17 : Pasar malam

125 14 2
                                    

Mentari mulai bersiap tidur. Gemerlap malam menyelimuti planet bertuan ini. Tak terasa puncak acara pasar malam ini dimulai. Semua wahana telah beroperasi sepenuhnya. Kebisingan pun kian terasa setiap langkahnya. Warna-warni cahaya lampu cantik dari masing-masing wahana menyinari kami tanpa celah. Menyilap mata kami guna menarik perhatian.

Kami melihat bianglala, karena hanya itu yang paling mencolok dimata kami. Besar, cerah, dan bulat, serta berputar seperti roda yang melaju perlahan. Terlebih lagi teriakan girang anak-anak didalamnya mengundang kami untuk segera mencobanya.

Memang bagi orang biasa bianglala bukan hal yang menakutkan. Bahkan menaikinya adalah hal yang sebagian orang nantikan.

Tapi itu tidak berlaku dengan 6 pria di sampingku ini.

Mereka dangak menatap ujung bianglala bersamaan. Mulut mereka pun membeo. Bukan tatapan menyenangkan, melainkan ketakutan yang teramat sangat hingga pupil mata mereka mengecil bak baru melihat hal menyeramkan.

Aku mencoba melambaikan tangan kedepan mereka berulang, namun tak ada respon, bahkan sepertinya mereka tak melihat tanganku. Mereka benar-benar mematung.

Astaga.. Apalagi yang akan terjadi sekarang..

Sesaat sebelum aku menghela napas, bibir mereka bersamaan menyeringai tanpa mengubah ukuran pupil mereka.

Oke, aku benar-benar merinding sekarang. Terlebih mereka mulai terkekeh.

"Zi--"

"Kakak cantik." Panggil Xinlong tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku ingin menyusul kak Junlin." Lanjutnya dengan gestur menoleh perlahan kearahku.

"Aku juga." sahut Zihao. "Ada mamaku di sana. Mamaaa!! Aku disini!!" Teriaknya dan melambaikan tangan.

Satu persatu dari mereka bersamaan mulai menunjukkan reaksi-reaksi tak wajar. Seperti HanYu yang mulai gelisah, sembari menggaruk seluruh tangan hingga lehernya hingga nampak lecet. Zeyu yang mulai menghitung sembari tersenyum, bahkan samar-samar aku mendengar dia berkata "mama, aku sudah pintar, mama, aku sudah pintar" tanpa berpaling dari pandangannya. Xinlong dan Zihao yang meronta-ronta menyusul kakak dan mama nya yang tak kasat mata itu.

Aku tersenyum suram. Ingin menangis. Menangisi diriku yang membawa mereka kemari sendirian dengan penuh percaya diri.

"Mamaaa!! Ma!! Hao disini mama!! Mamaaaa!!" Teriak Zihao dengan suara beratnya. Meraung-raung memanggil mama nya yang ia lihat.

Semua mata tertuju ke kami, mereka berbisik dengan kekehan yang tajam. Senyum mereka disertai seringaian bak telah melihat tontonan bagus.

Aku mengulum bibirku, badanku bergetar, telapak tanganku spontan mengepal erat. Rasanya air mata ini sudah tak sanggup ku bendung lagi. Rasa malu ku sudah sampai di puncaknya.

Kerumunan semakin banyak, bahkan suara tertawaan mereka kian kencang hingga terasa seperti lebah-lebah yang berhamburan. Sedangkan enam orang anak lelaki yang telah mengundang kerumunan ini, semakin menjadi-jadi.

Aku ingin pulang. Aku tidak sanggup lagi. Mama.. aku ingin pul--

Deg!

Tunggu sebentar. Aku tersentak, menyadari bahwa aku nyaris seperti mereka.

"Nona." panggil seorang pria bertubuh besar. "Bisakah kau mengatakan pada mereka untuk pergi?" lanjutnya dengan gestur mengusir.

"Benar, nona." sahut pria besar lainnya. "Tempat ini bukan untuk orang gila." tegasnya tanpa basa-basi.

Aku membelalakan mataku. Kuping ku terasa panas mendengarnya. Terlebih pandangan mata kerumunan itu kini mengarah kepada ku.

"Bisa kau katakan sekali lagi,pak?" Ucapku dengan nada mendorong. "Bapak berdua ini siapa berani ngusir kami?! Kalian ini ga mau saya bayar ha?!" Ucapku semakin meninggikan intonasi.

Sky - zofrenia  || Boy StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang