Memulai?

440 98 6
                                    

Lagu Falling milik Harry Styles, Agra nyanyikan dengan sangat indah. Arka mengakui itu. Ia tersenyum kecil, mengurungkan niatnya untuk masuk dan bergegas kembali ke mobil. Menatap kafe di depannya sekali lagi dan menghela nafas lelah.

"Gue udah ngga punya tempat ya?"

Jemarinya meremat kemudi dengan erat, menekan sakit hatinya yang kembali dirasakan. "Rean yang udah gantiin?"

Arka meninggalkan pelataran kafe dengan perasaan berkecamuk, ia rindu, ia ingin kembali, tapi ia juga membenci semua situasinya.

Seluruh perjalanan hanya dihabiskannya dengan mengingat kembali masa SMA nya yang ia habiskan bersama Sirkel B. Ia ingin kembali, sangat ingin.

Ponselnya berbunyi tepat saat mobilnya memasuki gerbang perumahan. Arka menepikan mobilnya dan mengangkat telepon dari ART barunya.

"Kenapa, mbak?"

"Ini mas, pak Fajar sudah bangun. Mas Arka minta dihubungin kan kalo bapak bangun."

"Oh iya, Arka udah mau nyampe kok. Ibu udah pulang?"

"Belum mas."

"Ya sudah, makasih banyak mbak."


Arka mematikan panggilan dan kembali menjalankan mobilnya. Tangannya sedikit gemetar hanya karena menyebut ibu. Arka jarang melihat wanita cantik itu dua hari ini. Ibu selalu pulang malam dari kantor.

Tidak butuh waktu lama untuknya sampai di rumah. Mbak Iraㅡasisten rumah tangganyaㅡmemberikan nampan berisi air mineral dan bubur hangat. Arka mengucapkan terimakasih dan bergegas ke kamar papanya.

Fajar tersenyum, memaksakan dirinya untuk duduk.

"Udah mendingan pa?"

"Lumayan ka."

Dengan perlahan, Arka meletakkan nampannya di nakas sebelah obat-obatan papanya. Laki-laki yang sekarang menjadi ayah kesayangannya ini sudah sakit semenjak kemarin siang. Arka tahu saat mereka bertemu untuk membahas ulang tahun Senja.

Itu mengapa semalam, Arka sangat marah karena Senja tidak ada disaat Fajar berusaha mati-matian untuk datang tepat di jam 12, padahal sedang demam.

"Papa makan sendiri aja, kamu mandi gih."

Arka menatap papanya tidak yakin. "Beneran?"

"Haha iya, udah sana. Bau nih."

Rasanya, Arka ingin seperti ini terus bersama Fajar. Satu-satunya orang yang kini berada di sisinya.

Ia pamit pada sang ayah dan kembali ke kamarnya di lantai dua. Arka mengusap dahinya yang agak panas, dia sedikit demam.

"Jangan sakit dulu." Bisiknya pelan dan memilih untuk segera mandi sebelum malam semakin larut.

Hanya sepuluh menit waktu yang dibutuhkannya untuk mandi kali ini. Ia bergegas memakai bajunya dan mengeringkan rambutnya yang basah.

Pandangannya menyusuri seisi kamar hingga sampai di meja belajar, pada frame foto berisi tujuh pemuda yang tersenyum lebar menghadap kamera.

'Stop it, Arka.'

Tidak ingin terlarut dalam rasa rindunya, ia membuka laman twitternya dan menemukan banyak tweet yang membicarakan Senja. Arka memijit pangkal hidungnya saat melihat begitu banyak pro dan kontra yang membahas apakah itu benar-benar Senja atau bukan.

Hingga saat foto loker berisi coretan kasar tidak sengaja dilihatnya, ia segera bangkit dan keluar kamar untuk turun ke bawah.

"Mbak, pylox cat yang Arka titipin mana?"

"Oh ada di kamar, sebentar mas Arka, mbak ambil."

Mbak Ira bergegas ke kamarnya dan keluar membawa kotak kecil kardus yang terbuka dengan tiga botol pylox cat di dalamnya.

"Makasih mbak."

Ia baru berbalik sebelum kembali menghadap mbak Ira dan mencegah wanita berusia tiga puluhan tahun itu untuk pergi.

"Yang waktu itu gimana mbak? Artnya.." Tanya Arka tidak yakin.

Mbak Ira tersenyum. "Sudah beres mas, sudah berhenti juga dari rumah lama. Uangnya juga sudah saya kasihkan, mas tenang saja. Pasti aman, tinggal dia datang aja kok mas buat di salurin ke rumah baru."

Arka menghela nafas lega, semuanya berjalan lancar. Ia mengucapkan terimakasih dan bergegas kembali ke kamarnya.

Arka duduk di ujung ranjang, mengambil salah satu catnya dan memainkannya tanpa minat. Ia baru berhenti saat ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk.

Nama Cherry tertera di sana.

"Kenapa?"

"Kenapa lo tanya kak? Besok Senja sama Davin masuk! Gue stress mikirin harus jawab apa kalo ketemu mereka."

Arka memutar bola matanya malas, "Pras aja bisa lo hadepin, masa mereka ngga?"

"Ya itu karna gue kabur dari Pras! Davin sama Senja kan sekelas sama gue kak. Ya Tuhan capek batin mulu gue ketakutan."

"Bukannya udah dibicarain, gue udah peringatin lo konsekuensinya."

"Yayaya whatever. Benci gue sama lo."

Arka terkekeh, memainkan botol di tangannya. "Gue udah bilang, lo harus bisa milih. Kubu mana yang mau lo ikutin. Lo malah milih gue."

"Gue ngga mau secepet itu ketauan kak, lo tau gue harus."

Suara Cherry terdengar lebih sedih dari pertama kali gadis itu berbicara. Arka merasa bersalah, namun berusaha menekannya.

"Jangan paksain diri lo deh, gue jadi pusing denger keluhan lo."

Suara decakan kasar terdengar, disusul teriakan yang membuat Arka menjauhkan ponselnya dari telinga.

Setelah yakin Cherry sudah diam, ia kembali menempelkan ponselnya di depan telinganya. "Teriakan lo gila. Si Adwina gimana? Makin benci lo kalo dia tau lo malah ada dipihak gue."

"Shut up, gue makin stress denger namanya."

"Bah, strass stress lo lakuin juga."

"Bodoamat ya kak Arka, lo ga bantu. Bye!"

Panggilan terputus, Arka memutar bola matanya malas. Ia kembali mengamati cat di tangannya.

"Apa yang udah gue mulai harus gue akhiri, kan?"

Ia menghela nafas panjang, memasukkan kembali catnya dalam kardus dan menyimpannya di bawah tempat tidur. Langkahnya ia bawa ke meja belajar, duduk diam di sana tanpa melakukan apapun.

Hanya melihat pada frame foto di depannya.

"Sorry..."

■ S E N J A ■

Crepuscule [JJK] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang