38

183 43 1
                                    

Tangan Dajin digenggam Joshua dengan erat sejak ia keluar dari salah satu ruangan rumah sakit Hanyang yang masih berada di dalam kompleks kampusnya. Ruangan yang sempat membuat Dajin gugup, namun setelah berbincang selama 45 menit dengan orang yang ada di sana, ia merasa sedikit lebih baik. Hanya perasaannya saja yang masih gusar, ia sedikit tidak enak pula dengan Joshua yang jauh-jauh datang dari Daegu untuk menemaninya ke Psikiater kampus.

Dajin bisa ke Psikiater sendiri tapi kehadiran Joshua harus diterimanya dengan lapang dada setelah beradu mulut dengan Jeonghan di telepon.

"Untuk beberapa saat kau tidak perlu bekerja dulu, Dajin." Kata Joshua lembut sambil menepuk-nepuk tangannya.

"Kak--"

"Jeonghan akan memaksamu ke Daegu kalau kau tidak mengikuti perintahnya."

"Tapi bagaimana dengan biaya hidupku? Sebentar lagi aku juga akan masuk kuliah. Aku tidak bisa hidup tanpa bekerja."

"Kami akan mengirimkan uang untuk biaya hidupmu untuk sementara waktu."

"Kak!" Dajin meremas tangan Joshua dengan kuat, kedua matanya menatap pria itu garang. Tentu saja ia tidak setuju dengan kata-kata Joshua, bagaiamana bisa ia hidup dengan bantuan orang lain disaat ia masih sanggup untuk bekerja?

Joshua memaksakan senyum--senyum yang membuat Dajin sedikit takut karena itu berarti Joshua sedang tidak ingin mendengar penolakannya sekarang. Karena nyali Dajin sudah ciut, gadis itu pun diam melongos di salah satu bangku rumah sakit. Kepalanya tertunduk karena membayangkan hari-harinya yang makin kelam karena tidak diisi dengan kesibukan. Semakin banyak waktu kosong yang ia punya, semakin banyak pula pikiran-pikiran yang tidak diinginkannya hadir di kepala. Dajin tidak suka itu.

"Sebenarnya aku dan Jeonghan ingin kau tinggal di Daegu selama beberapa saat. Tapi kau pasti tidak setuju."

"Kak, aku akan masuk kuliah sebentar lagi. Aku tidak mau meninggalkan kelasku." Sergah Dajin menahan volume suaranya agar tidak terlalu besar.

"Aku tahu." Kata Joshua. "Makanya kami membiarkanmu di Seoul dengan syarat kau tidak bekerja sampai keadaan aman."

"Tap--"

"Atau kau mau bertemu dengan orang-orang yang membuat traumamu kembali muncul?"

Kedua bahu Dajin menurun. Ia tidak bisa lagi duduk tegap karena pertanyaan retoris Joshua menyerang mentalnya. Pria itu benar tapi Dajin pun akan stress kalau tidak bekerja.

"Kalau kau stress, kau bisa mengunjungi kucingmu di rumah Wonwoo." Kata Joshua tiba-tiba. Sontak Dajin membulatkan mata, ia heran melihat Joshua terkekeh kecil di sampingnya.

"Yaa... k-kenapa jadi menyuruhku mengunjungi Goyangi?"

"Kenapa?" Tanya Joshua balik. "Bukannya kau sering ke rumah Wonwoo akhir-akhir ini, kan?"

"T-tahu dari mana? K-kak!?"

Joshua mengernyitkan hidung, raut wajahnya jelas sekali sedang ingin menggoda Dajin. Ditambah senggolan pada bahu Dajin yang membuat gadis itu kalang-kabut.

"Wonwoo... orangnya kelihatan oke, sih. Tampan. Menarik."

"Kak Shua!"

"Poin dariku, delapan per sepuluh? Sejauh ini, sih aman."

"Kak!"

"Kak!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~~

Dajin dan Minghao bertemu pandang saat gadis itu keluar dari dapur setelah bertemu dengan pemilik Restoran Ayam tempat mereka bekerja. Ada perasaan sedih menelisik hati Dajin, meski tidak dekat dengan Minghao, mereka pernah bertukar pendapat tentang banyak hal selama bekerja di jadwal yang sama. Dajin sedih karena surat pengunduran dirinya sudah diterima sang pemilik restoran dan itu berarti ia tidak akan lagi bekerja di sana. Tidak bisa lagi mengobrol dengan Minghao yang cool, yang pemikirannya sangat dewasa namun lucu itu.

"Kau akan berhenti?" Tanya Minghao membuat Dajin terkesiap. "K-kau tahu?"

"Ya... tujuanmu ke sini tanpa menggunakan seragam selain itu, memangnya apa lagi?"

Pertanyaan retoris Minghao sangat mencelus, seperti biasa, tapi Dajin tidak sakit hati. Ia hanya bisa menggaruk tengkuknya malu lalu memberanikan diri menatap Minghao tepat di matanya. "Aku... terima kasih atas obrolannya selama ini, Minghao. Maaf kalau aku ada salah."

"Em... aku sudah memaafkannya." Kata Minghao tanpa ragu hingga membuat Dajin terkekeh kecil.

"Baguslah."

"Kau tidak akan menikah dengan orang yang mengantarmu ke sini, kan?"

Kedua mata Dajin terbelalak. Ia melirik Joshua yang sedang berdiri di depan gedung restoran ayam, mengikuti arah pandang Minghao yang merujuk pada Joshua atas pertanyaannya.

"Yaa! Tidak akan! Dia kakakku!"

"Kalau begitu... dengan mantan napi itu?"

Suara Minghao mengecil saat menyebut 'mantan napi'. Dajin tersenyum tipis, menyikut Minghao tepat di perutnya. Pria itu ternyata masih menganggap Wonwoo sebagai mantan napi. Padahal jelas-jelas yang mantan napi adalah dirinya.

"Dia bukan mantan napi dan aku belum mau menikah, Minghao!"

"Aku pikir kau resign karena ingin menikah." Ujar Minghao sambil nyengir. Dajin tertawa lagi karenanya.

 Dajin tertawa lagi karenanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terima kasih, Minghao." Kata Dajin berniat untuk berpamitan. Ia tidak ingin membuat Joshua menunggu lama karena pria itu harus kembali ke Daegu sesegera mungkin.

"Eung... sering-sering mampir. Kalau bisa jangan di jadwalku." Canda Minghao membuat perut Dajin tergelitik, kalau saja pria itu sering bercanda di hari-hari sebelumnya, mungkin Dajin akan sering tertawa saat menunggu pesanan di restoran. Sayangnya Minghao bercanda di saat ia harus berhenti bekerja. Waktu yang sangat tidak tepat.

"Aku akan sering mampir di jadwalmu bekerja."

"Yaa!"

"Hahahahaaha terima kasih, Minghao." Kata Dajin sekali lagi dan Minghao pun mendengus dengan senyuman yang lebar.

"Semangat kuliahnya, Dajin."

"Eung... omong-omong soal mantan napi." Dajin menggulum senyum, ia menatap Minghao dengan serius. "Itu aku, Minghao."

Seperti mendapat pengumuman penting, Minghao terkesiap di posisinya. Kedua matanya melebar memandang Dajin yang masih tersenyum di hadapannya, senyum yang sedikit dipaksakan--tapi Dajin tidak memaksa diri saat mengungkapkan informasi itu. Minghao tidak ingin percaya tapi Dajin tampak serius dengan kata-katanya sendiri.

"Cerita waktu itu... memang tentang diriku. Si mantan napi." Kata Dajin lagi menegaskan.

"D-da--"

"Tapi itu masa lalu." Dajin menepuk bahu Minghao pelan. "Terima kasih, Minghao. Sukses, ya!"

Tanpa menunggu respon Minghao yang masih mematung di belakang meja kasir, Dajin sudah melangkah keluar dari restoran itu. Dajin enggan berbalik atau menunggu Minghao berbicara karena takut melihat ekspresi Minghao--takut pria itu akan menghakiminya meski tampaknya tidak akan. Yang jelas ia sudah jujur kepada Minghao dan ia pun tidak akan kembali bekerja di sana.

Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^

Cat [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang