ꋬꋪ꒯ꏂꋪꋬꇙ
Zella berdiri di depan cermin wastafel. Dia menurunkan lengan bajunya sedikit untuk melihat luka lebam di bahu kanannya. Zella membuka tutup salep untuk mengurangi rasa denyut dari lebam itu. Namun, salep yang berada di tangan Zella dirampas oleh Arderas yang tiba-tiba masuk ke dalam toilet kamar Zella."Kai?" suara Zella serak, hampir tidak kedengaran sebab terlalu banyak menangis.
Arderas mengeluarkan sedikit salep dan ditaruh di ujung jari telunjuknya. Arderas membuat tubuh Zella menghadap cermin wastafel dan Arderas berdiri di belakang Zella. Arderas mengusapkan salep tersebut pada bagian bahu yang lebam.
Setelah selesai mengobati, Arderas menaikkan lengan baju Zella kembali. Arderas memutar balikkan tubuh Zella hingga menghadapnya dan memeluk gadis itu erat. "Maaf, maaf, Zella. Maaf gue gagal buat jaga lo."
"Gue udah berusaha untuk memisahkan lo dari ayah lo, tapi gue tetap gagal. Gue benci diri gue yang gagal untuk melindungi lo. Gue benci ngeliat lo sakit seperti ini."
"Ayah gue yang memberi rasa sakit, tapi kenapa lo yang mengobati, Kai. Lo berusaha melindungi gue aja, udah lebih dari cukup." Arderas benar-benar tak sanggup mendengar suara Zella saat berbicara. Suara gadis itu seperti sudah habis karena terlalu banyak menangis.
Zella mengusap pipi kanan Arderas dengan gerakan lembut. "Gue lagi pengen sendiri, tinggalin gue, ya?"
"Zel? Gue gak bisa ninggalin lo sendiri dalam keadaan seperti ini. Gue takut lo kenapa-kenapa lagi."
Zella berusaha memberikan senyum terbaiknya. "I'm okay, don't worry, Kai. Gue lagi pengen sendiri, untuk menenangkan diri, hmm?"
Arderas menghela napas dengan berat hati. Dia mencium lama dahi Zella, mata gadis itu terpejam. Arderas berbalik badan, langkah kakinya terasa berat sekali saat meninggalkan Zella. Setelah Arderas pergi, Zella merosot lemas ke lantai toilet yang dingin. Punggung gadis itu bersandar pada dinding toilet yang juga dingin.
Zella memejamkan mata. Air mata kembali mengalir di wajah Zella. "Kenapa semua berjalan nggak sesuai dengan apa yang gue harapkan?"
"Kenapa?" Zella terisak kecil, tangannya mengepal memukuli dinding toilet itu dengan kuat.
"Padahal, gue udah berusaha keras. Tapi kenapa seperti ini?"
"Apa salah gue?" suara Zella benar-benar habis. Dia sendiri tidak yakin apa dia berucap dengan benar karena telinganya sendiri bahkan tidak mampu mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.
Semakin dingin, Zella berdiri dengan kaki gemetar, keluar dari toilet. Zella berbaring di ranjang dan lengan gadis itu menutupi matanya. Air mata dari tadi tak kian berhenti mengalir. "Ini sangat sulit."
"Gue berusaha setiap hari untuk sampai pada titik ini. Tapi, pada akhirnya, ternyata seperti ini lagi. Apa gue gak ditakdirkan untuk bahagia?"
"Tuhan, Zella lelah. Zella mau ketemu bunda."
ꋬꋪ꒯ꏂꋪꋬꇙ
"Zella?" Hasna mengetuk pelan pintu kamar Zella. Setelah berbicara secara baik-baik dengan Vigo, dan menyadarkan pria itu, Hasna menyuruh Vigo untuk berbicara dengan Zella.
Hasna memutar kenop pintu kamar Zella dan ternyata tidak terkunci. Hasna masuk dengan pelan, dan menemukan Zella yang berbaring di ranjang. Mata gadis itu tidak terpejam, melainkan lurus menatap plafon kamar.
Hasna duduk di pinggir ranjang, mengamati Zella yang diam saja. "Zella? Kamu kenapa belum tidur, sayang? Udah tengah malam, lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzella
Teen FictionTeen fiction Berawal dikhianati sang pacar, Zella akhirnya bertemu dengan Arderas Kaizen. Cowok yang katanya paling anti sama cewek. Kisah mereka juga diawali oleh sebuah taruhan, dimana sahabat Arderas menantang cowok itu untuk membuat Zella jatuh...