34

8.4K 2.4K 233
                                    

"Mereka memang serasi sekali."

"Iya, Bu. Anaknya lucu-lucu."

"Baik pula ya, Pak."

"Anaknya kan dari dulu baik. Ingat nggak? Kalau beli es di sini pasti bayarnya dilebihin. Mana kalau liat orang minum sini ditraktir semua."

"Lah, iya, dulu masih SMA padahal, tapi uangnya juga banyak. Naik motor juga kan, Pak? Bapak ingat motornya yang bagus itu? Ibu nggak pernah liat ada yang orang di sini yang punya dulu."

"Sepertinya dia anak orang berada, Bu."

"Iya, Pak. Tadi aja ke sini sudah bawa mobil. Bagus pula. Seperti yang ibu liat di tivi-tivi. Ibu tidak bisa bayangin harganya."

"Sepertinya kita nabung seumur hidup pun tak terbeli, Bu, mobilnya yang tadi."

"Iya, Pak. Kita jual ini kios kecil juga tidak terbeli. Tapi Bapak ingat siapa namanya?"

"Bapak tak tahu. Dari dulu dia kan tidak pernah memperkenalkan diri. Kita panggilnya 'Nak' saja."

"Iya ... ya. Kalau dipikir-pikir, kenal sepuluh tahun, aneh juga kita tak tahu namanya, Pak."

"Besok kalau  dia misalnya mampir ke sini lagi, kita tanyain namanya, Bu."

"Iya, Pak. Oya, Bapak ingat nanti siapa itu orang yang mau ditemui Fikri?"

"Badai. Pak Badai. Bapak tidak akan lupa. Pesannya kan suruh Fikri bilang kalau Pak Ombak minta bekerja di sana."

"Sepertinya Pak Ombak orang penting di sana ya, Pak."

"Iya, mungkin saja bosnya."

"Tapi dari mana lelaki tadi kenal sama Pak Ombak ya, Bu?"

"Entahlah, tapi kan dia kaya, mungkin saja Pak Ombak itu paman atau malah orang tuanya. Dia kerja di pabrik kan katanya?"

"Iya. Udah jangan kita pusingin. Yang penting Fikri bisa diterima kerja di pabrik gula itu. Masa sulit begini, semua serba mahal, pekerjaan setengah mati mau dicari, untung kita dibukakan jalan. Katanya pemegang pabrik gula itu orang baru, Pak. Yang kemarin diganti soalnya tidak becus."

"Tau dari mana, Bu?"

"Saimah kan anaknya kerja di sana. Katanya yang megang dulu itu payah sekali, makanya ditendang sama
Pemilik yang sekarang. Tukang nilep pula, Pak. Duit pabrik masuk kantong pribadinya."

"Astagfirullah. Manusia seperti itu mah pantas ditendang. Sudah tidak bergunya, menyusahkan pula."

Yasri mengusap sudut bibirnya. Botol minumannya sudah kosong. Namun, mabuk yang diharapkan akan mengurangi rasa sakit hatinya, ternyata tak manjur.

Ingatan tentang obrolan suami istri penjual es kelapa muda itu, masih mampu membuat darah Yasri mendidih.

Tak disangka-sangka bahwa hinaan akan dia dapat dari manusia yang menurut Yasri derajatnya jauh lebih rendah dari dirinya. Dan semua gara-gara Ombak serta keluarga sialannya.

Yasri menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya pening dan panas. Andai istrinya yang bodoh itu tak meminta Yasri unuk mampir di kios penjual es kelapa muda, dia tak perlu mendengar omong kosong pendapat orang tentang tabiatnya.

Tukang nilep?

Bangsat! Yasri marah sekali disamakan dengan pencuri. Apa salahnya jika dia mengambil uang lebih banyak dari gaji seharusnya? Jika dia membeli mesin jauh lebih murah dengan kualitas lebih rendah sedikit dari standar yang ditentukan? Memangnya salah jika Yasri memangkas uang pembelian bibit dan pupuk? Atau telat mengganji para buruh?

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang