Part 23

8.5K 2K 274
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

























🌊🌊🌊

"Hentikan. Aku lelah."

Selalu berhasil. Safira tersenyum lebar melihat ekspresi Ombak yang seperti harus menelan batu. Safira takjub pada kekuasaan yang dimilikinya sekarang. Ombak hampir bisa dikatakan menuruti semua ucapannya.

Ombak melepaskan bibirnya dari dada Safira. Namun, tangan lelaki itu masih menangkupnya. Safira menatap Ombak gemas. Ekspresi suaminya seperti anak kecil yang tidak diberikan susu.

"Itu sama saja, kamu memijitnya."

"Aku hanya membantumu memasukkanya lagi."

Safira berdecak. Wanita itu kemudian merapikan bra-nya dan mengancing baju. Suara hela napas Ombak, terdengar keras.

"Kamu  sudah berjanji kita tidak akan melakukannya hari ini," protes Safira saat melihat suaminya memasang ekspresi lelaki teraniaya.

Mereka melakukannya hampir setiap hari. Hanya saat hari libur dan mereka tidak  bertemu  Ombak tak menyentuh Safira.  Lagi pula, suasana hati Safira agak kacau hari ini. Sebenarnya, suasana hatinya kacau sejak awal minggu. Mendadak dia sering merasa sedih tanpa alasan.

"Maafkan aku. Tangan dan mulutku hanya memiliki keinginan sendiri saat berada di dekatmu."

Safira geleng-geleng kepala mendengar alasan suaminya.

"Aku melihatmu keluar dari kelas lebih awal lagi. Selalu menjadi yang pertama. Padahal kami hampir mati sakit kepala menghadapi soal-soal itu," keluh Safira.

"Benarkah?"

"Iya. Kamu tidak lihat, suasana hatiku memburuk karena itu. Kamu selalu keluar duluan. Kamu menjadi pembicaraan anak-anak dan guru."

"Kenapa mereka membicarakanku?"

"Karena itu keren sekali! Apalagi ada bocoran dari Shanum yang dekat dengan Bu Tika, mengatakan bahwa hasil ujian sekolahmu sempurna." Safira mendesah. "Itu tidak adil! Katakan bagaimana kamu melakukannya?" tanya Safira dengan takjub.

"Melakukan apa?"

"Menyelesaikan soal-soal keji itu  selalu lebih awal dari waktu pengumpulan ?"

"Dengan menjawabnya satu-persatu."

"Kalau hal itu, tentu saja aku tahu."

"Lalu kenapa bertanya?"

"Yang kutanyakan kenapa kamu tidak kesulitan?! Seperti mayoritas kami siswa lain?"

"Rumusnya sudah pasti."

"Rumus apa?"

"Rumus soalnya."

"Aku tahu, tapi kan butuh waktu untuk menghitung."

"Iya."

"Lalu bagaimana bisa? Kamu menyelesaikan 50 soal begitu saja?"

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang