31

174 36 1
                                    

"Wonwoo itu temanmu? Serius?" Jeonghan bersidekap, ia duduk menghadap Dajin yang sedang memeluk lutunya di atas kasur lipat. Sudah seharian ini Jeonghan menyipitkan mata, ia sebenarnya lelah, tapi tidak bisa berhenti melakukannya apalagi kepada Dajin yang daritadi hanya diam di kamarnya tanpa ingin membantunya di Coffee Shop seperti biasa.

Dajin pun mengangguk, napasnya terhela gusar.

"Kalian tidak dekat?"

Lagi, Dajin menganggukkan kepala sampai Jeonghan mendesis. "Yaa, Lee Dajin!"

"Iya, Kak!" Akhirnya Dajin bersuara dengan nada kesal. Gadis itu kembali mendesah lalu membenamkan wajahnya di atas lutut dan berkata. "Kau tidak mau pulang? Ini sudah malam."

"Kau ini bodoh atau apa, sih? Bagaimana bisa aku pulang tanpa menghukum orang yang membuat Coffee Shop kewalahan selama beberapa jam?"

"Kakk..." Dajin merengek, kepalanya sudah terangkat hingga Jeonghan bisa melihat wajah bengkak Dajin dengan jelas dan tertawa mencemoohnya.

"Kak Jeonghan sialan!" Seru Dajin melempar bantal yang langsung ditangkap Jeonghan dengan mudah. Tawa pria itu makin besar dan dada Dajin memanas melihatnya.

"Maaf... maaf..."

"Maaf hue..." Dajin menirukan ekspresi orang muntah. Kedua matanya mendelik pada Jeonghan yang sudah memeluk bantalnya dengan erat. Pria itu tersenyum lebar sekarang, sangat kontradiktif dengan perasaannya yang kesal dan penuh kekhawatiran atas kejadian yang menimpanya hari ini.

Awalnya Dajin tidak tahu mengapa Wonwoo bisa ke Daegu membawa teman-temannya, bahkan salah satu temannya itu menyebutnya sebagai penyintas perundungan--sesuatu yang tidak pernah ia katakan kepada Wonwoo. Tentu saja Dajin jadi bingung, emosinya tidak terkendali, ditambah rasa takut yang mengecamnya. Ia takut dengan masa lalunya yang itu, takut dengan Wonwoo yang bisa saja bersikap seperti Seungkwan saat pertama kali tahu siapa dirinya.

"Terus? Tadi kalian bicara apa?" Tanya Jeonghan lagi yang kelihatan tidak berniat untuk pulang.

"Ya... ada... kenapa kau kepo sekali, sih."

"Yaa! Aku pemilik Coffee Shop dan bangunan ini, kau ingat? Bukan kepo, aku harus tahu fakta yang terjadi agar besok-besok aku bisa menghalau orang yang bisa saja mencarimu lagi." Jelas Jeonghan yang tidak pernah berhenti membuat Dajin jengkel.

"Tidak akan ad--"

"Jawab yang serius."

Air muka Jeonghan berubah lebih serius, sangat mengintimidasi hingga Dajin terkesiap dan tidak mampu berkata-kata selama beberapa saat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air muka Jeonghan berubah lebih serius, sangat mengintimidasi hingga Dajin terkesiap dan tidak mampu berkata-kata selama beberapa saat. Tatapan pria itu menyoroti Dajin tajam, auranya lebih mengerikan daripada aura yang sebelumnya.

"I-itu..."

"Hm?"

Dajin menarik napas dengan cukup panjang untuk mengisi paru-parunya yang akan bekerja dengan keras. Dipeluknya lutut dengan erat, membayangkan obrolan yang ia lakukan dengan Wonwoo siang tadi di kamarnya ini.

"Aku... berkenalan dengan Wonwoo saat bekerja di mini market dekat kampus. Kami memelihara kucing, namanya Goyangi. M-maksudku, dia memelihara kucing liar yang dulu sering ku urus di mini market. Jadi, ya, kami cukup dekat... sebagai perawat Goyangi." Dajin menjelaskan dengan cukup cepat karena gugup, ia menatap lantai kamarnya dengan kosong karena fokusnya hanya pada Wonwoo yang ternyata tahu masa lalunya sejak kejadian Seungkwan di mini market.

"Aku tidak pernah memberitahukan masa laluku kepada orang-orang di Seoul. Tidak ada. Tapi, Wonwoo tahu. Dia tidak bilang padaku karena merasa tidak enak. Dan tadi, dia datang ke sini karena proyeknya..."

"Kalau tidak enak, kenapa datang ke sini bawa pasukan? Dia seperti menodongmu."

"Bukan." Sergah Dajin cepat, ia masih ingin berbicara tapi Jeonghan sudah memotongnya.

"Terus?"

"Dia bilang tidak pernah berniat mengajakku. Tapi temannya..."

"Kau yakin? Dia tidak memakai nama temannya untuk berbohong, kan?"

Dajin mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Tapi setidaknya dia menghormati pilihanku untuk menolak ajakan proyeknya."

Jeonghan pun mengangguk mahfum. Keheningan mengisi kamar itu selama beberapa saat karena Dajin masih menerawang, sedangkan Jeonghan diam sambil memandang lantai di bawahnya. Ada sesuatu yang ingin Jeonghan katakan kepada Dajin, sesuatu yang mengusiknya sejak gadis itu datang ke Daegu dan kinilah saat yang tepat untuk mengungkapkannya pikir Jeonghan.

"Kau belum ke rumah Ibunya?"

Jantung Dajin hampir meledak. Bayangannya buyar, tergantikan wajah Jeonghan yang menatapnya serius.

"Belum, ya?" Tanya Jeonghan retoris dibalas anggukan kepala Dajin yang kikuk.

"Ada kejadian buruk yang menimpamu sebelum kau ke Daegu, kan?"

Pertanyaan itu makin mengencangkan detak jantung Dajin. Ia tidak mengangguk tapi sikapnya membuat Jeonghan paham kalau jawabannya adalah iya. Dajin sendiri tidak pernah bercerita tentang masalahnya kepada Jeonghan, hanya kepada Joshua saja. Pasalnya mereka punya masalah yang tidak bisa dipecahkan sejak Dajin memutuskan untuk ke Seoul.

"Seoul memang bukan tempat yang baik. Aku sudah bilang, kan?"

Jeonghan tiba-tiba berdiri, dilemparnya bantal dengan pelan ke atas kasur hingga Dajin tersentak. Pertanyaan retorisnya itu menjadi ucapan terakhir sebelum Jeonghan pamit pulang meninggalkan Dajin sendirian di kamar dengan perasaan yang ling-lung.

~~~

Wonwoo sampai tengah malam di Seoul. Bukannya tidur, ia malah menghampiri kandang Goyangi dan duduk di depannya dalam diam. Hari ini terlalu runyam sampai energinya terkuras. Bukan hanya soal Dajin yang memintanya untuk tidak menemuinya lagi, tapi juga soal Jiwoo dan Seungcheol yang tidak berhenti mencecarnya selama perjalanan pulang dari Daegu. Wonwoo memang salah tidak memberitahu kedua orang itu kalau ia mengenal Dajin, tapi ia tidak bisa membayangkan kalau Jiwoo terus menuntutnya untuk mengajak Dajin dalam proyek mereka.

 Wonwoo memang salah tidak memberitahu kedua orang itu kalau ia mengenal Dajin, tapi ia tidak bisa membayangkan kalau Jiwoo terus menuntutnya untuk mengajak Dajin dalam proyek mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf, Wonwoo. A-aku harap kau tidak menghubungiku lagi."

Ucapan Dajin terngiang di telinganya terus-menerus sampai Wonwoo bernapas dengan gusar. Ditatapnya Goyangi dengan lirih, kucing abu itu tidur nyaman, tidak senyaman dirinya saat berbincang dengan Dajin di kamar gadis itu.

Dajin terlihat ketakutan saat melihatnya datang. Kedua matanya memerah dan sisa air mata masih ada di wajah. Wonwoo langsung meminta maaf dan menjelaskan kedatangannya kepada gadis itu meski ia tahu, apapun yang ia jelaskan, ia tetap salah.

Dan Wonwoo tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyetujui permintaan Dajin. Yang bisa ia lakukan hanyalah berharap, berharap esok harinya kembali tenang seperti biasa.

Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^

Cat [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang