30. Orangnya

159 34 10
                                    

Akhirnya setelah seminggu tidak bersua.

***

"Kakak, dipanggil Bang Lai ke luang kelja, ya."

"Iya, kah?"

Safa mengilap kedua tangannya yang basah karena baru saja selesai mencuci piring kotor makan malam mereka. Menatap Imey yang memanggilnya tadi. "Kakak ke tempat Bang Rai dulu, ya. Imey sama Kak Ira aja di ruang tengah, tuh, nonton tv," ujarnya pada sang adik paling bungsu.

"Ih, tapi Imey mau ngeljain tugas sekolah sama Kakak. Kakak tadi juga udah janji, kan?" tanya Imey, menagih janji yang Safa ucapkan sebelum makan malam berlangsung.

"Iya, Kakak nggak lupa, kok. Habis dari tempat Bang Rai, Kakak langsung ke tempat Imey. Janji, ok." Safa tersenyum sembari mengusap puncak kepala adiknya itu.

Imey langsung mengangguk dan berjalan pelan menuju ruang tengah ketika sudah tiba di pintu pembatas ruang makan dan dapur.

"Han, kamu manggil Kakak?" Safa membuka pintu ruang kerja adiknya yang tertutup dan langsung melayangkan pertanyaan itu.

Raihan yang duduk di kursi kerjanya langsung mengangkat kepala dan mengangguk pelan. "Ada yang mau aku tanya ke Kakak tentang dokumen satu ini," jelas lelaki itu. Meletakkan dokumen yang dia maksud ke atas meja setelah Safa duduk di seberang meja kerjanya.

"Kenapa sama dokumennya?" Kening Safa mengernyit, menatap lampiran demi lampiran dokumen di hadapannya.

"Kayaknya salah satu tim kerja di kantor ada salah hitung data, jadi nggak sesuai sama data bulan lalu. Coba Kakak cek sama dokumen yang dibaliknya, aku udah cek dua kali. Dan, emang betul kalau ada yang salah," tutur Raihan.

Raut wajah Safa berubah seketika setelah membaca dokumen tadi. "Duh, berarti Kakak juga kurang teliti baca dokumen ini sebelum ngasih ke kamu. Besok Kakak bakal panggil ketua tim mereka buat berhadapan sama kamu, terus ditegur biar masalah begini nggak terjadi lagi," jelasnya dengan helaan napas pelan. Dalam hati sedikit kecewa dengan keteledorannya kali ini.

"Iya, Kak. Kakak nggak salah juga, tim ini kayaknya terlalu sepele. Seharusnya sebelum kasih ke kakak, mereka harus cek serinci mungkin. Kalau begini, kerjaan ku jadi tertunda-tunda," ucap Raihan, memijat pangkal hidungnya dengan pelan. Sengaja malam ini dia membawa pekerjaannya ke rumah, biar besok tidak terlalu banyak lagi pekerjaan yang menumpuk. Akan tetapi, rasanya sama saja.

"Udah, kamu istirahat dulu. Kakak juga udah bilang jangan biasakan bawa kerjaan ke rumah. Besok, kan, masih bisa dilanjut lagi." Safa ikut prihatin melihat wajah lelah adiknya yang sangat kentara saat ini.

Raihan mengangguk lelah. "Ya, mau gimana, Kak, sudah tugasku ini. Demi perusahaan aku harus rela belajar ilmu perbisnisan sejak SMA."

Safa tertegun jadinya. Dia tahu kalau Raihan sempat menolak posisinya sekarang, karena adiknya ini ingin merasakan kebebasan sama seperti teman seusianya, bukan dituntut untuk belajar dunia bisnis di usianya yang masih muda. Lalu diangkat menjadi pemimpin perusahaan bahkan umurnya belum genap dua puluh tahun.

Karena Raihan satu-satunya yang pantas menjadi penerus perusahaan, meski ada kakak sepupu mereka—yaitu Setya—lelaki itu tidak bersedia karena akan satu hal, yaitu dia bukan anak yang lahir dalam pernikahan sah. Sedangkan Safa, dia perempuan, sejak dulu di dalam keluarga mereka, tidak boleh ada perempuan yang menjadi pemimpin. Itulah yang dia ketahui, sehingga Raihan yang ditunjuk Papa secara langsung.

"Mau Kakak bantu?" tawar safa, berharap dengan begitu pekerjaan adiknya akan sedikit ringan.

"Nggak usah, Kak. Kakak juga ada janji sama Imey, kan? Mau ngajarin dia belajar. Aku bisa ngerjain ini sendiri, kok, kalau butuh Kakak, aku bisa panggil Kakak lagi," jelasnya.

"Bener, nih, nggak apa-apa?" Safa memastikan lagi, sungguh dia berat meninggalkan ruang kerja Raihan ini.

Raihan tertawa pelan. "Nggak apa-apa, Kak. Tapi, aku boleh minta tolong buatkan aku kopi hitam? Biar nggak cepet ngantuknya."

Satu alis Safa terangkat. "Tumben kopi hitam? Biasanya kamu suka minum kopi susu," tanyanya heran.

"Mau coba yang varian lain, Kak. Kopi susu udah biasa itu." Raihan nyengir kecil.

"Ya, udah, kalau gitu Kakak buatkan kopi kamu bentarnya." Safa baru saja hendak melangkah pergi keluar dari ruang kerja snaga dik, tapi pintu itu malah terbuka dari luar.

Ira muncul dengan raut wajah yang sulit ditebak.

"Ra, kok, masuk tiba-tiba gitu?" tanya Safa dengan kening mengernyit—pertanyaan yang mewakilkan Raihan juga.

Sambil menunjuk ke arah luar pintu, Ira pun menjawab dengan cepat. "Itu, Kak, itu ..., Om-om yang kemarin lamar Kakak, datang ke sini bawa keluarganya."

"Maksud kamu Bobby?" tanya Raihan langsung. Dia pastikan akan mengusir keluarga itu kalau betul mereka yang datang lagi. Setelah membuat kakaknya kecewa dengan status Bobby yang ternyata sudah mempunyai seorang anak, Raihan tentu saja membenci lelaki itu.

Sementara Ira menggeleng cepat. "Bukan, Kak!" jawabnya seraya menyilangkan tangannya ke depan. Lalu beralih menatap Safa yang kini terdiam dengan tubuh kaku. "Itu, lho, Kak. Om-om yang waktu lamar Kakak pas di kafe. Masa Kakak lupa, sih?"

Siapa yang lupa, Ra? Batin Safa berbicara. Gadis itu mengembuskan napas pelan, dia pikir catatan kecil di kotak nasi siang tadi tidak ada benarnya. Dan, kini ternyata semuanya terjadi sesuai yang tertulis di dalam sana. Kalau lelaki itu datang ke sini untuk melamarnya. Begitu teguhnya seorang Kenzie untuk mempersuntingnya.

"Kalau bukan Bobby terus siapa, dong?" Raihan kembali bertanya, karena di sini dia seperti orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Bahkan pekerjaannya sudah tidak dia pikirkan, saking penasaran dengan lelaki yang datang ke rumah mereka dan katanya sudah pernah melamar kakaknya juga. Di mana lelaki itu melamar sang kakak? Kenapa dia tidak pernah tahu? Apa ini disembunyikan darinya?

Raihan menatap kakaknya saksama. "Yang Ira maksud itu siapa, sih, Kak?" tanyanya kembali.

Safa memejamkan matanya sesaat. "Kamu kenal, kok, sama orangnya. Kalau penasaran langsung lihat aja keluar, yuk," ajak Safa, gadis itu lebih dulu keluar dari ruang kerja Raihan.

Bertepatan juga Mama datang seperti mencari keberadaanya. "Kak, itu ada tamu. Terus katanya mereka ke sini mau lamar kamu untuk dijadikan menantu dari keluarga mereka," ujar Ulya.

"Iya, Ma." Hanya itu yang Safa jawab, gadis itu langsung melangkah beriringan bersama mama menuju ruang tengah yang kini sudah terlihat ramai dengan tiga tamu. Lalu meja kaca yang terletak di tengah-tengah mereka sudah berisi banyak dengan berbagai macam bingkisan yang berisi seserahan.

Astaga, segitu niatnya, kah, Kenzie melamarnya malam ini?

"Nah, ini putri saya, Pak." Papa menyambut kedatangannya dengan senyum lebar. Meski Safa tahu dibalik senyum itu ada keterkejutan dari papa karena lamaran mendadak malam ini.

Safa duduk di sofa yang tepat berseberangan dengan Kenzie, lelaki itu entak kenapa mala mini terlihat tampan dengan kemeja batik berlengan panjangnya. Saat itu Safa hampir melupakan keberadaan Raihan yang mungkin akan menjadi orang paling terkejut melihat kehadiran rekan kerja mereka.

Perlahan-lahan Safa menoleh mencari keberadaan Raihan, ternyata berdiri tepat di belakang sofanya. Raut wajah Raihan jangan ditanya lagi, adiknya itu sudah tentu sangat amat terkejut.

"Bentar ..., jadi yang mau lamar Kakak itu Pak Kenzie orangnya?"

TBC!

Perfect [Malik's Family 2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang