Chapter 5

7.4K 507 30
                                    

"Woi, bro!!"

Dean dan para anteknya menghampiri Arderas yang duduk dengan sahabatnya di pinggir lapangan. Sekarang waktu istirahat, mereka diberi waktu beberapa menit sebelum melanjutkan pertandingan kembali.

Jujur saja, Arderas ingin pergi. Berbicara dengan Dean, membuat Arderas jengkel. Cowok itu memiliki sifat sombong yang akut. Dean berdiri di depan Arderas sambil tersenyum remeh.

"Dia kelemahan lo?" tanya Dean. Cowok itu menengok ke belakang untuk melihat Zella yang duduk di seberang.

Arderas agak tercengang. Lalu tersenyum remeh. "Dia? Gue gak punya kelemahan. Jadi, jangan terus mencari cara untuk mengalahkan gue."

"Oke, kalau dia bukan kelemahan lo, gue rebut dia dari lo," ucap Dean.

Arderas tersenyum miring. Mengangguk singkat. "Silahkan. Gue gak pernah peduli tentang dia."

Arderas berdiri. Menepuk-nepuk pundak Dean seperti membersihkan debu. "Sampai kapanpun, lo akan selalu kalah."

Dean mengepalkan kedua tangan dengan erat. Rahang Dean mengeras. "Sialan!!"

Dean berbalik badan. Dengan langkah lebar meraih kerah belakang jersey Arderas. Menarik cowok itu cukup kencang hampir terjungkal ke belakang. Dean melayangkan satu bogeman mentah tepat di hidung Arderas. Hanya sekali, tetapi berhasil mengeluarkan darah seperti mimisan.

Arderas sempat kaget, dan cowok itu langsung berdiri dan membalas Dean lebih parah. Terjadi aksi baku hantam yang menarik perhatian siswa-siswi yang duduk di kursi penonton lapangan.

Sampai beberapa siswa datang untuk memisahkan Arderas dan Dean yang tengah diselimuti amarah menggebu-gebu. Wajah mereka berdua babak belur. Tetapi yang paling parah adalah Dean. Cowok itu mendapatkan luka memar di tulang pipi, mata bengkak, sudut bibir sobek hingga mengeluarkan sedikit darah. Berbeda dengan Arderas yang mengeluarkan darah dari hidung saja. Dean telah salah besar mencari lawan.

"Lo berdua gak usah seperti bocah tau, gak?! Gak mikir pakai otak? Setelah ini lo berdua bakal tanding lagi, emang bisa tanding dengan wajah seperti itu, hah?!" teriak Ethan marah.

"Yaelah, dua bocah ini kan kuat. Luka seperti itu sama mereka mah kecil. Gak usah diobati, biarin aja mereka tanding dengan luka itu," sahut Edgar.

Arderas berdecih, dia mengusap kasar darah di bawah hidung nya. Lalu duduk kembali di pinggir lapangan. Tak lama, wasit meniupkan peluit. Tanda waktu istirahat telah selesai dan pertandingan dimulai kembali. Arderas dan para sahabatnya masuk ke lapangan. Begitu pula dengan Dean dan anggota cowok itu.

"Aaa, kasihan banget Arderas. Muka dia sekarang pasti sakit banget. Tangan gue gatel pengen ngobatin," celoteh Alora.

Zella menggaruk belakang telinganya. "Duh, gimana, ya. Dia aja gak peduli sama diri sendiri. Untuk apa dia dapat perhatian dari orang lain?"

"Kasihan tau!" Alora mengerucutkan bibir kesal.

Alora mengawasi gerak-gerik Arderas. Cowok itu kian lama makin mendekati posisi mereka duduk. Kejadian yang sama seperti tadi terulang lagi. Arderas melewati tempat Zella dan Alora duduk. Cowok itu melambaikan tangan dan tersenyum hingga menampilkan giginya yang terkena darah dari hidung yang tak henti mengalir.

"Gila!! Tetap ganteng, woi!" pekik Alora histeris.

Zella menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. "Gak usah berisik!" balas Zella ketus.

Alora tersenyum malu. Cewek itu mengipas wajah dengan telapak tangan nya lantaran merasa hawa semakin panas. "Gue yakin, dia pasti senyum ke gue. Dia juga melambaikan tangannya ke arah gue!"

ArzellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang