Aku menyukaimu, kamu juga harus menyukaiku.
Safira tersenyum melihat hasil tulisannya. Ini surat ke empat. Dan terhitung ini kali ketiga ia menulis di kertas surat hadiah dari Ombak.
Gadis itu melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia kemudian menyimpannya di dalam tas.
Aman. Tugasnya selesai. Meski Ombak tak pernah membalas suratnya, Safira tak keberatan. Ia suka melakukannya.
Tiga puluh menit lagi, gadis itu harus tidur. Ia sudah menyelesaikan PR-ya lebih awal agar bisa menulis surat. Safira memiliki rencana malam ini. Tiga puluh menit terakhirnya akan digunakan untuk mengamati pohon bambu di kebun belakang.
Nung Astiti menceritakan sering ada sosok putih melompat-lompat di sana. Kadang juga ada sosok perempuan berambut panjang yang sering menangis hingga tengah malam. Safira penasaran setengah mati ingin melihatnya.
Meski jam tidurnya pada pukul setengah sembilan, tetap saja rumah kakeknya yang berdekatan dengan hutab membuat daerah itu sangat terpencil dan sepi.
Meski listrik telah masuk, tapi pada jam sembilan malam semua lampu dipadamkan. Itu perintah kakeknya.
Safira beranjak menuju jendela dan membukanya. Lampu di bagian belakang rumah telah dimatikan. Gelap gulita langsung menyambutnya.
"Ayo keluarlah ...," bisik Safira pada sosok yang mungkin berada di luar sana. "Kasihanilah aku. Muncullah, sekali saja. Aku mohon ...."
Safira mendesah. Ia melirik ke arah laci meja belajarnya yang sudah tua. Di sana tersimpan persediaan menyan yang untuk mendapatkannya harus menitip pada Sahir-- teman sekelasnya yang jarang masuk sekolah karena sibuk menjual burung di pasar induk.
Gadis itu harus menyisihkan uang sekolahnya yang tak seberapa untuk membeli menyan dan uang ongkos pada Sahir. Dan mengingat telah menghilangkan salah satu bejana kecil wadah menyan kakeknya, Safira harus mengumpulkan uang untuk menggantikan. Bejana itu dari perak.
Safira ingin sekali membakar menyan. Katanya itu sangat disukai makhluk halus. Namun, membakar menyan akan membuatnya ketahuan. Kakeknya tidak suka Safira melakukan sesuatu diluar izinnya.
"Dasar setan tidak berperasaan," ujar Safira kesal. Ia menyerah. Percuma saja memelototi pohon-pohin bambu itu. Gadis itu kemudian menutup jendela dan beranhak ke tempat tidur.
Tiga puluh menitnya berakhir sia-sia. Tak satu makhlukpun yang muncul. Sepertinya mereka berkomplot untuk membuat Safira sebal.
*****
Safira duduk dengan lemas. Pipinya bersandar di meja. Ia menatap tembok kelasnya dengan nelangsa.
Waktu keluar main sudah tiba. Anak-anak lain di kelasnya segera menuju kantin atau lapangan sekolah. Safira sendiri tidak berniat kemana-mana.
Titin--teman sebangkunya--memberitahunya kabar yang membuat perut Safira tambah mulas. Dia memang sedang menstruasi, dan informasi dari Titin membuat suasana hatinya bertambah kacau.
Pak Yasir--si mandor lama-- menemukan sebuah bejana perak di dekat pematang ladang jagung pagi ini. Konon katanya, Pak Yasir menemukan itu saat sedang berjalan-jalan pagi.
Jika sampai kakeknya tahu, Safira pasti akan dimarahi. Namun, yang membuat Safira lebih takut lagi adalah orang yang dipergokinya sedang olahraga disemak-semak ladang jagung itu, akan tahu tentang dirinya.
Safira rasanya ingin menangis. Uang untuk menngganti bejana itu saja belum terkumpul. Sebelum kakeknya itu tahu bejana miliknya, Safira harus segera menggantinya. Karena itu, meski sangat lapar karena tadi pagi tidak sarapan, Safira menahan diri. Ia akan menabung uang jajannya. Semoga setelah mungkin ... tiga bulan, Safira bisa membeli bejana untuk kakeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Ombak
Romance(DALAM PROSES PENERBITAN) Ombak tak bisa dikejar, sama seperti tak dapat digenggam. Kakeknya mengatakan itu pada Safira. Namun, perasaanya yang terlalu besar membuatnya bebal. Hingga di suatu hari Safira dihantam kenyataan, Ombak memang selalu data...