal gak kelewatan batas seperti Edgar," balas Arderas sembari tertawa renyah.

"Kalau Edgar mah, dia udah gila. Gak peduli lagi sama sekolah. Taunya cuma paha sama dada doang. Gue heran ngeliat dia, deh."

"Pola asuh orang tua itu sangat berpengaruh saat kita dewasa," ujar Arderas. Cowok itu tahu bahwa hidup Edgar tidak se-menyenangkan yang orang lihat. Cowok itu hanya butuh pelampiasan saja.

Berbeda hal dengan Gavin, cowok itu memang asli gak tau diri. Orang tua kaya raya, tapi Gavin suka sekali foya-foya dengan mengadakan pesta tidak jelas dan membeli barang-barang tidak bermanfaat. Uang yang dihamburkan seharusnya dipergunakan dengan baik untuk pendidikan Gavin nanti, tapi cowok itu acuh tak acuh dalam belajar.

ArzellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang