Safira membuka mata. Di depannya kini gadis itu sudah berhenti berteriak-teriak. Ruangan itu berubah sangat hening setelah aksi menegangkan tadi.
Gadis itu telah kehabisan tenaga. Permata, namanya. Orang tuanya datang persis setelah Safira pulang dari mengantar putra-putrinya ke sekolah.
Permata diduga kerasukan, tak pernah mau berbicara dan hanya mengurung diri di kamar. Orang tuanya yang berasal jauh dari desa tempat Safira tinggal, mendengar kabar bahwa di desa pesisir selatan itu, ada seorang pemuka adat yang sangat termsyhur dalam mengobati.
Sayangnya pemuka adat itu telah meninggal, menyisakan cucu perempuannya saja. Namun, dari mulut ke mulut cerita tersebar bahwa Safira mewarisi kemampuan kakeknya. Meski tak mau mengambil gelar pemangku adat yang telah kosong, Safira dipercaya mampu menyembuhkan gangguan mistis yang dialami orang lain.
Karena itu, kedua orang tua Permata memohon agar putrinya diobati, meski Safira telah menolak dan menawarkan agar mencari orang lain saja.
Safira menatap Permata yang menatapnya lemah. Kedua orang tua Permata berada di luar. Sesuai permintaan Safira, mereka memberi ruang agar putrinya bisa diobati secata khusus.
"Sudah lelah?" tanya Safira tenang. Semenjak tadi dirinya hanya duduk bersila di depan Permata. Ia memberikan waktu gadis itu untuk menyelesaikan tangisannya. "Seharusnya jika tak mau dibawa keluar rumah, kamu mengatakan itu pada orang tuamu."
Permata tampak terkejut.
"Kaget? Aku tahu kamu tidak kerasukan. Alasanmu mengamuk karena tak mau dibawa keluar rumah bukan?"
Perlahan, Permata mengangguk.
"Tidak pernah ada yang merasukimu, karena itu, para Belian yang terdahulu tak berhasil mengobatimu. Aku benar bukan?"
Permata kembali terlihat terkejut.
"Jika kamu mengira aku mengetahuinya karena memiliki kemampuan khusus, kamu salah. Aku tahu karena aku pernah mengalaminya."
"Pe-pernah?" Suara Permata begitu lemah dan serak. Terus berteriak dan menangis membuatnya kelelahan.
"Kesedihan mendalam. Matamu menceritakannya padaku."
Permata menatap Safira tak percaya.
Safira tersenyum. Permata masih sangat muda dan kurus. Ada beban berat tergambar dari rauy wajahnya yang rapuh.
"Sudah kukatakan aku pernah mengalaminya bukan? Sesuatu yang sangat hebat dan menyakitkan. Sesuatu yang membuatmu meminta kematian pada Tuhan saat itu juga."
"Lalu kenapa kamu tidak mati, maksudku bunuh diri?"
"Dan kenapa kamu juga tidak melakukannya?"
"Aku ... aku punya orang tua. Mereka akan sangat sedih jika aku memilih bunuh diri."
"Dan aku memiliki dua orang manusia di dalam perutku saat itu."
Permata terkejut.
"Aku sedang mengandung saat malapetaka itu datang. Tapi aku tahu tak bisa memilih mati meski sangat ingin. Sama sepertimu, aku harus bertahan hidup untuk orang yang kucintai."
"Ba-bagaimana kamu bisa melakukannya?"
"Bagaimana? Entahlah."
"Tapi kamu terlihat sangat tegar sekarang."
"Benarkah?"
"Iya.."
"Syukurlah. Karena pada kenyataanya, aku masih sering menangis. Malam hari, saat sendirian. Ketika putra-putriku telah terlelap."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Ombak
Romance(DALAM PROSES PENERBITAN) Ombak tak bisa dikejar, sama seperti tak dapat digenggam. Kakeknya mengatakan itu pada Safira. Namun, perasaanya yang terlalu besar membuatnya bebal. Hingga di suatu hari Safira dihantam kenyataan, Ombak memang selalu data...