Part 3

9.3K 2.2K 195
                                    

Sebutan Tok, Inak ganti pake Apuk ya.

Kok ganti Inak? Ya nama  Safira aja Inak ganti. Wkwkwkkwkw. Intinya ini kan draft kasar, banyak yang sewaktu2 bisa Inak ubah. maapin.

******

Yasri terengah-engah. Dia setengah berjongkok dengan tangan mencengkeram lutut. Peluh mengaliri wajah dan tubuhnya. Udara dingin malah terasa membakar di kulit dan paru-parunya.

"Setan alas!" maki Yasri panas. Dia tak berhasil mengejar si pengintip itu. Masalah besar akan datang jika sampai si pengintip membuka mulut ke warga desa.

Namun, pengejaran itu setidaknya membuatnya tahu bahwa orang kurang ajar yang mengintipnya adalah perempuan. Lampu motor--meski dari kejauhan--membuat Yasri bisa melihat bayangan wanita itu.

Yasri memutuskan kembali ke ladang jagung, tempat Endang kekasihnya menunggu. Endang ternyata sudah berdiri di pinggir jalan dan menyerahkan sebuah benda pada Yasri.

"Apa ini?"

"Tempat kemenyan. Aku tak sengaja menginjaknya tadi."

"Setan alas! Pasti milik si setan itu."

"Bagaimana ini, Bang? Bagaimana jika kita ketahuan."

"Di sini gelap. Tak mungkin dia dapat melihat kita. Kecuali dia mengenali suara kita."

"Aku takut."

"Jangan takut, Dek sayang. Endang yang cantik tak beh risau. Besok pagi Abang akan mencari tahu pemilik wadah menyan ini."

"Lalu apa yang akan Abang lakukan?"

"Tentu saja membuatnya menutup mulut, selamanya."





*****

Ombak mengetuk pintu rumah yang setengah terbuka itu. Dia tahu kedatangannya telah ditunggu. Menolak dijemput ke bandara adalah hal terakhir yang bisa ditoleransi keluarganya.

Mereka tak berubah, hanya Ombak-lah yang tak bisa menerima kestabilan itu.

Bukan ibu tirinya yang muncul di ambang pintu, melainkan Langit, sang kakak tiri. Ombak mendapatkan pelukan hangat penuh persaudaraan. Kali ini, Ombak tak mendorong Langit menjauh seperti saat mereka masih remaja dulu. Waktu telah memberi Ombak pengetahuan, bahwa meski tak sedarah, Langit tetaplah saudaranya.

"Kamu terlihat makin hebat, Dik!"

Ombak menyeringai. Dia tidak hebat. Langit-lah yang demikian. Usianya yang semakin bertambah menunjukkan betapa matangnya Langit sebagai pria.

"Terima kasih."

"Dan kamu bisa bicara sopan juga sekarang. Luar biasa."

Ombak tahu Langit sedang memujinya, dan itu tulus. Sesuatu yang mengingatkan betapa kurang ajarnya Ombak dulu.

"Benar, aku cukup sopan untuk memintamu minggir. Aku lelah berdiri di depan pintu."

Langit tertawa. Dia merangkul sang adik masuk. "Ibu sudah memasak banyak makanan sejak kemarin untuk menyambut kedatanganmu."

Ibu ....

Ibu Ombak telah mati. Dan sebagian jiwa Ombak ikut terkubur di dalam liang lahatnya.

Bagi Ombak tak ada wanita lain yang bisa menggantikan ibunya.

"Kamu sudah pulang?!"

Seruan bahagia itu ternyata masih akrab di telinga Ombak. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan enerjik menghampirnya. Ombak mendapat pelukan erat. Pelukan yang kemudian diiringi tangisan.

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang