Part 21

7.7K 1.9K 159
                                    

Coba pada rembuk deh, biar kadonya merata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Coba pada rembuk deh, biar kadonya merata.













🌊🌊🌊

"Pernikahan harus sekarang juga. Tidak bisa ditunda." Itu adalah keputusan Pak Irfan, salah, desakannya. Setelah hampir membuat putranya babak belur, Pak Irfan memutuskan  bahwa Ombak harus bertanggung jawab. Putranya harus menikahi gadis yang telah dinodainya.

Pak Irfan marah dan malu, tapi yang lebih mendominasi adalah rasa gagal sebagai orang tua. Pak Irfan telah gagal mendidik putranya hingga menodai  seorang gadis di rumahnya sendiri.

Tak ada yang tahu bagaimana Safira bisa berada di rumahnya. Namun, keberadaan gadis itu yang bersimbah air mata dan tanpa pakaian di ranjang sang putra, cukup untuk menjadi alasan bahwa Ombak harus bertanggung jawab atas hal melampaui batas yang telah dilakukan.

Pak Irfan tak akan pernah lupa suara tangis gadis itu yang terdengar hingga keluar. Istrinya di surga pasti merasa malu atas apa yang terjadi. Bagaimana Pak Irfan akan menjelaskan kegagalannya saat mereka bertemu lagi kelak?

Pak Khairi--sang kepala desa-- yang tadinya bermaksud berkunjung untuk membicarakan masalah karyawan di pabrik, berusaha menjadi penenang sekaligus penengah.

Pak kepala desa bertemu dengan Pak Irfan dan Sang istri yang sedang menuju ke rumah orang yang ditabrak Ombak semalam. Pak Irfan memutuskan untuk mengubah rencana dan pulang ke rumah. Namun, siapa sangka, bahwa yang ditemukannya hampir membuat lelaki itu terkena serangan jantung.

Beruntung ada Bu Delima yang berhasil menenangkan suaminya. Karena jika tidak, sudah pasti Pak Irfan benar-benar akan membunuh putranya.

Pak Khairi yang terbiasa menghadapi situasi genting langsung mengambil tindakan. Diantar oleh sopir Pak Irfan, Pak Khairi menjemput Apuk Mardi sekaligus menjelaskan kejadian yang sudah terjadi.

Pak Khairi bersykur bahwa Apuk Mardi jauh lebih tenang dari Pak Irfan. Meski tak mengucapkan sepatah katapun, setidaknya pemangku adat itu, bersama Nung Astiti mau ikut ke rumah Pam Irfan.

Penghulu pun sudah hadir. Berbekal titipan salam dari Pak Kepala Desa dan Pak Irfan, penghulu  bernama Haji Badrun itu kini sudah ikut duduk di ruang tamu kediaman besar Pak Irfan. Langit berhasil menjalankan tugasnya tanpa memancing kecurigaan orang lain.

"Saya ... tahu bahwa mungkin Apuk tidak akan sudi menerima putra saya. Tapi saya memohon dengan segala kerendahan hati dan penyesalan, ampunan dari Apuk untuknya. Saya yang gagal dalam mendidiknya. Saya hanya ingin sebagai orang tua,  memperbaiki kegagalan ini. Jadi, sekali lagi, saya mohon, izinkan Cucu Apuk untuk dinikahi Putra saya. Karena dalam hal ini, Safira-lah korban sesungguhnya."

Ombak tak pernah melihat ayahnya sampai merendahkan diri pada orang lain seperti ini. Ombak merasa begitu bersalah melihat wajah malu ayahnya.

"Dengan satu syarat." Akhirnya Apuk Mardi membuka suara. Semua orang kini menatapnya dengan tegang. "Mereka boleh menikah, tapi tidak boleh tinggal bersama."

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang