Saat masih menjadi wanita naif yang , Safira pernah memimpikan ini. Suatu hari akan bisa melihat Ombak pulang menjemput anak-anak mereka sekolah. Si kembar akan bergandengan tangan dengan ayahnya menuju rumah, sementara Safira menunggu mereka di ambang pintu dengan senyum lebar.
Kini semua itu nyata di depan Safira, hanya saja dirinya tak tersenyum. Ettan dan Hayi pun tak berada di gandengan ayahnya. Malah, Ettan digendong di belakang, sedangkan Hayi di bagian depan. Tangan kanan Ombak digunakan untuk menahan Ettan, sedangkan tangan kirinya untuk Hayi.
Seolah dua bocah sembilan tahun itu, tak lebih berat dari sebuah bantal kapas.
Ombak memang kuat sejak dulu, Safira harus mengakui itu. Ombak pernah menggendong Safira dari halaman depan rumahnya, menuju kamar lelaki itu hanya dengan satu tangan. Lelaki itu melingkarkan lengannya di perut Safira dan membawanya masuk. Bahkan tak terpengaruh pada rontaan Safira.
Safira mengerjap saat kenangan itu berlalu. Ia berusaha memfokuskan pikirannya ke masa sekarang. Tak ada gunanya mengingat kenangan indah di yang telah terlewati, karena pada akhirnya, Safira akan menemukan ujung yang sama untuk kisah itu.
Kenangan Ombak tanpa pakaian dan seorang gadis yang hanya mengenakan selimut di kamar mereka.
Safira menelan ludah. Ia benci efek dari kenangan itu. Rasa sakit kembali berdenyut dengan dahsyat di dadanya.
Safira pernah sangat memuja Ombak. Mengejar-ngejar lelaki itu seperti manusia tak tahu malu. Safira bahkan membiarkan Ombak memanfaatkannya sebagai seorang gadis. Rasa cinta buta yang pada akhirnya membawa Safira pada kesakitan tak berkesudahan.
Sudah berakhir, bisik Safira dalam hati. Seluruh kenangan itu kembali diringa masikkan ke kotak memori yang tak boleh dibuka lagi.
Ettan dan Hayi mengucapkan salam. Namun, kedua bocah itu menolak turun saat Safira mengulurkan tangan. Mereka hanya menyalami ibunya, setelah itu kembali memeluk sang ayah erat-erat.
Sejujurnya hal itu menimbulkan rasa terenyuh dan jengkel secara bersamaan. Namun, Safira berusaha berpikir rasional, kedua anaknya sangat memuja ayah mereka. Terlepas dari Ombak yang jarang bersama mereka, lelaki itu selalu berusaha menjadi ayah yang baik. Berada di seberang pulau tak membuat anak-anaknya merasa tidak diperhatikan.
Ombak membelikan ponsel pada Nung Astiti agar tetap bisa berbicara dengan putra-putrinya, kapanpun lelaki itu mau.
"Ayo turun, Ayah pasti lelah," bujuk Safira pada Ettan dan Hayi yang masih berada dalam gendongan ayah mereka, meski sudah memasuki rumah.
"Ayah tidak lelah, Bu. Ayah kan pernah menggendong seseorang yang lebih berat dari anak-anak kita."
Kata-kata yang manis sekali hingga membuat Safira ingin menampar Ombak. Jiwa anarkis dalam dirinya benar-benar tumbuh pesat setiap mendengar lelaki itu berbicara.
"Emangnya Ayah pernah gendong siapa?" tanya Ettan penasaran.
"Ibu."
"Hah, kok Ibu digendong?" kini Hayi-lah yang ikut bertanya.
"Iya, Ibu kan emang suka-"
"Ganti baju dulu yuk," sela Safira. Ia tak mau Ombak melanjutkan penjelasannya pada anak-anak mereka. "Nung sudah membuat pepes ikan kesukaan Kakak sama Adik."
Kedua bocah itu kembali meneriakkan kata hore.
Nung Astiti muncul dari dapur. Dia menyapa Ombak dengan akrab sebelum kemudian menggiring Ettan dan Hayi menuju kamar untuk berganti pakaian.
"Mereka masih tidur di kamar yang sama?" tanya Ombak.
"Iya."
"Mereka sudah kelas tiga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Ombak
Romansa(DALAM PROSES PENERBITAN) Ombak tak bisa dikejar, sama seperti tak dapat digenggam. Kakeknya mengatakan itu pada Safira. Namun, perasaanya yang terlalu besar membuatnya bebal. Hingga di suatu hari Safira dihantam kenyataan, Ombak memang selalu data...