D.2 : Throwback

198 29 0
                                    

Seorang gadis cantik menatapku sendu, seolah ingin mengatakan sesuatu tentang pria yang tengah terbaring di ranjang king size pinky miliknya. Ya, dari seluruh kamar, hanya ranjangnya yang terbilang cukup bagus untuk seorang pasien kelainan.

Aku mengajaknya masuk, meskipun tanpa izin pemilik kamar, tapi aku yakin gadis ini tidak akan berbuat lebih jika ada seorang perawat di sana. Ku giring dia ke sudut kamar tepat disamping meja bundar dan rak buku berwarna merah muda beserta buku-buku dongeng dan fiksi ilmiah.

Dia duduk dan menaruh tasnya dibawah kursi, matanya tak lepas dari pria yang masih menenggelamkan wajahnya dibalik selimut tebalnya.

"Xue, kau boleh bercerita padaku apa masalahmu dengannya. Aku juga sedang mencari asal-usul dia lebih lengkap. Ini kali pertama aku turun langsung menangani orang-orang dengan masalah mental. Aku bersyukur masih ada seseorang yang mau menjenguknya. Jadi, tolong bekerjasama lah." Pintaku padanya.

Dia menatapku ragu, mengulum bibir dan kemudian menarik nafasnya sangat dalam, seolah pembicaraan kali ini terasa berat untuknya dan untukku.

"Baiklah. Tapi tolong jangan katakan ini pada dia." Pintanya yang segera ku angguki guna meyakinkannya.

"Dia adalah anak tunggal dari pasangan suami-istri yang dulu tinggal didekat rumah keluargaku. Kami tidak bisa berteman baik karena ayahku menganggap dia dan kedua orangtuanya adalah pengaruh buruk untuk ku dan keluarga kami, dan aku tidak berani melawannya." Jelas Xue mulai membuka celah informasi tentang Zihao.

"Apa ada itikad baik darimu?" Tanyaku tetap fokus pada matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Tentu, sejak dulu aku menyukainya, aku ingin berteman dengannya. Aku sering melihatnya bermain dengan anak jalanan. Dia selalu memandangku dan mencoba menyapa, tapi ayah tidak pernah memberi izin untuk membalasnya, bahkan ketika ia menolongku sekalipun. Ia rela masuk bui karena ku. Itupun masih tak cukup untuk dianggap pria baik oleh ayah." Jawabnya, wajahnya mulai memerah menahan emosi yang mulai meradang.

Mataku membulat sempurna, bukankah ini seperti yang diceritakan keenam anak itu tadi pagi? Tapi itu adalah film..

"Apa setelah itu kau pernah menemuinya? Apa kamu ingat pembicaraan diantara kalian?" Tanyaku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini bukan film.

"Saat ia di bui, sesekali aku mengunjungi lapasnya untuk mengucapkan terimakasih dan mencoba untuk berteman dengannya. Dia selalu mengatakan jika hanya aku yang menjenguknya. Ketiga temannya juga di tahan di sel yang berbeda dengan masa tahanan yang berbeda pula. Dia mengaku bahwa ia menyukai ku, tapi ia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki ku karena ayahku. Jadi ia hanya ingin berteman dengan ku." Akunya. Senyum lembut dengan rona menghiasi wajah manisnya kembali.

"Kemana orang tuanya?" Tanyaku lagi.

"Entahlah. Dia bilang meninggal. Tapi aku tidak yakin sepenuhnya." Ujarnya. Yang ku angguki meski aku sendiri pun tak yakin.

"Entah mengapa saat itu aku sangat senang mendengarnya bebas dari jeratan hukum. Aku juga senang melihat dia dapat kembali bermain dengan teman-temannya yang lebih dulu bebas darinya. Dan sama seperti sebelumnya, aku hanya mampu tersenyum jika melihat dia, tak bisa menyapa karena ayahku akan memarahiku jika aku dekat dengannya." Ujar Xue menyambungkan ceritanya. Senyumnya mulai berubah kecut kembali.

"Lama aku tak menemuinya, ku dengar dia dibawa ke sini karena gangguan mental. Jujur aku terpukul karenanya. Dan ayahku lebih mengolok-olok nya lagi. Ini terasa sangat tidak nyata." Lanjutnya. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Berapa lama kamu tidak bertemu dengan Zihao?" Tanyaku.

"Sekitar 6 bulan. Ayahku mengirimku ke sebuah universitas di luar kota. Dan saat aku kembali dan mendudukkan diriku di kursi makan, ayahku tertawa dan berkata 'nak, apa ayah bilang, anak itu tidak berguna, dia saja masuk rumah sakit jiwa, bagaimana bisa orang seperti itu masuk ke keluarga kita'  itu sangat menusuk diriku." Jawabnya dengan tawa pilu.

"Tapi aku tidak peduli. Selepasnya, aku segera mencarinya dan ku temui dia disini minggu lalu. Meski dia ramah denganku, tapi dia nampak tidak mengenaliku. Aku bersyukur dia masih seperti Zihao yang ku kenal meski dengan wujud yang berbeda." Lanjutnya kali ini dengan tawa kecil, seperti tawa gemas pada sesuatu dari Zihao.

"Dan kamu adalah perawat pertama yang ku datangi, jadi kamu harus mengingat kisah ini. Karena jika Zihao mendengarnya aku yakin dia akan berkata, 'mana mungkin aku menyukai makhluk sejenis?' bukan begitu?" Tanyanya diiringi tawa terbahak hingga membangunkan pria manis itu.

"Leon, ada apa?" Tanya Zihao dengan suara berat khas bangun tidur. Matanya digosok, tak lupa sisa liur di bibirnya pun di lap.

"Ku bawakan kekasihmu, Hao." Jawabku dengan tawa yang sanggup membuat kedua insan itu membelalakkan matanya.

"Apa?" Tanya keduanya bersamaan.

Keduanya menatapku. Yang satu dengan rona yang memenuhi pipinya sedangkan satunya lagi menyipitkan matanya yang sipit karena tidak percaya. Dan aku hanya tertawa karenanya.

"Kekasih bagaimana? Leon, suamiku kan tuan donat. Mana mungkin aku selingkuh." Jawab Zihao dengan tatapan malas.

"Haha lagi pula aku telah dijodohkan dengan seseorang, tenang saja, aku tidak apa-apa." Jawab Xue tertawa palsu.

"Apa? Dijodohkan? Bukankah itu menyakiti hati dan dirimu?" Tanya Zihao melebarkan matanya dan mendudukkan dirinya pada sudut ranjang.

"Kan sudah ku bilang, dia tetap Zihao yang ku kenal." Celetuk Xue padaku dan tertawa.

"Ya aku tersakiti, makanya kamu keluar dari sel ini seperti 6 bulan lalu, maka aku akan senang seperti 6 bulan yang lalu." Ujarnya membalas perkataan Zihao.

"Siap laksanakan!" Balas Zihao semangat. Entah dia benar-benar mengerti atau hanya membuat senang gadis didepannya.

Mereka saling bersautan, walaupun agak kurang nyambung, tapi komunikasi mereka cukup lancar. Aku rasa cukup untukku mendapatkan informasi tentang pria bermarga Li ini. Akan ku sudahi hariku dengan kisah pelik ini.

Kalau gitu, selamat tinggal.

"Tunggu dulu!" Seseorang berteriak ke arahku saat aku hendak beranjak, yang memaksaku berhenti didepan sel dan berbalik padanya.

Tidak, bukan Zihao. Tetapi seorang pria berpakaian putih berukuran cukup besar hingga tangan dan telapak kakinya tak nampak. Rambuk acak-acakan membuatku yakin dia bukanlah perawat. Napasnya cukup berat. Dia bukan pasien lantai 3. Kemungkinan dia pasien dari ruangan lain yang menunggu perawatnya kembali. Mungkin.

"Tunggu di sana! Jangan pergi dahulu!" Pekiknya dan berjalan cepat kearahku.  Seolah mencegah langkah ku pergi yang sebenarnya tidak akan keluar dari kastil putih ini.

Dia berdiri tepat di depanku. Keringat nya menetes tanpa henti. Bahkan nafas yang ia keluarkan pun melalui mulut, pertanda dia sangat lelah berlari mengejar ku. Tubuh semampai, juga kulit putihnya, membuat perawakannya terlihat sangat sempurna, bahkan mungkin orang tidak akan tahu dia pasien disini.

"Apa kau seorang perawat?" Tanyanya dengan nafas masih dari mulutnya.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku dan mencoba jaga jarak aman.

"Apa kau mengenal pasien kritis bernama Xinlong?" Tanyanya.

"Em.. ya.. dia adalah anakku. Apakah kalian bertengkar?" Tanyaku mencoba memahami pola pikir anak-anak disini.

Dia menatapku sengit, seolah perkataan ku tadi salah bahkan fatal. Aku tak sanggup berkomentar karena pria ini nampak begitu mencekam di mataku.

"Jika kau perawatnya.."

"Tolong bunuh dia!"

___


TBC

And.. ya..

Next

Sky - zofrenia  || Boy StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang