Dajin menatap pantulan wajahnya di cermin, sedikit lebih baik setelah membasuh wajahnya dengan air. Tapi matanya tetap bengkak dan ia bingung harus melakukan apa kecuali berharap Ayah Wonwoo tidak menyadari kondisinya yang kacau. Ya, Ayah Wonwoo. Dajin tidak tahu mengapa Wonwoo membawanya ke apartemen keluarganya, tapi ia tidak protes ketika pria itu menginginkannya untuk bertemu dengan Goyangi.
Cukup lama Dajin menatap wajahnya di cermin kamar mandi milik keluarga Wonwoo itu. Ia merasa ingin menangis saat membayangkan wajahnya 5 tahun lalu menghiasi sebuah media di internet. Teringat komentar-komentar yang cukup mencelus hati yang 11/12 dengan apa yang diungkapkan Seungkwan hari ini.
Pembunuh
Pembunuh
Pembunuh
Dada Dajin terasa sesak. Ia kembali membasahi wajah dengan air keran, menahan diri untuk tidak menggeram dan memukuli dadanya.
Tok tok tok
"Dajin?"
Suara Wonwoo terdengar dari luar. Dajin buru-buru mengambil tisu toilet, mengeringkan wajah lalu membalas seruan Wonwoo dengan suara yang bindeng. "Ya... sebentar."
"Tidak... maaf, aku hanya mengecek keadaanmu. Take your time." Kata Wonwoo sama sekali tidak membuat Dajin tenang, ia malah melihat pantulan bayangan Wonwoo di bawah pintu kamar mandi yang tidak lama menghilang dari sana.
Selama beberapa saat Dajin mencoba menenangkan diri. Kedua matanya tertutup rapat sedangkan tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya pelan. Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.
Setelah merasa yakin, Dajin pun keluar dari kamar mandi itu dan menghampiri Wonwoo yang tengah duduk di depan kandang Goyangi. Kucing berwarna abu itu masih di sana, meringkuk seperti tidak berdaya di ujung kandang. Sama seperti Dajin yang juga merasa tidak berdaya, bedanya Dajin sedang tidak di kosan--ia harus berpura-pura keadaannya normal.
"Goyangi... meong~~ ckckck... meong~~"
Dajin mengeong, menjulurkan tangan kanannya ke dalam kandang.
Meong~~
Wonwoo terkesiap. Ia hampir melompat dari duduknya saat Dajin menyuruhnya tenang dengan menggerakkan tangan kirinya di sisi tubuh. Lalu dibiarkannya Dajin terus mengeong, membujuk Goyangi keluar untuk bermain.
Meong~~
"Uuu... Goyangi? Gimana kabarmu?" Dajin segera menggendong Goyangi ke dalam pelukannya saat kucing itu menggapai tangannya minta dielus.
Goyangi sempat berontak tapi ketika Dajin mengelus bulunya dengan lembut kucing itu pun diam, mengeong beberapa kali seperti menjawab pertanyaan Dajin. Wonwoo memperhatikan pemandangan itu dengan hati membuncah senang, perlahan tangannya terjulur menggapai Goyangi dalam pelukan Dajin dan ikut mengelusnya.
"Dia sepertinya sudah terbiasa denganmu, Dajin." Ucap Wonwoo dengan senyum yang terkembang sempurna.
Dajin menganggukkan kepala. "Ya. Tapi lama-lama ia juga akan terbiasa denganmu."
"Aku harap begitu."
"Memang akan begitu." Kata Dajin kekeuh kemudian menaruh Goyangi di atas lantai. Kucing abu itu hampir kabur ke dalam kandang tapi Dajin segera menahannya, memberinya elusan yang membuat Goyangi bertahan di sana.
Jawaban Dajin sedikit membuat Wonwoo kaget. Sikap gadis itu tidak seperti biasa, nada bicaranya cukup tajam sampai Wonwoo ragu untuk melanjutkan obrolan.
"Em... maaf kalau ini jadi merepotkanmu."
Mendengar Wonwoo yang tiba-tiba mengucapkan maaf menyadarkan Dajin. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa bersalah telah bersikap dingin kepada Wonwoo--padahal seharusnya ia yang berhutang budi kepada pria yang duduknya makin rapat dengannya agar bisa bermain dengan Goyangi itu.
"Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Wonwoo." Dajin mencoba untuk tersenyum, ia mengatakannya dengan sangat tulus dan Wonwoo pun nyengir saat mendengarnya.
"Eng... aku tidak bisa merawatnya sendirian, aku harap kau tidak menghilang lagi."
"Merawat apanya? Dia terlalu sibuk bekerja sampai Goyangi dirawat oleh Om." Dari pantry dapur, Ayah Wonwoo tiba-tiba berseru. Pria bercelemek itu tersenyum jahil kepada Wonwoo yang melipat bibir sambil memicingkan mata kepadanya.
"Maaf, Om. Pasti sulit merawat Goyangi, ya?" Dajin menyahut, memandang Ayah Wonwoo berjalan ke arah mereka sambil membawa piring berisi potongan buah melon.
Ayah Wonwoo tertawa kecil. "Sulit. Goyangi tidak pernah keluar dari kandang, jadi Om agak khawatir."
Dajin menghela napas pelan, kedua matanya terpaku pada Goyangi yang kini dielus oleh Ayah Wonwoo dengan penuh kasih. Piring berisi melon sudah diletakkan di atas meja belakangnya, yang diam-diam dilirik Dajin lewat ekor matanya--ia baru sadar belum memakan apa-apa seharian dan bau melon membuat produksi air liurnya melimpah.
"Ayah, melonnya buat kita, kan?"
Langsung saja Dajin menatap Wonwoo yang memperhatikan Ayahnya penuh harap. Ia tidak tahu apakah pria itu sama laparnya dengan dirinya atau Wonwoo sadar kalau ia meneguk ludah daritadi sambil melirik melon di atas meja sampai bertanya seperti itu.
"Oh... iya, makanlah. Sisa makan siang juga ada di sana, kalau kalian lapar... hari ini Ayah masak banyak." Kata Ayah Wonwoo dengan sangat santai seakan Dajin bukanlah orang asing di sana.
"Terima kasih, Yah." Ucap Wonwoo dibalas anggukan kepala Ayahnya. Dajin juga ikut berterima kasih dengan suara super kecil sambil menganggukkan kepala kepada Ayah Wonwoo yang perlahan berdiri dari duduknya.
"Ayah tinggal dulu. Terima kasih, ya, Dajin sudah mendatangi Goyangi." Ayah Wonwoo berkata dengan tulus, menepuk-nepuk bahu Dajin dengan pelan.
"T-tidak... saya yang berterima kasih." Elak Dajin cepat.
Ayah Wonwoo hanya tersenyum, ia menepuk bahu Dajin sekali lagi sebelum beranjak dari ruang keluarga itu, meninggalkan Dajin dan Wonwoo yang kembali memperhatikan Goyangi dengan seksama.
"M-maaf sudah merepotkanmu." Ucap Dajin kikuk pada Wonwoo di sisinya setelah beberapa saat. Kepalanya kembali bergerak, mengangguk pada Wonwoo yang sudah menggerakkan kedua tangannya di depan dada.
"Tidak. Tidak. Aku yang harusnya berterima kasih."
~~~
Sudah pukul 12 malam dan Dajin belum bisa tidur. Satu jam yang lalu ia baru sampai di kosan setelah bekerja di Restoran Ayam, tadi siang lepas mendatangi Goyangi, ia diantar oleh Wonwoo ke tempatnya bekerja. Wonwoo memaksa ingin mengantarnya, sekalian ingin tahu dimana Dajin bekerja kalau-kalau ia ingin bertemu dan Dajin susah untuk dihubungi.
Kebaikan Wonwoo cukup membebani Dajin. Setelah masa lalunya kembali menyapa, Dajin jadi takut berkenalan dengan orang baru. Ia takut orang-orang yang dikenalnya akan menjauh setelah tahu siapa dirinya sebenarnya, seperti Seungkwan.
Dan ia tidak ingin itu terjadi pula kepada Wonwoo, makanya Dajin bersusah payah menjaga jarak dan menciptakan dinding yang sebelumnya tidak pernah ada untuk pria itu.
Bayangkan bau kopi yang kau suka. Bau biji kopi yang kau sangrai sebelum kau olah. Hirup napasmu dalam-dalam, keluarkan dengan perlahan lalu ingat anak-anak di sini.
Catatan itu Dajin baca lagi. Tidak pernah dikiranya, catatan itu akan dibacanya lagi setelah beberapa tahun tinggal di Seoul. Dulu Dajin pikir hidupnya yang lalu tidak pernah lagi akan menghampiri, nyatanya tidak. Masa lalu ternyata masih mengejarnya, masih menghantuinya seperti tidak pernah usai.
Perlahan, Dajin menghirup udara dengan pelan sambil menutup kedua matanya. Kepalanya membayangkan bangunan Coffee Shop yang didominasi warna cream dan cokelat di sebuah kota yang jauh dari Seoul, bayangan biji kopi yang ia sangrai, asap tergepul menguarkan bau kopi yang asam dan pahit, tawa...
Dajin membuka mata, bertepatan dengan air mata yang juga jatuh di pipinya. Ia tiba-tiba merasa rindu dengan tempat itu, dengan orang-orang di sana, juga dengan orang yang membuat catatan itu di ponselnya. Mengikuti insting yang bekerja, Dajin langsung mencari kontak nomor seseorang di ponselnya dan menghubunginya tanpa berpikir dua kali.
Don't forget to like and comment yaa kalau suka ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat [Complete]
FanfictionSejak keluarganya memutuskan hubungan dengannya, Lee Dajin mulai hidup sendiri dengan bekerja part time sebagai salah satu penjaga Convenience Store ternama di kawasan Universitas Hanyang, tempatnya berkuliah. Setiap pukul 2 siang ia akan memberi ma...