Chapter 34

386 57 4
                                    

Singto keluar dari mansion ayahnya. Dari belakang Namtan mengejarnya. "Phi kau ingin kemana. Aku ikut" ucapnya sambil memegang tangan Singto.

"Tentu saja aku akan ke kantor. Untuk apa kau ikut. Sudah diam saja di rumah" ucap Singto datar.

"Tapi phi–"

"Kenapa sih kau selalu saja mengganggu aktivitas kakakku. Dia mau bekerja bukan mau berpiknik." Ucap Jane ketus dari arah belakang.

Namtan melirik kedatangan Jane sinis. "Kenapa kau selalu ikut campur urusan kami anak kecil" ucapnya tajam pada Jane. Membuat Jane naik pitam, "Siapa yang kau bilang anak kecil hah?!"

"Sudah sudah. Mau sampai kapan kalian akan bertengkar seperti ini?!" Sentak Singto membuat Jane dan Namtan terdiam.

Singto membuang nafas kasar, "Kau dirumah saja temani Pho. Tak perlu terlalu lelah. Aku harus ke kantor hari ini. Dan kamu Jane, cepat masuk ke mobil atau kau akan terlambat dan Phi tidak mau bertanggungjawab" Jane langsung masuk ke mobil Singto karena Phi-nya ini berjanji akan mengantarkannya ke kampus.

"Kau dirumah saja" ucap Singto datar. Lalu memasuki mobil. Sedangkan Namtan hanya mendengus sebal. Dia tak akan bisa diam terus di rumah. Apalagi hanya dengan Ayah Singto. Akhirnya dia memutuskan kembali masuk ke rumah dengan perasaan dongkol.

.
.
.

Setelah mengantar Jane. Singto bergegas pergi ke kampus Krist. Dia berharap menemukan Krist atau siapapun disana yang bisa ia mintai tolong. Dia memarkirkan mobil di area parkir universitas Rangsit. Setelah keluar dari mobil dia celingukan mencari seseorang yang ia cari.

Singto melihat jam di pergelangan tangannya. Seharusnya dia belum terlambat. Netranya menangkap mobil yang dia kenal. Dia segera berlari menghampirinya.

First turun dari mobil itu dan terkejut melihat kedatangan Singto. "Untuk apa Paman kemari. Kan aku sudah bilang tidak perlu mencari Krist", ucap First ketus.

"First, yang sopan" tegur Ja pelan. First hanya melirik ke arah lain, terlalu malas memandang Singto. Dia masih marah. Karena Singto sahabatnya jadi patah hati hingga sehancur itu.

"Ada yang bisa kubantu Phi?" Tanya Ja pelan. Singto menghela nafasnya kasar. "Aku hanya ingin menanyakan pada First tentang keberadaan Krist, Ja" ucap Singto sambil menoleh kearah First. "First, aku sungguh tidak berbohong. Aku tidak pernah melakukannya dengan Namtan. Aku memang ingin mengatakannya pada Krist. Tapi aku menunggu waktu yang tepat. Aku juga sedang menyelidiki ini. Kumohon katakan padaku, dimana Krist. Paman harus menjelaskan semuanya" mohon Singto pada First. 

First menatap Singto kasihan. Dia juga ingin sahabatnya menyelesaikan masalah ini. Tapi dia terlanjur janji. Bagaimana ini?

Dia menoleh kearah Ja. Dan melihat Ja mengangguk padanya. "Heuh"

'Maaf Krist. Ini demi kebaikanmu'

"Dia...

.
.
.

"Kau tidak kuliah,nak?" Tanya Ibu Krist pada anaknya yang sedang tiduran di sofa. Sejak sarapan tadi dia langsung menuju kemari.

Krist melihat kearah ibunya. Dia sebenarnya ingin menanyakan sesuatu daritadi. "Mae, apa Pho sudah tidak marah jika Krist melanjutkan kuliah Krist" tanyanya ragu. Pasalnya sang ayah tidak menyingung hal ini sama sekali.

Ibu Krist tersenyum. Lalu menggenggam tangan Krist pelan. "Pho memang ingin masa depan yang baik untukmu. Tapi sekarang Pho hanya ingin kebahagiaanmu saja sayang" . Krist menatap ibunya dengan berbinar. "Jadi Krist boleh tetap kuliah di jurusan ini Mae !". Ibu Krist tersenyum,"dan kau tak perlu bekerja lagi. Biar Pho yang membiayai kuliahmu"

"Nah sekarang kau harus bersiap untuk berangkat kuliah" ucap sang Ibu sambil menarik tangan Krist agar segera bangkit.

Krist hanya meringis, "hehe, tapi hari ini Krist libur dulu Mae. Krist sudah titip absen pada First", sang Ibu hanya meletakkan tangannya di pinggang dan menggeleng. "Dasar anak nakal. Yasudah kalau begitu Mae ke dapur dulu. Akan Mae buatkan kau Moo Ping"

"Mae terbaik !!" Teriak Krist sambil memeluk ibunya.

Akhirnya Krist bisa berduaan dengan sang Ibu tanpa gangguan Kakak dan ayahnya.

.
.
.

Singto segera berlari kearah mobilnya. First sudah mengatakan keberadaan Krist. Karena terlalu semangat dia sampai tak melihat jalan, seorang mahasiswa menabraknya. Minuman yang dibawa mahasiswa itu tumpah mengenai baju yang dikenakan Singto.

"Astaga, maafkan saya Khun." Ucap mahasiswa itu sambil beberapa kali membungkukkan badan.

Singto mengibaskan tangannya pada bajunya yang basah. "Sudah tidak apa-apa" ucapnya sambil meninggalkan mahasiswa itu.

"Aku harus ganti baju. Tidak mungkin aku menemui Krist dengan keadaan basah kuyup begini". Mau tidak mau Singto harus pergi kerumahnya untuk berganti baju. Singto mengendarai mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Dia sudah tidak sabar untuk menemui Krist.

Dia langsung berlari memasuki rumah setelah sampai. Setelah selesai berganti baju dia lekas ingin pergi namun ia tak sengaja melihat kamar Namtan terbuka lebar. Entah keinginan darimana dia masuk kedalam. Dan mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruangan itu.

Matanya menangkap satu kotak yang tergeletak di kabinet sudut ruangan. Dia melangkahkan kaki menuju kotak itu dan membukanya. Alisnya bertaut.

"Ini bukannya ponsel Namtan. Bukankah dia bilang ponselnya rusak", ucapnya sambil menekan tombol power. Alisnya semakin bertaut saat melihat ponsel itu menyala seperti tak rusak. "Ini bahkan masih bisa digunakan"

Jarinya bergulir dan tiba-tiba banyak pesan masuk dan panggilan yang tak terjawab. Dia mencoba membuka semuanya. Matanya melebar, tangannya meremat ponsel itu kencang. Wajahnya memerah menahan amarah.

.
.
.

Suara bel rumah berbunyi nyaring. "Siapa datang siang-siang begini Mae?" Tanya Krist heran. Dia sedang menikmati Moo Ping buatan sang Ibu. Bahkan ibunya membuat dalam jumlah banyak. Ibunya benar-benar ingin membuat badannya membengkak.

"Mae juga tidak tau. Biar Mae lihat dulu" ucap sang Ibu lalu beranjak melihat dari jendela. Keningnya mengernyit. Dia tak pernah melihat orang itu. Akhirnya dia berjalan kembali kearah Krist.

"Kit, didepan ada seorang Pria. Ehm, tampan. Kulitnya Tan. Pakaiannya rapih. Apa kau mengenalnya?"

Krist melebarkan matanya. Itu pasti Singto. Darimana dia tau kalau Krist pulang ke rumah.

"Krist kenapa wajahmu begitu?" Tanya ibunya heran.

"Mae, Krist boleh minta tolong kan?" Tanya Krist sambil memegang tangan sang Ibu.

.
.
.

"Cari siapa?". Singto yang mendengar suara seseorang pun menoleh.

"Ah bibi. Aku Singto. Aku mencari Krist. Apa Krist didalam?"

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum. "Kau siapanya Krist. Aku tidak pernah melihatmu". Singto menghembuskan nafasnya pelan. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Aku– aku kekasih Krist bibi"

Wanita itu mengernyitkan keningnya. "Kekasih? Tapi Krist tidak pernah memiliki kekasih om-om sepertimu"

Singto sungguh tertohok dengan ucapan wanita yang ia yakini Ibu Krist. "ah dan Krist sedang tidak ada dirumah. Lebih baik kau datang lain kali" ucap wanita itu sambil tersenyum.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan kembali lain waktu. Terimakasih bibi. Tolong salamkan salamku kepada Krist" ucap Singto sambil memberikan salam pada sang Ibu.

Singto meninggalkan rumah itu dengan lesu. Ibu Krist melihat kepergian Singto dengan senyum merasa bersalah.

"Kau sudah besar, Sing" gumamnya.

TBC,

maaf ya baru bisa up. Ada kesibukan di real life ❤️❤️

See ya, ❤️

(Singto-Krist) - PILIHAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang