Andreas menggulung kemeja putihnya sampai sesiku, kemudian mengambil baskom di korner dapur yang sudah diambilkan Bi Maryam. Ia belum sempat ganti pakaian, karena sang istri terus berisik ingin meminta rujak belimbing wuluh segera mungkin.
"Pohon yang di pojok taman itu buahnya sudah besar-besar, Tuan."
"Ambil yang banyak ya, Andreas."
Mendengar dua perempuan berucap hampir bersamaan, Andreas mengangguk saja. Lantas, ia berlalu dari dapur menuju taman belakang rumah. Ada dua pohon belimbing wuluh di sana, berbuah cukup lebat.
"Masih mending ngidamnya yang mudah dicari, Ndre. Coba kalau mintanya yang aneh-aneh, makin pusing dirimu," gumam Andreas, sembari melangkah.
Sementara Zulaikha menemani Bi Maryam yang sedang memasak untuk makan malam. Perempuan itu tidak bisa berhenti mengunyah mulutnya. Sedari tadi mencicipi masakan Bi Maryam yang sudah matang. Dari cumi goreng cincin, tempe mendoan, tumis kangkung, dan telur balado.
"Bibi, sepertinya aku tidak bisa makan malam lagi. Sudah kenyang duluan," ucap Zulaikha sambil menyengir, di tangannya masih ada tempe mendoan hangat.
"Sudah waktunya makan, paling lapar lagi, Non."
"Sepertinya, Bi. Enggak tahu kenapa aku jadi doyan makan banget. Lihat ... tubuhku mulai berisi. Lebih gemukan sekarang."
Bi Maryam memerhatikan tubuh Zulaikha, mengangguk membenarkan. "Bagus kalau seperti itu, Non. Kalau di desa namanya ngebo. Makan makanan apa saja masuk, tidak ada yang ditolak sama dedek bayi. Coba kalau, Non Zul, makannya susah dan pemilih, justru akan menyusahkan diri sendiri, to. Setiap makanan masuk, akan terasa mual dan bikin muntah."
"Iya, ya, Bi." Zulaikha manggut-manggut. "Berarti si dedek pengertian sama Mamanya, mau makan makanan apa pun."
"Hehem." Bi Maryam mengangguk sambil mengaduk sup cream jamur kesukaan Andreas.
Tidak berselang lama, Andreas datang kembali membawa hasil petikan belimbing wuluhnya. Sesuai permintaan sang istri, lelaki itu memetik cukup banyak.
"Segini cukup, 'kan, Zul?" tanya lelaki itu, sambil memperlihatkan belimbing wuluhnya kepada Zulaikha.
Perempuan itu mengangguk semangat. Wajah tampak berseri-seri, mata pun bersinar terang melihat isi dalam baskom warna silver tersebut. Tanpa disengaja ia menelan ludahnya sendiri.
"Bibi, bisa bantu aku nyuciin belimbing wuluhnya? Biar aku yang ngulek sambelnya. Zul maunya aku langsung yang buat." Andreas menghampiri Bi Maryam. Ia meletakkan baskom berisi belimbing wuluh itu ke konter.
"Bisa, Tuan." Bi Maryam mengangguk, lalu mematikan kompor.
"Kamu bisa bikin sambelnya?" tanya Zulaikha. Membuat Andreas menoleh menatap dirinya sambil mengulas senyum.
"Kalau aku tidak bisa, aku tidak akan memiliki usaha restoran, Sayang."
"Berarti kamu bisa masak juga?" Zulaikha memerhatikan Andreas yang mengambil cobek batu, meletakkan di konter. Kemudian, lelaki itu mengambil toples berisi gula merah batangan.
Andreas mengangguk. "Bisa."
"Kenapa tidak ngasih tahu aku kalau bisa masak juga, Andreas?"
Firasat Andreas sudah tidak enak. Ia menghitung mundur untuk memastikan jawaban.
"Aku pingin dimasakin kamu juga."
'Nah, 'kan, benar tebakanku,' batin Andreas, sambil mengambil sejumput garam dan tujuh buah cabai.
"Cabainya boleh ditambahin gak? Jadi sepuluh?" pinta Zulaikha, berucap hati-hati sekali. Saat Andreas melototinya, ia hanya menyengir.
"Mau meracuni Baby, hm? Tidak boleh terlalu pedas. Apalagi belimbing itu sudah sangat asam, nanti lambungmu akan bermasalah. Babynya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORCED BRIDE [ENDING]
Romance"Menikah denganku," ucap Andreas, penuh penekanan. Lalu, melepaskan cengkeramannya. Zulaikha menggeleng. Bagaimana bisa ia menikah dengan orang yang baru dikenalnya? Ditambah lagi, lelaki itu sangat membencinya sekarang. "Aku tidak menerima penolaka...