"Are you okay?" tanya Zulaikha, kepada Andreas yang masih terdiam. Lelaki itu melamun, mungkin lebih dari lima menit setelah masuk mobil.
Zulaikha masih sabar menunggu jawaban. Namun, nyatanya Andreas tidak menyahut. Masih bertahan dengan lamunannya.
"Sayang." Suara Zulaikha memelan. Ia menggenggam tangan Andreas, meremasnya. Lalu, bernapas lega saat melihat lelaki itu mengerjab dan menoleh menatap dirinya sambil mengembangkan senyum simpul.
"Masih kepikiran Papa kamu?" tanya Zulaikha lagi, mendapat gelengan dari Andreas.
"Dari tadi kamu melamun." Perempuan itu menatap lekat-lekat mata Andreas. Ia bisa merasakan ada kesedihan yang tersimpan di sana. Lantas, ia memajukan tubuhnya untuk merengkuh sang suami.
"Jangan sedih lagi. Aku tahu, kamu sebenarnya tidak ingin membenci pria itu, 'kan? Tapi, keadaan yang membuatmu sampai membencinya," ucap Zulaikha sambil mengusap-usap punggung Andreas.
"Melihat wajah pria tua itu, aku jadi teringat kesedihan Mama dulu. Wajah rapuh Mama yang berusaha untuk tetap tegar, dan berusaha untuk tetap tersenyum di depanku. Padahal, hatinya sangat hancur gara-gara pria itu. Aku sangat membencinya, Zul. Aku benci dia. Sangat. Ingin sekali aku membalaskan dendamku untuknya, tapi Mama selalu melarang."
Zulaikha mendengarkan secara saksama. Ia masih merengkuh dan mengusap-usap punggung lelaki itu, matanya berkaca-kaca. Tidak tega jika mendengar masa lalu Andreas yang menyedihkan. "Aku paham apa yang kamu rasakan." Ia menyembunyikan kepala di ceruk lelaki itu sambil memejamkan mata.
"Kamu menangis?" Merasakan lehernya basah, Andreas mengurai pelukan. "Kenapa jadi kamu yang menangis?" Ia menghapus air mata Zulaikha penuh perhatian.
"Sedih saja kalau ingat kisahmu dan Mama."
"Maaf." Andreas mengecup bibir perempuan itu.
Zulaikha mengangguk. "Sekarang kamu tidak sendiri. Aku dan baby yang akan menemanimu."
"Iya." Andreas manggut-manggut. Kemudian, ia mengusap perut Zulaikha. "Sudah ada kehidupan anak kita di sini. Aku janji, gak akan bikin kamu sedih lagi."
"Iya, Papa." Zulaikha menirukan suara anak kecil. Sambil mengembangkan senyum, ia ikut menatap perutnya lalu beralih menatap Andreas yang menatapnya juga. Pandangan keduanya saling beradu.
"Sebelum ke makam Mama, kita beli bunga dulu, ya."
Zulaikha mengangguk. "Iya," balasnya singkat.
Andreas pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah sakit. Meskipun hati masih diselimuti rasa gundah, ia berusaha terlihat biasa saja. Demi menjaga perasaan sang istri agar tidak bersedih.
***
Satu jam setelah melakukan perjalanan dari rumah sakit menuju makam, kini mereka berdua telah sampai di pusara sang Mama. Zulaikha meletakkan sebuket bunga di depan batu nisan, lalu mengusap-usap batu nisan tersebut sambil mengulas senyum.
"Ikha sama Andreas datang ke sini, Ma. Jenguk Mama," ucap perempuan itu lirih. Senyumnya masih mengembang. "Ada kabar baik yang ingin kami sampaikan ke, Mama." Ia menoleh menatap Andreas yang berjongkok di sebelahnya.
"Mama, mau dengar kabar baik itu?" Kini Andreas yang bertanya. Pandangannya tertuju ke batu nisan, sedangkan satu tangannya merengkuh Zulaikha dari samping. "Mama, sebentar lagi akan punya cucu. Zul sedang mengandung anak Andreas sekarang. Mama, pasti bahagia, 'kan, mendengarnya?" Senyumnya mengembang lebar, tetapi suaranya terdengar tertahan.
"Sebentar lagi kami akan menjadi orang tua, Ma. Doakan kami agar bisa menjadi orang tua yang baik, ya, Ma. Bisa mendidik anak-anak kami penuh kasih sayang dan penuh cinta. Ma, pasti, Mama, berharap seperti itu, bukan? Ikha akan berusaha, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORCED BRIDE [ENDING]
Romance"Menikah denganku," ucap Andreas, penuh penekanan. Lalu, melepaskan cengkeramannya. Zulaikha menggeleng. Bagaimana bisa ia menikah dengan orang yang baru dikenalnya? Ditambah lagi, lelaki itu sangat membencinya sekarang. "Aku tidak menerima penolaka...