Part 38

11K 2.2K 345
                                    

🌊🌊🌊

"Kita tak bisa membiarkan ini begitu saja," Pak Yasri berkata dengan berapi-api. "Kamu lihat kan, Dolah, apa yang dia lakukan pada kita?"

Dolah mengangguk. Pria kurus itu mendongak. Menatap ke arah atap rumahnya yang tak memiliki langit-langit. Genteng rumahnya sudah berubah warna karena dimakan usia. Beberapa tempat mengalami kebocoran. Dolah sudah berusaha memperbaikinya, tapi tidak maksimal. Dia tak memiliki uang untuk membeli bahan baru yang dibutuhkan.

"Bukan ini hidup yang pantas kamu dapatkan. Yang pantas kamu terima!" tekan Yasri saat menyadari tatapan Dolah. "Kamu mau terjebak dan mati di rumah tua ini?"

Dolah menggeleng. Dia ngeri membayangkan ucapan Yasri jika terwujud.

"Aku juga tidak. Tapi keparat sombong itu membuatku jadi pengangguran. Dia tidak hanya membuat kita kehilangan mata pencaharian, tapi juga menginjak-injak harga diri kita. Di desa sekarang, kita dilihat seperti sampah! Beberapa orang bahkan membicarakan kita di belakang. Menyebut kita maling!"

Dolah terdiam.

"Aku tahu kenapa kamu sampai pindah ke rumah orang tuamu yang bobrok ini. Itu karena kamu harus membayar hutang istrimu yang menumpuk pada rentenir itu bukan?"

Dolah mengangguk muram. Hidupnya memang susah karena memiliki istri banyak tingkah. Namun, masalahnya Dolah cinta mati pada wanita itu.

"Lihat, apa yang si bangsat itu lakukan pada hidup kita?"  Yasri menggeram. Sikap diam Dolah membuatnya risau. Dia tak mau pulang tanpa hasil malam ini. "Aku sebenarnya tidak akan sesakit hati ini jika si Ombak itu hanya memecatku, tapi dia juga memecat orang-orang yang berjasa pada pabrik. Orang-orang yang dia singkirkan karena mengira kaki tanganku. Aku merasa bersalah pada kalian semua. Kalian terseret perseteruan kami. Tindakan ini tidak adil, ini adalah aksi balas dendam."

Dolah bereaksi dan Yasri tahu harus memberi  bahan bakar  lebih banyak lagi.

"Kamu hanya membantu mengangkut pupuk." Yasri berusaha memperhalus tindakan Dolah yang terlibat dalam aksi korupnya. "Dan kamu mendapatkan keuntungan dari uang jalan, hanya sedikit lebih banyak dari sopir yang dulu. Kenapa dia harus mempermasalahkan itu? Dia kan kaya raya. Dia saja  mendanai hidup jandanya bertahun-tahun dengan nilai yang besar, lalu mengapa kamu yang hanya mengambil sedikit untuk membayar hutang istrimu malah ditendang?"

Cuping hidung Dolah mengembang, amarahnya mulai tersulut. Dia jadi mengingat semua penderitaan dan hinaan yang harus diterima setelah tak bekerja. Dia dilihat sebagai maling oleh penduduk desa. Mereka yang sangat bergantung pada pabrik gula dan menghormati pemiliknya menganggap Dolah penjahat terkutuk. Bahkan mertuanya yang tak tahu malu meminta istri Dolah menuntut cerai. Tua bangka itu tak membiarakan anaknya ikut Dolah pindah ke tempat terpencil ini.

"Dan apa kamu tahu bahwa dia sudah memilki penggantimu?"

"Apa?!" tanya Dolah kaget. Dari semua yang diucapkan Pak Yasri, inilah yang paling mengejutkan Dolah.

Yasri hampir menyeringai saat  Dolah akhirnya membuka suara. Wajah kuyu pria kurus itu kini menegang  di bawah lampu rumahnya yang agak redup, wajah Dolah masih bisa terlihat merah.

"Fikri. Namanya Fikri. Anak pedagang es di depan pasar induk."

"Pak Yasri serius?"

"Menurutmu untuk apa aku sampai ke sini jika hanya mau berbohomg?"

"Dari mana Bapak tahu?"

"Aku sedang menemani Istriku berbelanja saat  melihat Onbak dan anak-anaknya membeli es di sana. Saat mereka pergi istriku malah minta beli juga. Ketika membeli itulah aku mendengar suami istri pedagang es itu bercerita. Bangsat benar, kita dianggap maling, tapi dia malah menawarkan pekerjaan pada orang lain. Orang luar."

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang