Part 24

1.1K 175 11
                                    

Di pemakaman, Andreas dan Zulaikha berjongkok di samping pusara Sarah. Mereka baru selesai mendoakan dan menaburkan kelopak mawar di atas gundukan tanah yang kini telah ditumbuhi rumput jepang--terawat dan tertata rapi.

Dalam kesunyian, di bawah senja yang akan tergantikan oleh malam, Andreas mengusap batu nisan mamanya penuh kasih sayang. Lelaki itu menatapnya sendu ketika teringat masa-masa bersama mamanya dulu. Semua kenangan di memorinya, bagai kaset yang terus berputar indah di otaknya.

Lelaki itu mengukir senyum tulus, lalu berucap lirih, "Ma, aku datang ke sini lagi." Andreas menjeda ucapannya. Ia menoleh menatap Zulaikha. "Sekarang aku membawa perempuan yang Mama tolong. Perempuan yang pernah aku siksa karena belum bisa menerima kematian Mama waktu itu."

Keduanya saling pandang sembari melempar senyum hangat.

Menatap batu nisan lagi, Andreas melanjutkan ucapannya, "Dan aku sangat menyesal, Ma. Ternyata aku sangat mencintai dia. Aku tidak bisa terlalu lama menyakitinya. Maafkan aku, kalau sebelumnya aku salah, Ma, karena lebih mementingkan egois dan dendamku."

Mendengar ucapan Andreas, hati Zulaikha terenyuh. Ia langsung menggenggam salah satu tangan lelaki itu yang menumpu di lutut, meremasnya pelan.

"Maa, maafin Ikha, sebelumnya, ya. Andai Mama tidak menolong Ikha waktu itu, pasti Mama masih bisa menikmati hidup di dunia ini bersama Andreas. Sekali lagi maafin Ikha, Ma." Zulaikha menunduk, matanya berkaca-kaca. Dalam benaknya ia mengingat semua cerita Andreas malam itu, yang membuatnya begitu terpukul dan masih dipenuhi rasa bersalah sampai sekarang.

"Zul." Andreas menoleh, menatap Zulaikha. Ia tahu jika istrinya sedang menahan tangis--terlihat dari bibirnya yang mengatup rapat dan berkedut.  Andreas tidak tega membiarkan. Ia pun merengkuh Zulaikha dari samping lalu mengusap bahunya penuh perhatian. "Jangan berkata seperti itu lagi. Aku sudah mengikhlaskan kepergian Mama sekarang."

Zulaikha mengangkat kepala, menatap wajah suaminya dengan perasaan bersalah. "Andreas, maafin aku." Akhirnya, bulir bening yang berusaha ia tahan luruh sudah.

"Hei, jangan menangis." Dengan segera tangan kokoh lelaki itu menghapus air mata di wajah istrinya. "Aku membawamu ke makam Mama bukan maksud membuatmu sedih, Sayang. Aku hanya ingin mengenalkanmu kepada Mama dan memberitahu dia kalau aku sangat mencintaimu. Tidak lagi membencimu. Mama pasti bahagia mendengar pengakuanku sekarang."

"Aku janji akan selalu ada untukmu, Andreas. Seperti Mama yang selalu ada untukmu. Aku akan berusaha menjadi istri terbaik untukmu, agar bisa menjagamu seperti Mama menjagamu. Dan aku akan berusaha menjadi istri yang sempurna untukmu, Andreas."

Andreas menggeleng. "Aku ingin kamu jadi diri sendiri. Tidak perlu mengubah diri seperti orang lain yang menurutmu sempurna, Sayang. Bahkan, aku sendiri tidak tahu definisi sempurna yang sesungguhnya itu seperti apa. Kata Mama, tidak ada orang sempurna di dunia ini. Yang ada, bagaimana cara kita harus menerima dan melihat orang itu agar bisa terlihat sempurna di mata kita."

Andreas menuntun tangan Zulaikha ke dadanya, menempelkan di sana. "Di sini, tempat untuk menerima kekurangan pasangan kita." Lalu, salah satu tangannya mengusap sebelah mata Zulaikha. "Dan ini, untuk melihat bahagianya dia saat bersama kita."

Zulaikha hanya diam, larut dalam ucapan Andreas yang terdengar menghangatkan hati.

"Ketika hati sudah menerima kekurangan dari pasangan kita. Mata ini tidak berani mencelanya, justru akan bersyukur ketika melihat dia bahagia hidup dengan kita. Mungkin, itu yang disebut kata sempurna." Andreas mengembangkan senyum.

Sementara Zulaikha mengangguk. "Terima kasih, Andreas."

"Jadi, jangan berubah menjadi orang lain. Tetaplah jadi versi Zulaikha yang aku kenal. Apa adanya dan bertingkah bar-bar, karena itu yang membuatku tertarik kepada dirimu."

FORCED BRIDE [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang