Part 10

8.9K 2.2K 316
                                    

Rajin vote ama komen ya, biar Inak gak lari ke KK.🤣

🌊🌊🌊

Safira tengah mengatur meja makan, saat suara ponselnya terdengar. Wanita itu terlonjak karena terkejut. Ia kebingungan, lupa tempat meletakkan ponselnya.

Sejak kedatangan Ombak, pikirannya menjadi tak fokus. Safira berjuang untuk tetap terlihat normal di bawah tatapan Nung Astiti yang jeli.

Ombak tidak boleh mempengaruhinya lagi.

"Nak, ponselnya ...."

Safira mengangguk, menerima ponsel dari tangan Nung Astiti. Nomor tak dikenali. Jantung Safira berdetak lebih cepat. Ia memiliki firasat tentang siapa yang berusaha menghubunginya sekarang.

"Kenapa tidak diangkat, Nak?" tanya Nung Astiti.

Safira tahu wanita yang mengasuhnya semenjak kecil itu, menaruh rasa khawatir karena sikap diamnya. Nung Astiti sangat peduli padanya.

"Akan saya angkat, Nung." Safira kemudian berbalik. Ia berdiri di dekat jendela yang terbuka. Tatapannya menelusuri jauh ke arah kebun sayuran, yang memiliki pagar alami berula pepohonan bambu yang rimbun. Rumpun-rumpun bambu itu berfungsi sebagai pembatas antara tanah Apuk Mardi dengan hutan di belakangnya.

Safira mendengat kata 'halo' yang berat dan sedikit serak begitu menerima panggilan.

Ombak, firasatnya benar-benar tidak meleset.

"Apa maumu?" tanya Safira tak ramah. Ia mencengkeram kusen kayu jendela, hanya agar emosinya tak meledak saat itu juga.

Entah dari mana Ombak berhasil mendapatkan nomor telepon pribadinya.

Kenapa mesti heran, dia bisa mendapatkan apapun yang dia mau, cemooh Safira getir. Ombak dan segala kekuasaan yang dimilikinya sekarang hanya membuat Safira makin ngeri.

Pak Irfan telah meninggal. Semua kekayaan dan kekuasaannya jatuh ke tangan Ombak sebagai pewaris tunggal.

Pabrik gula.

Sebagian besar masyarakat di daerah Safira menggantungkan hidup pada pabrik gula dan laut. Namun, Masalahnya Ombak menjadi pemilik pabrik itu sekarang dan Safira juga tahu bahwa pabrik pengemasan ikan sekaligus penyewaan perahu nelayan milik Pak Irfan, juga menjadi milik mantan suaminya itu.

Hal yang sudah pasti membuat Ombak menjadi salah satu orang paling dihargai dan dihormati di daerah itu. Sesuatu yang memungkinkan lelaki itu mendapatkan informasi apapun yang diinginkannya.

Bencana.

Benar, kepulangan Ombak hanya berarti bencana bagi Safira dan kehidupan damainya selama ini.

"Kamu," jawab Ombak dari seberang.

Untuk beberapa saat Safira hanya mampu tercengang, sebelum kemarahannya menyadarkan bahwaa keinginan Ombak itu seperti sebuah tamparan di pipinya yang babak belur.

"Jika kamu hanya ingin bermain-main, aku akan menutup telepon ini."

"Kamu memang bersemangat semenjak dulu, tapi aku tak tahu kamu gampang terpancing emosi."

"Itu karenamu."

"Sejujurnya aku bangga mendengarnya."

Safira sudah siap melontarkan kata-kata pedas lagi, saat melihat Nung Astiti memperhatikannya. Sial. Ia tak mau melihat wanita itu bertambah khawatir.

"Katakan apa maumu dengan cepat. Aku harus segera menutup telepon untuk menjemput anak-anakku."

"Anak-anak kita. Aku yang membuatmu bisa memiliki mereka. Mereka berasal dariku, kamu lupa?"

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang