24. Bekal Lagi

153 26 6
                                    

Safa termenung di ruang kerjanya, tidak bisa fokus sekalipun setelah dia mendapat pesan dari Kenzie. Dari mana pria itu tahu kalau dia kemarin malam di lamar oleh Bobby? Apakah ada yang memberitahu lelaki itu? Tapi siapa? Mana mungkin keluarganya, karena Safa tahu kalau mereka tentu saja menyembunyikan lamaran ini sebelum hari pernikahan sudah di tentukan. Itu adalah prinsip dari keluarga mereka.

Pun, tidak baik kalau lamaran di sebar luaskan. Lebih baik keluarga saja yang tahu, sampai hari undangan pernikahan sudah disebarkan barulah orang-orang berhak tahu.

"Kakak!"

Raihan keluar dari ruangannya, mendapati sang kakak duduk termenung. "Kakak!" panggil Raihan lagi seraya mengibaskan satu tangannya ke udara. Berharap kakaknya itu segera sadar dari lamunannya.

"Hey, Kak! Istighfar, jangan ngelamun mulu!" Raihan kembali menegur untuk ketiga kalinya. Barulah Safa tersadar, kedua matanya mengerjap pelan.

"Lho, Han, ada apa?" tanya gadis itu.

"Kakak, tuh, kenapa ngelamun? Padahal tadi malam baru di lamar, lho," ujar Raihan, bersandar ke meja samping kerja khusus Safa. "Kakak kelihatan ada pikiran, coba cerita ke aku."

Buru-buru Safa menggeleng. "Nggak! Kakak cuman nggak sengaja ngelamun aja tadi," elaknya, lagipula Raihan tak tahu menahu kalau Kenzie pernah melamarnya, kecuali Ira yang menemaninya saat itu.

"Masa, sih? Kakak nggak lupa, kan, kalau Kakak itu nggak bisa bohong sama adikmu satu ini," kata Raihan, bibirnya tertarik ke atas.

"Kita ngomongin ini pas makan siang aja," putus Safa. Sudah terlanjur begini, apa yang dikatakan Raihan memang adanya. Sejak dulu Safa tidak pandai berbohong pada siapapun. Termasuk pada Raihan juga.

"Oke." Raihan mengangguk setuju. "Aku mau minta dokumen yang kerja sama kita sama Pak Kenzie, Kak. Mau baca ulang. Kan, bentar lagi proyek kita sama beliau selesai," tuturnya, mengingatkan Safa lagi pada lelaki satu itu.

"Oh, iya, bentar, Kakak cari dulu."

Jam makan siang tiba setelah tiga jam pasca pembicaraan mereka tadi. Keduanya sama-sama berniat makan di kantin. Tidak ada salahnya makan di sana, toh, makanannya tak kalah enak dari makanan restoran di depan sana.

Kakak beradik itu melangkah keluar dari lift, berjalan menuju ke arah kantin. Akan tetapi, baru saja hendak melangkah masuk ke dalam sana. Nama Safa dipanggil, membuat keduanya sama-sama memberhentikan langkahnya.

"Ada yang nyariin Ibu di respsionis," ujar Tiara, perempuan yang kemarin.

Alis Safa mengkerut jadinya. "Siapa yang nyariin saya?" tanyanya bingung.

Tiara menggeleng pelan. "Saya nggak kenal, Bu. Tapi, dia bilang ada keperluan sama Ibu. Kebetulan saya lihat Ibu jalan ke sini tadi, jadi saya kejar langsung," jelasnya.

"Kamu duluan aja, Han. Nanti Kakak susul," suruh Safa pada adiknya itu.

"Nggak mau aku temani aja, kak?"

Safa menggeleng. "Nggak usah, dia ada keperluan sama Kakak. Kamu makan aja dulu, nanti jam makan siangnya kelewat begitu aja." Meski pemilik kantor ini, Safa tidak mau kalau Raihan tidak menaati peraturan yang lelaki itu buat sendiri. Termasuk pada jam makan siang yang harus selesai tepat waktu. Jangan sampai terlambat masuk bekerja lagi, mentang-mentang jabatannya paling tinggi di sini.

"Hm, kalau Kakak bilang begitu. Aku duluan, deh." Raihan melangkah masuk ke dalam kantin terlebih dulu, membawa perasaan penasarannya, siapa yang mau bertemu dengan kakaknya itu. Sesekali membalas sapaan dari karyawannya di dalam kantin sana.

Sementara Safa sudah melangkah menuju resepsionis bersama Tiara di sebelahnya. Dalam hati Safa menerka-nerka, siapa orang itu? Apa Kenzie? Kalau Kenzie, setidaknya Tiara mengenal lelaki itu yang merupakan rekan bisnis dari kantor mereka ini.

"Assalamualaikum, Safa."

"Wa-walaikumsalam, Bo-bobby?" Safa sedikit terkejut melihat kehadiran lelaki itu. Ternyata Bobby sendiri. "Kamu ..., ada keperluannya sama aku?" tanya gadis itu sedikit kikuk.

Bobby mengangguk seraya tersenyum. Tangannya terangkat ke depan, memperlihatkan kotak bekal yang berupa rantang berukuran sedang. "Mama buatin makan siang khusus buat kamu. Dan aku di amanahin buat kasih ini ke kamu," jelasnya.

"O-oh, iya, kah? Duh, aku merasa merepotkan Mama kamu," balas Safa, kemudian meraih rantang itu.

"Mama merasa nggak direpot, kan, kok. Dia malah senang bisa masakin kamu. Semoga kamu suka, ya?"

"Sampai, kan, terima kasih aku ke Tante, ya. Aku pasti suka, kok, sama makanannya." Safa tersenyum begitu tulus. Merasa tersentuh akan kebaikan dari Mama Bobby, padahal dia belum menjawab lamaran anaknya sama sekali.

"Alhamdulillah kalau kamu suka. Pasti aku sampai, kan, ke Mama nanti."

"Oh, iya, kamu udah makan siang?" tanya Safa sedikit ragu.

"Kebetulan belum, sih," sahut Bobby, menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal.

Safa mengangguk pelan. "Kalau gitu ..., kamu mau makan siang bareng?" tawarnya, lalu buru-buru melanjutkan ucapannya. "Bukan berdua aja, kok. Ada Raihan juga." Safa menawarkan hal ini karena merasa sebagai balas budi. Sebab Mama Bobby begitu baik padanya, maka itu dia mau membalas kebaikan wanita itu pada putranya.

"Wah ..., aku merasa senang kamu ajak makan bareng, Fa." Bobby tersenyum malu-malu. "Tapi, aku nggak bisa kalau sekarang. Aku buru-buru balik ngajar lagi," jelasnya kemudian.

Safa baru sadar dengan seragam yang dikenakan Bobby sekarang. Itu seragam khas seorang guru, berwarna cokelat muda.

"Kamu ..., guru?" tebak Safa. Seketika teringat akan percakapannya dengan Bobby di masa sekolah menengah atas dulu. Bobby mempunyai cita-cita yang mulia yaitu mau menjadi seorang guru.

Bobby mengangguk kecil. "Alhamdulillah, Fa. Cita-cita ku ke sampaian juga."

"Selamat kalau gitu, Bob. Aku nggak nyangka kalau kamu sudah sesukses sekarang." Safa menunduk karena merasa sudah terlalu lama menatap Bobby tadi.

Bobby pun berusaha mengalihkan pandangan matanya agar tak tertuju pada Safa saja. "Aku, mah, nggak ada apa-apa. Kamu sekarang yang keren, udah jadi sekretaris dari perusahaan yang besar ini."

Ada tawa singkat Safa keluarkan. "Kamu yang lebih keren. Bisa jadi guru di usia muda begini."

Keduanya lanjut berbincang sebentar. Sebelum akhinya Bobby pamit pulang karena takut jam istirahatnya habis, bisa-bisa dia telat mengajar nantinya. Begitu juga Safa buru-buru melangkah menuju kantin, ada sepuluh menit lagi sisa jam istirahat. Akan dia gunakan untuk menghabiskan makan siangnya ini.

Namun, baru saja Safa berbalik, namanya kembali dipanggil.

"Mbak Safa!"

"Iya, Pak?"

Itu salah satu satpam kantor ini. Berlari tergesa menghampiri Safa. "Ini ada yang nitipin ke saya tadi, Mbak. Saya nggak terlalu kenal orangnya," ujar pria paruh baya itu.

Safa menatap heran paper bag yang sudah ada di tangannya itu. Paper bag yang sama dari kemarin. "Kalau begitu makasihnya, Pak," ujar Safa, tersenyum ramah.

"Sama-sama, Mbak."

Safa berjalan pelan sambil melihat isi paper bag itu. Ternyata isinya adalah makanan dan secarik kertas seperti kemarin dengan inisial huruf yang sama.

Jadi, hari ini dia dapat bekal makan siang dari dua orang yang berbeda?

"Huft ..., apa aku bisa menghabiskan makanan ini seorang diri?" gumamnya.

Safa tiba di dalam kantin dan mendapati Raihan duduk seorang diri di salah satu kursi yang cukup jauh dari karyawan lainnya.

"Wah, apa, tuh, Kak?"

"Bekal makan siang," jawab Safa.

"Dari fans Kakak lagi?" tebak Raihan.

"Ya, bisa dibilang seperti itu." Safa mengembuskan napas pelan. Tidak mau menceritakan pada Raihan kalau Bobby yang datang menemuinya dan memberikan bekal makan siang dari mamanya. Lalu ada bekal makan siang lagi, kemungkinan besar ini dari Kenzie. Safa sudah bisa menebak akan hal itu. 

TBC!

Selamat hari raya idul adha semuanya.

Cieee yang besok makan semur daging, hihi 😁

Perfect [Malik's Family 2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang