21. where

122 14 4
                                    

Aku mendudukkan diriku. Masih terasa panas dibeberapa bagian. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan. Parjo telah menyuntikkan obat penenang dengan dosis paling rendah, setidaknya aku sedikit rileks dan pikiran ku lebih plong. Aku masih berharap kabar tentang aku akan keluar tidak tersebar karena aku tidak jadi melakukan itu.

Tapi ternyata tangisan Xinlong terdengar hingga ke penjuru lantai sepanjang ia berlari ke kamar. Lihat, aku baru menarik gagang pintu dan di depannya sudah berjejer banyak perawat yang dominan laki-laki. Mereka menatap ku dari ujung rambut hingga kaki seperti baru melihat calon pasien baru disini.

"Leon?! Mental aman?!" teriak Albert, salah satu perawat pria yang cukup dekat denganku. Dia bertugas menyuntikkan obat penenang harian pasien. Dia tidak kasar, sungguh.

"Apa? Apa yang sakit? Apa kau di tikam oleh Xinlong? Atau di smack down Zihao?" panik perawat lainnya, Bernard, dia yang selalu menyuntikkan obat penenang saat pasien kambuh. Iya, yang nyuntiknya sangat tidak manusiawi itu.

"Enggak, enggak. Aku baik-baik aja. Aku cuma demam dikit doang tadi. Kalian gimana bisa ngumpul disini? Xinlong Zihao juga kenapa?" tanya ku dengan dahi mengernyit.

"Kami mendengar suara jeritan 2 anak mu itu. Sambil nangis-nangis mereka. Mereka bilang Leon keluar. Mereka ngacak-ngacak barang-barang 3 lantai, pot di pecahin, map sama Mading di rusakin, terus apa aja di banting-bantingin, kepala di bentur-beturin, pasien-pasien lain yang lagi main aja di jambakin, di gigit sama mereka. Apa gak panik kita?" cecar Alvin, perawat lantai 2 khusus untuk orang dewasa dan manula.

"Kita semua ini sampai bareng-bareng buat nyuntikin mereka berdua doang. Aku sampai di tendang tadi sama Zihao, kawan ku juga ini ditodong suriken sama Xinlong. Untung kita gak ambruk. 10 orang loh cuma buat megang 2 manusia itu" keluh Bernard, dan seketika wajah mereka memelas.

"Sebenarnya kalian ini ada apa sih? Lantai mu itu udah bolak-balik ganti perawat loh, mereka biasa aja, enggak ngamuk. Ini kok tumben" protes Albert.

Hah.. Ku hembuskan nafas berat. Jauh di lubuk hati ku, aku tertawa bak orang yang benar-benar depresi. Aku baru sadar. Tatapan-tatapan mata mereka ini yang bikin aku mau resign dari sini.

"Oke. Ya, aku tadi mau resign, tanpa sadar kedengaran ke mereka. Aku sama sekali gak tau kalau mereka bakal sebrutal itu, bahkan Zihao aja kalem tadi waktu ngelepas ku. Tanya aja mas Parjo" dengus ku tak mau disalahkan. "Tapi ya sekarang gak jadi. Ini mau balik ke lantai 3 buat konfirmasi ulang, eh udah di hadang ama perawat-perawat ganteng" tuntas ku dengan delikkan mata.

"Ck, udahlah.. Daripada kalian disini cuma melototin aku, mending kita balik kerja yuk, biar gak makan gaji buta" sindir ku dan melenggang menerobos kerumunan.

Baru beberapa langkah meninggalkan kerumunan orang yang kini sudah bubar, aku sudah dihadang lagi. 2 orang pria yang tak asing lagi di mataku. Bukan Xinlong atau Zihao, tapi temannya, HanYu dan Zeyu. Memandang ku asam, bak telah mendengar kabar tentang ku.

Aku menyibakkan rambutku, kemudian menyilang lengan. Mencoba berkata apa lagi sekarang? Dalam diam ku coba tetap menjernihkan pikiran. Mencoba tak tersulut emosi kembali, karena tenaga ku sudah terkuras akibat aduan-aduan tadi.

"Hah.. Aku gak akan keluar. Gaji ku belum turun nih" Jawabku bernada (pura-pura) ketus.

Tapi respon yang mereka berikan justru diluar ekspektasi ku. Mereka hanya menelengkan kepala mereka, bak tidak mengetahui apapun.

"Kau keluar? Kapan?" tanya HanYu dengan gaya kaget andalannya. Kaget kaget imut begitu.

"Hem? Ada apa?" tanya Zeyu yang kini mengikuti gaya ketus ku. Tak lupa ia juga ikut menyibakkan rambutnya. Ya, aku tahu kau tampan Yu Zeyu.

"Ah.. Kemana kalian seharian sampai gak sadar teman kalian ngambek?" tanya ku yang mulai kikuk dengan tingkah Zeyu yang terus mengikuti ku.

"Oh. Kita di kamar Qiqi, dia pingsan. Udah sadar sih, tapi belum mau bangun" jawab HanYu mengedikkan bahunya.

"T-terus Xinlong nya dimana sekarang?" Tanya ku mulai khawatir mengingat perlakuan para suster itu saat mereka berdua kambuh.

"Nih lagi nyari" jawab Zeyu mengeluarkan senyum simpul andalannya. "Kakak di sini aja jagain Qi Ge, jangan pergi dulu ya kak, kasian Xinlong" pintanya sambil memberi puk-puk di kepala ku.

Uhuk.

Rasanya kodok diperutnya Zeyu pindah ke perut ku. Apa ini kawan? Belum siap ini belum siap?!

"Kak?"

"AH IYA!" Pekikku terkejut saat menyadari wajah sejuk itu kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

Ia membasahi bibirnya dengan lidah, kemudian mengulumnya kembali. Dengan senyum lembutnya, ia menatap mataku kontan. "Kak, apapun yang terjadi, ingat, kita bukan orang lurus. Maafin kita ya kak" katanya dan kembali tersenyum.

"Em.. Nanti juga ada yang mau aku bahas tentang aku. Biar malam ini kakak bisa tidur nyenyak" lanjutnya dengan satu tusukan jari di pipiku.

Aku mematung, untuk beberapa saat yang sepertinya cukup lama. Belum sempat ku beri reaksi, mereka segera berlalu setelah sebelumnya mereka beradu pandangan sambil tersenyum melihat reaksi ku yang salah tingkah.

Ah!

Aku memukul-mukul pipiku. Ini memang bukan mimpi, tapi sepertinya sisa efek penenangnya masih ada. Astaga mengapa wajah Zeyu semakin terlihat sejuk berseri? Padahal itu masih wajah yang sama dari orang yang aku lihat setiap hari.

Hah sudah sudah. Mungkin ini karena aku terlalu lama terkungkung pekerjaan jadi aku mendramatisir perasaan. Hem ya, itu masuk akal.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menuju kamar sang ratu lantai tiga.

-/-

Aku menatap nanar wajah pria yang tengah terbaring lemah dihadapan ku. HanYu benar, dia memang sudah sadar, tapi badannya demam tinggi, mungkin karena efek bius dan kondisi emosional nya. Aku bisa membayangkan bagaimana keadaannya sebelum dibuat pingsan oleh obat bius dosis tinggi itu.

"Zihao" panggil ku, yang tak mungkin di balas olehnya. "Hao, ini aku, Leon. Aku dateng karena dipanggil Hao" lanjut ku sembari mengelus rambut nya, serta menyingkirkan poninya yang menutupi mata itu.

Aku mengulum bibir ku dalam. Rasanya mataku akan banjir lagi. "Hao, Leon minta maaf ya. Leon ga maksud bikin Hao begini. Leon cuma.. Ehm.. Maaf.. Maafin Leon" ucap ku menahan sakit di dada ini.

"Leon tau Hao udah bangun. Tapi Leon belum liat senyum Hao. Hao belum nyapa Leon hari ini. Leon kangen Hao" racau ku dengan dada yang terasa semakin sesak.

Aku menarik nafas panjang, berusaha agar bendungan ini tidak bocor lagi. Aku yakin Zihao mendengar suaraku, dia tidak pingsan, dia demam tinggi, dan dia hanya butuh sedikit waktu untuk bisa menjawab ku lagi. Meskipun entah kapan itu.

"Hao. Leon pamit sebentar ya. Leon mau cari Xinlong. Leon gak mau kehilangan lagi selain Mingrui dan Shuyang. Bye bye Hao" pamit ku dan segera berlari meninggalkan ruangan.

Aku menggigit bibir ku kuat. Banjir, benar-benar sudah runtuh. Mungkin efek obat penenang ini masih ada, tapi trauma ku sepertinya lebih kuat dari pengaruh obat apapun.

Segera ku kuatkan langkah kakiku ke kamar yang akan menjadi kamar terakhir yang aku singgahi.

Kamar Xinlong.

――――――――――
To be continued
――――――――――

Sky - zofrenia  || Boy StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang