NARA berlari dengan panik di sepanjang kooridor rumah sakit. Mendengar bahwa Aska menjadi korban penculikan dan kecelakaan, Nara tidak bisa untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Dia lalai lagi dalam menjaga Aska. Nara berhenti di meja resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu, buk?" Resepsionis wanita itu bertanya dengan ramah.
"Aska Juna Sadewa, anak kecil yang dibawa kesini karena kecelakaan--" Nara berbicara dengan cepat, seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Takut terjadi sesuatu pada Aska.
Di belakang Nara, Dion berdiri mencoba menenangkan wanita itu. Dia juga merasa khawatir dan bersalah karena tidak memperhatikan Aska.
Mereka berdua sibuk mengobrol hingga tidak menyadari Aska sudah tak lagi ada dan bangku cafe yang diduduki Aska kosong. Meninggalkan segelas ice cream yang masih utuh.
"Pasien atas nama Aska putra sadewa ada di ruang VVIP nomor xx dilantai ata—"
Nara tidak menunggu sampai resepsionis itu selesai berbicara, dia langsung berlari menuju kamar rumah sakit yang disebutkan wanita tadi. Dion masih setia mengikuti dari belakang.
Sampai di depan pintu ruang VVIP yang dimaksud resepsionis, Nara disambut Arka yang berdiri di depan pintu. Seperti sudah menebak kedatangan nya.
Rahang pria itu terlihat mengeras, apalagi saat melihat Dion yang bersama Nara. Tapi Nara tidak memperhatikan itu, dia langsung ingin menerobos masuk kedalam ruang rawat.
"Dimana Aska! Saya mau ketemu Aska!"
Arka menghentikan nya, dia tidak membiarkan wanita itu masuk kedalam. Tatapan mata Arka yang sedingin es tanpa sadar membuat nyali Nara menciut.
"Kenapa kamu ngehalangin, saya? Minggir!"
Arka mendengus keras, dia menatap Dion dengan dingin. "Saya rasa kamu gak punya keperluan lagi disini."
Dion tahu bahwa kalimat itu mengandung arti pengusiran terhadap dirinya. Dia juga sedikit terintimidasi dengan aura Arka yang menekan.
Akhirnya, sebelum bisa bertemu Aska, Dion pamit pulang dengan perasaan tak enak.
"Jadi ini itu alasan kamu mengabaikan, Aska? Sibuk pacaran sampe lupa sama anak?" Arka menyindir dengan sinis.
"Apa maksud kamu? Saya gak pernah ngabai-in Aska!" Nara jelas tak terima dengan kata-kata Arka.
"Oia? Kalo aja kamu gak sibuk pacaran, Aska gak mungkin kayak gini! Kamu bahkan gak sadar waktu Aska dibawa orang. Ibu macam apa kamu?!"
Nara tau itu, tapi jelas kata 'pacaran' itu salah. "Itu gak ada urusan nya sama kamu! Mau saya pacaran atau enggak itu sama sekali gak ada hubungan nya sama kamu. Sekarang minggir! Saya mau masuk liat Aska."
Jemari Arka terkepal mendengar ucapan Nara, dia dengan kasar mencengram lengan Nara, menyeretnya kedalam ruang rawat.
"Lepasin!"
"Arka lepas! Argh!"
Arka mengabaikan perotesan Nara. Satu tangan nya yang bebas mencengram Rahang Nara dari belakang. membuat Nara melihat seseorang yang terbaring diranjang rumah sakit.
"Itu Liat! Liat! Sekarang kamu liatkan apa yang terjadi sama Aska! Kalo kamu lebih sibuk sama pacar kamu itu, lebih baik saya yang bawa Aska!"
Nara melihatnya, di tengah-tengah ruangan besar ini. Seorang bocah laki-laki berbaring dengan kelopak mata tertutup.
Kening nya dibalut, beberapa luka dilengan dan pipinya di plester dan kaki kecilnya di gips. Nara merasa tertekan melihatnya.
Ini semua salahnya, jika saja... Jika saja dia tidak terlalu asik mengobrol dengan Dion, Aska tidak mungkin seperti ini.
Air mata Nara mengalir membasahi tangan Arka yang masih mencengram rahang nya. Melihat luka lebam yang hampir memenuhi sekujur tubuh Aska— bisa terlihat dari kerah baju rumah sakit—Dia terisak pelan.
Arka menyadari jika Nara menangis, apa kata-katanya terlalu kejam? Dia menghela nafas, lalu melepaskan cengraman tangan nya pada rahang Nara, membalikan tubuh Nara lalu memeluknya dengan kuat.
Wanita itu tidak memberontak, malah semakin merapatkan dirinya pada Arka. Membayangkan putranya yang ketakutan saat dibawa penculik itu, memanggil nama ibu nya yang bahkan tidak tau jika sang anak pergi— itu sangat menyesakan untuk Nara.
Arka juga membisu setelah nya, tidak lagi berucap. Dia mengusap lembut punggung Nara, sesekali mengecup pucuk kepalanya.
"Gapapa, gapapa. Aska gapapa. Jangan nangis."
🍂
Satu jam lalu, Aska bangun dari tidurnya, dia melihat sekeliling nya yang ramai. Aska mengerang kecil meminta air minum. Nara yang melihat nya dengan sigap langsung membantu sang putra.
Tapi itu satu jam yang lalu. Sekarang, bocah itu telah kembali aktif seperti sebelum nya. Dia tengah duduk bersandar di atas ranjang rawat, dengan setumpuk mainan yang juga diletakan diatas ranjang. Yang diberikan oleh beberapa kerabat Arka.
Kakinya yang di gips bahkan tidak menyulitakn Aska untuk bermain.
Liam bahkan berkali-kali mengambil mainan Aska yang terjatuh dari ranjang. Lidya mengupas buah untuk anak itu, menyuapinya dari waktu ke waktu.
Beberapa kerabat yang pernah Aska lihat saat dirinya dibawa ke amerika juga mengunjungi. Ada pula beberapa wajah yang masih asing.
Nara disamping Aska mengelus kepala bocah itu, masih merasa bersalah atas apa yang terjadi. Sedangkan Arka, pria itu berkata jika dirinya akan ke kantor polisi untuk menangani masalah penculikan Aska.
Pukul tujuh malam, kerabat-kerabat yang menjenguk Aska pamit untuk pulang. Termasuk Lidya dan Liam yang kembali kerumah utama— tapi mereka berjanji pada Aska jika besok kedua nenek dan kakek itu akan kembali dan membawakan mainan yang lebih banyak.
Askapun setuju dengan senang. Tidak sabar menunggu hari esok.
Nara berbaring di samping Aska, dia mengusap lembut perut putra nya, mencoba membuat bocah itu tertidur.
Tak lama setelah Aska tertidur, pintu ruang rawat terbuka dengan pelan. Arka masuk kedalam dan melihat Nara yang masih terjaga. Ditangan nya, dia memegang dua paperbag berlogo khas restoran.
"Na, mending makan dulu, dari tadi siang kamu belum makan." Kata Arka, dia menaruh paperbag itu diatas meja kaca kecil.
Nara melihat Arka, dia turun dari ranjang dan duduk di sofa. Arka juga melakukan hal yang sama.
Ruang VVIP yang ditempati Aska itu cukup besar dengan fasilitas lengkap. Dimulai dari dua sofa panjang di sudut ruangan, dispenser kecil, tv, ac, dan lainya.
"Kapan Aska dibolehin pulang?" Nara bertanya pada Arka.
"Belum tau, nanti ditanyain lagi sama dokternya."
Nara mengangguk, dia memakan makanan yang dibawakan Arka untuknya. Tadinya, Arka ingin menanyakan soal lelaki tadi siang pada Nara, tapi saat melihat Nara yang sedang makan dengan lahap, dia mengurungkan niatnya.
Selesai dengan makanan nya, Nara pergi kekamar mandi untuk mencuci tangan. Lalu kembali duduk di samping Arka.
"Gimana kalo Aska trauma?"
Aska hanyalah anak berusia empat tahun, memikirkan dia ketakutan saat kecelakaan dan melihat sendiri seseorang yang meninggal disamping nya? Nara takut itu akan mempengaruhi pisikologis Aska.
Arka menghela nafas. "Gapapa, kita bawa Aska ke dokter anak, nanti."
Nara mengangguk, tak lagi bersuara. Dia menatap Aska yang tertidur di atas ranjang rawat. Mainan bocah itu sudah Nara singkirkan.
"Tapi kaki Aska bisa sembuh kan?" Tanya Nara lagi.
"Bisa, pasti bisa."
To be continued.
Karena aku sering banget gunta-ganti Cover, kalian disarankan untuk follow akunku dulu supaya gak ketinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END]Love me again, please!
RomansaTamat di Dreame:) Penulis: zii_alpheratz Arka Juna Sadewa. Lima tahun lalu, Arka tak mengerti mengapa Nara memilih mempertahankan bayi nya alih-alih menggugurkan nya. Saat Arka memberi nya dua pilihan, tetap bersama Arka dan gugurkan kehamilan nya a...