36

7.5K 2.2K 118
                                    

Abaikan typo. Boro-boro sempat ngedit saya.😭

🌊🌊🌊

"Apa aku bisa minta tolong?"

Ombak kembali terkejut. Sejujurnya dia tak menyangka bahwa tadi Safira-lah yang menelepon. Wanita itu menggunakan ponsel Nung Astiti. Dan sekarang, Safira malah meminta pertolongan. Bukankah itu keajaiban?

"Tentu saja. Katakan apa yang kamu inginkan?"

"Soal anak-anak."

"Anak-anak? Ada apa dengan mereka?"

"Bisakah kamu menjemput mereka saat pulang sekolah? Aku tahu kamu sibuk-"

"Tidak. Tentu saja aku bisa."

"Syukurlah."

"Hanya itu?"

"Satu lagi, apakah anak-anak bisa menginap di tempatmu?"

Ombak tidak langsung menjawab. Safira kembali mengejutkannya.

"Ombak? Kamu masih di sana?'

"Tentu. Aku ... hanya terkejut saja."

"Apa kamu keberatan?"

"Tidak sama sekali. Aku malah sangat senang." Ombak bisa mendengar helaan napas lega Safira. Namun, sekarang Ombak jadi bertanya-tanya alasan wanita itu melakukan  hal ini." Sebelumnya Safira tak akan pernah meminta Ettan dan Hayi menginap di tempatnya begitu saja.

"Bagus. Kalau begitu setelah pulang sekolah, kamu bisa membawa anak-anak ke rumahku dulu. Untuk mengambil seragam dan buku mereka."

"Baiklah." Ombak menahan diri untuk tidak bertanya. Dia harus puas dengan kemajuan yang didapatkannya sekarang. Lelaki itu berjanji akan mencari tahu sendiri.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

"Akan kututup teleponnya."

"Silakan."

Cara menutup obrolan yang sangat sopan. Ombak merasa tak nyaman. Dia benci sama-sama bersikap sopan dengan Safira karena itu berarti mereka memiliki jarak.

Telepon itu akhirnha benar-benar ditutup. Ombak menatap layar ponselnya yang masih menampilkan fotonya dan Safira saat menikah dulu. Langit yang mengambil potret itu. Mereka tidak tersenyum, tapi tetap saja foto itu sangat berarti bagi Ombak.

******

"Jangan nakal di sana ya," nasihat Safira pada kedua anaknya.

"Emangnya Adik pernah nakal, Bu?" tanya Hayi duduk yang di pinggir ranjang sembari memeluk bonekanya. Bocah perempuan itu ngotot mau membawa boneka besar yang dibelikan ayahnya ke rumah Nenek mereka.

"Tidak pernah," ucap Safira lalu tersenyum.

"Terus, kenapa Ibu nasihatin begitu?"

"Karena Ibu tidak mau kalian merepotkan di sana."

"Merepotkan itu kayak gimana, Bu?"

Safira menutup resleting tas besar berisi saragam anaknya. Tas itu dibawakan Ombak tadi, hingga Safira terpaksa packing ulang pakaian yang telah dimasukkannya dalam kantung kresek.

"Pokoknya kalau Adik bersikap semanis ini terus, tidak akan membuat Nenek, Om atau Ayah kesusahan."

"Adik janji, Ibu. Adik bakal manis terus."

"Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama. Oya, Bu, Adik boleh cerita?"

"Memangnya Ibu pernah melarang?"

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang