Part 31

8.2K 2.3K 163
                                    

Telat ya apdetnya? Maapin, ngumpulin niatnya yang lama.😔💜



🌊🌊🌊

Air dingin telah mampu mengembalikan akal sehat dan pengendalian diri Safira. Setelah memaki diri sepuasnya di kamar mandi, sekarang Safira sudah bisa memaafkan diri. Tidak sepenuhnya memang.

Apa yang terjadi antara dirinya dan Ombak tadi adalah kesalahan. Namun, Safira harus akui bahwa daya tarik maskulin lelaki itu begitu besar. Dan meski ada kebencian dalam diri Safira, sisi murahan dalam dirinya jelas membutuhkan sentuhan pria.

Sudah sepuluh tahun. Untuk orang yang memiliki pengalaman seks luar biasa saat remaja dulu, Safira rasa wajar jika absen sepuluh tahun membuatnya merindukan hal itu. Terlebih sekarang sosok yang selalu memberinya kenikmatan itu tak segan-segan menawarkan diri.

"Boleh ya, Bu?"

Pertanyaan Ettan membuat Safira sadar kembali dari lamunannya. Mereka tengah berada di meja makan. Sehabis mandi anak-anaknya meminta sarapan lagi. Safira membuatkan nasi goreng kampung dengan telur dadar dan kerupuk. Itu menu kesukaan si kembar yang tampaknya juga menjadi kesukaan ayahnya. Karena belum tiga menit piring Ombak sudah kosong.

"Mau tambah lagi?" tanya Safira pada Ombak.

"Bukannya sudah habis?"

Di wajan memang sudah habis. Namun, di piring Safira sendiri masih tersisa banyak. Mengingat kebodohannya beberapa saat lalu, ia jadi tidak nafsu makan.

"Nasiku tidak habis." Safira tahu bahwa dulu Ombak tak segan berbagi makananya dengannya. Namun, setelah sepuluh tahun, mungkin saja hal itu telah berubah. "Maaf, maksudku, mungkin kamu ... tidak, tidak jadi saja. Maaf-"

"Aku mau. Kenapa harus minta maaf?"

"Karena ini agak ...."

"Intim?"

"Intim itu apa, Ibu?" tanya Hayi.

Safira memelototi Ombak yang terlihat merasa bersalah.

"Kamu sudah selesai, atau hanya mau berbagi?" tanya Ombak sengaja tak menjawab Hayi untuk menyelamatkan diri dan Safira.

"Aku tidak habis. Tidak nafsu makan."

"Sudah wajar, tak nafsu."  Ombak menyeringai saat melihat Safira kembali melotot. "Aku pakai piringmu saja."

Safira mengangguk. Ia mengganti piring Ombak dengan piringnya.

Lelaki itu langsung lahap makan.

"Ibu, boleh ya?" Ettan yang sudah melihat kesempatan untuk bisa bertanya lagi, kembali melakukannya. "Sekali aja."

"Boleh apa, Nak?"

"Boleh nggak kita pergi sama Ayah?"

"Eh?"

"Ayah mau ajakin pergi ke mall," ujar Hayi. "Adek mau dibeliin boneka gede kayak di tivi-tivi. Boleh ya, Bu. Boleh ya?"

"Adek kan sudah punya boneka."

"Tapi nggak pernah pergi ke Mall."

"Mall kan jauh, Sayang."

"Cuma dua setengah jam," balas Ombak. "Ini hari libur, mereka bisa berpergian sepanjang hari. Kecuali kamu mau kita menghabiskan waktu di rumah saja."

Safira berdehem. Setelah insiden di kamar, sulit rasanya menatap Ombak setiap mengungkapkan hal yang menjurus ke sesuatu yang intim. Kemenangan di wajah lelaki itu membuat Safira mau mengurung diri lagi.

"Tapi pulang perginya jadi lima jam. Dan itu tidak dihitung waktu kalian di sana."

"Wah sekarang otakmu sudah bisa dipakai untuk berhitung rupanya."

Mengejar OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang