"Bunda Haechan capek.... "
"Kenapa hidup harus semenyakitkan ini? Kenapa harus Haechan? Kenapa Haechan yang harus menanggung derita ini? Apa salah Haechan? Haechan cuma mau hidup seperti layaknya anak kandung."
Tenny yang baru saja tiba di sekolah tempat Haechan menempuh ilmu, kini sedang berjalan menuju ruang guru disana, dan ketika ia menemukan ruangan itu ia pun melangkah masuk.
Langkahnya terhenti kala seorang laki-laki berkacamata, yang usianya tak jauh darinya sedang menatapnya kala ia masuk ke ruangan itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tenny membungkuk memberi salam sebelum Taeil membalasnya.
"Silakan duduk!" Pinta Taeil.
Tenny pun mengangguk dan segera duduk di bangku kosong depan Taeil, Taeil melepaskan kacamata nya dan segera membereskan dokumen-dokumen di mejanya.
"Dengan nyonya siapa? Ada yang bisa saya bantu?" Ucapnya.
"Apa anda wali kelas Lee Haechan?" Tanya Tenny.
Taeil tersenyum ramah kemudian mengangguk pelan.
"Iya saya wali kelas Lee Haechan"
"Begini saya ingin memasukkan putra saya ke sekolah ini, dan saya ingin minta tolong ke bapak untuk memasukkan nya ke kelas Haechan"
Taeil mengerutkan keningnya.
"Kenapa harus di kelas Lee Haechan?" Tanya Taeil.
"Putra saya tunarungu dan lebih tua satu tahun dari Haechan"
"Apa?!" Tenny dapat melihat Taeil yang kaget mendengarnya.
Tentang kebenaran kedua orang bersaudara yang selama ini tak ada yang mengetahui nya, Tenny berniat memberitahukan nya kepada Taeil.
"Tapi kenapa?"
"Karena mereka ... Bersaudara"
Seketika suasana itu benar-benar menghening tak bersuara, suasana ruang guru yang memang sudah tak terlalu ramai, makin mendukung suasana ruangan itu.
••
Haechan saat ini sedang belajar sendiri di perpustakaan kota, malam sudah semakin larut itulah kenapa suasana perpustakaan hari ini sepi, hanya Haechan sendiri entahlah ada orang lain atau tidak Haechan tak tahu.
Memilih cuek dengan sekitarnya ia memilih fokus dengan buku-buku nya, matanya begitu fokus memandang rumus-rumus matematika yang ada di buku itu, dan pandangannya menoleh bolak-balik dari menulis sampai membaca.
Hingga matanya sudah mulai sayu karena terlalu kelelahan belajar, nampak begitu jelas berulang kali ia menguap karena mengantuk, terkadang ia menggigit-gigit penanya saat berpikir lalu menulis kembali setelah mendapatkan jawaban.