7

289 52 0
                                    

"Penjelasanmu bagus sekali soal kasus tadi, Kak."

Dajin mengerjapkan mata beberapa kali, mendongak melihat Vernon tersenyum kepadanya hingga gusi pria itu tampak dengan jelas. Dajin pun membalas senyuman itu, ia berterima kasih dengan tulus meski ada sesuatu dalam dirinya yang merasa sedih saat mengingat kasus materi diskusi kelas Viktimologi hari ini. Kelas Viktimologi adalah kelas yang Dajin suka meski dosennya super killer. Dosennya suka sekali memberi kasus yang sulit dan suka memberi pertanyaan tiba-tiba ke mahasiswanya.

"Aku suka Viktimologi." Kata Dajin sambil merapikan peralatan tulisnya di atas meja. Ia sudah selesai mencatat dan ingin ke cafetaria kampus untuk makan siang sebelum kelas selanjutnya.

Vernon yang masih berdiri di sisi Dajin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Viktimologi memang menarik, ia menjadi ilmu yang sangat berpengaruh akan hasil penyelidikan dan putusan hakim."

"Ya. Sayangnya, praktiknya banyak yang tidak berjalan lancar jadi... kau tahu sendiri, tidak ada yang adil di dunia ini."

"Tidak juga." Elak Vernon cepat. "Masih ada ilmu lain yang digunakan dalam penyelidikan dan semuanya memengaruhi hasil keputusan sidang. Ku pikir dunia sudah adil."

"Aku tidak bicara soal keputusan sidang, Vernon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku tidak bicara soal keputusan sidang, Vernon. Aku hanya bilang praktik dari ilmu itu." Kata Dajin memaksakan senyum. Ia sudah berdiri dari kursi, berjalan mendahului Vernon menuruni tangga-tangga kecil sekitar bangku auditorium dan melirik pria itu sekilas hanya untuk berkata, "dan... kau naif sekali."

"Naif?" Vernon menunjuk dirinya sendiri. Ia tidak setuju dengan anggapan itu dan berjalan lebih cepat untuk bisa mengejar Dajin yang punya langkah besar di depannya.

"Naif maksudmu apa, Kak?"

Tawa sinis Dajin menguar tiba-tiba, pelan sekali agar Vernon tidak menyadarinya. Gadis itu pun menghentikan langkah agar bisa memandang Vernon tepat di matanya. "Dunia." Kata Dajin sambil menggelengkan kepala. "Dunia hanya adil kepada orang yang punya privilage. Untuk orang tidak ber-privilage, dunia tidak pernah adil."

"Aku tidak setuju."

Dajin ingin melanjutkan langkah ke cafetaria tapi elakan Vernon membuatnya tertahan di tengah lorong gedung kelas itu. Ia memandang Vernon dengan santai, tanpa ekspresi, sedangkan Vernon membulatkan kedua mata tampak tidak senang dengan pendapatnya, pria itu bahkan menggerakkan kedua tangan di udara, kuda-kuda handgesture ingin menjelaskan sesuatu yang kompleks.

"Dunia ini berkembang dan tumbuh. Begitu pula manusia. Semuanya memiliki waktu yang sama, 24 jam dalam sehari, Kak! Dunia terasa tidak adil kalau orang itu tidak berusaha dan menyalahkan takdir."

"Aku bicara soal privilage, Vernon. Semua orang memang memiliki waktu yang sama tapi garis mulai orang beda-beda. Garis keturunan orang juga beda. Takdir memang tidak bisa disalahkan tapi kau pernah lihat, kan? Kasus korban-korban yang berubah menjadi pelaku setelah dilaporkan balik oleh tersangka utama?" Dajin harus menahan diri untuk tidak berseru kepada Vernon karena emosinya naik tiba-tiba. Ia hanya bisa mendesis, menatap Vernon dengan tajam. "Apakah itu gambaran dunia yang adil untukmu? Vernon?"

Cat [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang