9. Makan malam

269 36 5
                                    

Matahari sudah berada di tengah-tengah kepala, sangat menyengat. Bagaimana tidak panas, derajatnya sampai mencakup 33°C. Huh, kalau bisa, Safa ingin berdiam diri di dalam kamar dengan pendingin AC yang amat menenangkan. Daripada berada di bangunan yang belum jadi ini, yang tak ayal merupakan proyek yang sedang berjalan.

Dia turun ke tempat kerja bersama Raihan, ingin melihat bagaimana kinerjanya, apakah berjalan baik atau tidak. Safa mengusap pelipisnya yang mengeluarkan sedikit peluh. Di sisinya ada Raihan yang sedang berbincang dengan mandor serta pengawasan lapangan kerja ini.

Untung ada helm keselamatan yang dia kenakan di kepala, sehingga kepalanya tidak benar-benar terkena matahari. Sekali lagi, Safa mengusap bagian wajahnya yang mengeluarkan peluh dengan ujung jilbab yang dia kenakan siang ini, tidak peduli jilbabnya basah akibat keringatnya sendiri.

"Pakai ini."

Safa tersentak kecil, melirik tangan yang terulur ke hadapannya. Ada sapu tangan di tangan itu, Safa tidak mengambilnya sebelum melihat wajah si pemberi itu. Safa mendongak, mulutnya terbuka kecil kala melihat Kenzie di hadapannya. Seketika kejadian kemarin malam kembali teringat, bagaimana dia meninggalkan lelaki ini karena buru-buru. Takut sang ayah lama menunggu wedang jahenya.

"Ambil!" titah Kenzie dengan senyuman lebarnya.

Safa dengan ragu-ragu mengambil benda itu. "Jangan biasa mengilap keringat dengan jilbab kamu, mending pakai sapu tangan atau tisu. Bisa-bisa jilbab kamu kotor nantinya," ujar Kenzie.

"Makasih," gumam Safa pelan. Dia menunduk lalu melirik Kenzie lagi yang kini sudah berdiri di sisi lain Raihan. Mereka berbincang sambil menunjuk bangunan yang ada di hadapan mereka.

Lalu tatapan Safa terfokus ke salah satu perempuan yang mengenakan baju berbahan kurang—menurutnya—berdiri di sisi kanan Kenzie. Safa tahu kalau perempuan itu adalah sekretaris Kenzie.

"Kalian mau langsung balik ke kantor lagi?" tanya Kenzie setelah pemantauan proyek terselesaikan.

"Iya, Pak," balas Safa mewakilkan Raihan.

"Padahal saya berniat mengajak kalian ngopi sebentar kebetulan di seberang jalan sana ada cafe langganan saya," jelas Kenzie.

"Maaf, Pak, tapi kita nggak bisa santai-santai dulu. Masih banyak kerjaan yang menumpuk di kantor," sela Safa cepat, takut kalau Raihan menerima ajakan itu. Tahu betul kalau saat ini Raihan frustrasi dengan berbagai pekerjaan yang sedang menumpuk, tadi pagi saja adik ya itu mengeluh dan malah mau ambil cuti. Kalau tak dia paksa pergi ke kantor, Raihan pasti nekat tidak masuk kerja.

"Sayang sekali." Kenzie menatap Raihan, hanya sebentar setelahnya kembali menatap Safa. "Padahal saya mau menagih janji sama Nona Safa." Dia tertawa pelan.

"Janji?" beo Raihan, menoleh ke arah Safa dengan pandangan tak mengerti.

Safa tertawa hambar. "Hah, itu, cuman janji biasa doang. Kemarin malam kita nggak sengaja ketemu di warung wedang langganan Ayah," jelas Safa, takut Raihan memikirkan hal yang aneh-aneh.

"Bagaimana, Pak Raihan? Kita bisa ngopi dulu sebentar? Saya juga sudah nggak sabar menagih janji Safa kemarin malam." Kenzie seperti membujuk sekarang.

"Bapak Kenzie, kita benar-benar nggak bisa." Safa tersenyum paksa. Kenapa laki-laki di depannya ini sangat bersikeras sekali?

"Baiklah, saya tidak masalah. Tapi saya akan tetap menagih janji kamu itu, ya."

Ilona berdecak pelan. "Jadi, kemarin malam alasan Pak Kenzie menolak aku karena perempuan ini? Sejak kapan mereka dekat, sih?" Gumamnya dalam hati. Menatap Safa dari bawah hingga atas, seperti meneliti penampilan perempuan muslimah itu. "Gayanya alim banget, sih. Nggak usah takut, dia bukan tipe Pak Kenzie. Dari dulu Pak Kenzie suka sama perempuan yang seksi, dia kalah jauh dari aku. Tubuhku elok bak gitar spanyol gini." Ilona masih membatin dengan percaya diri.

Perfect [Malik's Family 2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang