DEPARTURE

2.1K 93 3
                                    

•°☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•°☆

Selama perjalanan, Brianna hanya diam. Di saat-saat terakhir bersama sahabatnya, seharusnya ia gunakan dengan baik, tapi dia merasa tidak ada keinginan sama sekali bahkan untuk menoleh ke arah sahabatnya yang menyetir di sampingnya.

Zionathan sengaja tidak menyalakan lagu karena dia ingin mengobrol bersama Brianna dan mendengar suara gadis itu baik-baik, tapi dia malah sama sekali tidak bersuara. Zionathan tahu pasti Brianna sedih karena dirinya harus pergi ke tempat yang jauh darinya. Ini pertama kalinya dalam hidup mereka harus berpisah.

"Ngobrol dong, Bri. Masa kacangin aku?" tanya Zionathan menarik tangan Brianna, namun segera gadis itu tepis.

"Ngobrol apa sih? Udah ah, fokus aja nyetir." Terdengar nada sebal dari gadis yang ia ajak bicara.

Tak tahan dengan keheningan ini, Zionathan pun menepikan mobilnya ke pinggir membuat Brianna bertanya-tanya. "Eh? Kok melipir sih, Zi? Ini kamu telat nanti."

"Bisa beli lagi."

Brianna mendengus kasar. "Aku tau kamu bisa beli lagi. Mau sepuluh juga bisa, tapi sayang dong kalau tiketnya hangus. Mau apa sih emang sampai melipir gini?"

"Aku mau kamu ngobrol. Masa aku mau pergi kamunya diem terus dari tadi? Harusnya kita ngobrol."

Brianna menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya panjang. "Gak ada energi aku buat ngobrol sama kamu."

Zionathan berdecak sebal sebelum menarik wajah Brianna agar menatapnya. "Masa gitu? Jangan kangen lho, ya nanti."

Brianna menepis tangan Zionathan. "Apaan sih? Geer! Udah, jalan lagi."

Zionathan pasrah membujuk Brianna dan kembali melajukan mobilnya menuju bandara.

*****

Semua orang sudah menunggu di bandara. Ada orang tua dari Brianna dan Zionathan, juga teman-teman semasa SMA laki-laki itu. Mereka semua orang-orang yang mengantar Zionathan sebelum dia pergi meninggalkan kota ini.

"Kamu hati-hati, ya, Nak," ujar sang perempuan berusia 42 tahun, yang sangat cantik dan anggun bernama Dianna, Ibu dari laki-laki yang tingginya mencapai 185 cm ini.

Zionathan mengangguk kemudian memeluk Dianna dilanjut memeluk Aaron, sang ayah. Laki-Laki yang rambutnya sudah muncul sedikit uban itu menepuk punggung anaknya beberapa kali sebelum melepaskan pelukannya.

"Jangan aneh-aneh di sana. Mentang-Mentang gak ada kita bukan berarti kamu bisa bebas. Kamu ngerti mana yang baik dan mana yang buruk," pesan Aaron pada anak satu-satunya yang begitu ia sayangi.

"Siap, bos," jawabnya.

Zionathan menghampiri orang tua dari Brianna. Ia memeluk Ayah dari sahabatnya itu. "Jangan kangen Zio, ya, Om."

Laki-Laki itu berdecih dan membalas pelukan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. "Masih aja ngeselin. Kalau ada cewek-cewek bule, kenalin."

Retta langsung melemparkan tatapan membunuhnya pada suaminya. Zionathan terkekeh. "Hayo, Om. Tuh, mata Tante udah ada duri-durinya. Siap nusuk Om."

"Maksudnya buat Om nilai. Cocok gak sama kamu," balas Helios. Sengaja menjahili istrinya.

Zionathan menggeleng kecil lalu beralih kepada wanita yang sudah cukup berumur mengenakkan dress bermotif bunga-bunga membuatnya terlihat menawan. Zionathan ingin memeluknya, tapi gadis dengan wajah cemberutnya itu menghalanginya. Dia asik memeluk ibunya dengan erat.

"Brianna, Mama mau pamitan dulu sama Zionathan ini. Kamu gak mau pamitan gak apa-apa, tapi Mama mau soalnya Mama tau gak akan ada waktu lagi."

Brianna berdecak dan melepaskan pelukannya. Gadis itu melangkahkan kakinya menghampiri Dianna untuk ia peluk juga. Dianna tersenyum sebelum membalas pelukan Brianna dan mengelus rambutnya.

"Yakin gak mau pamitan?" Dianna menunjuk Zionathan yang kini sudah berpamitan dengan teman SMA-nya.

Brianna menggeleng dan menyembunyikan wajahnya di bahu Dianna. Lebih tepatnya menyembunyikan air yang menggenang di pelupuk matanya.

Zionathan yang selesai berpamitan dengan semuanya pun kini kembali menghampiri Brianna. Zionathan tidak akan mungkin bisa pergi dengan tenang jika dia tidak berpamitan dengan gadis kecilnya.

"Bri..."

Dianna berusaha melepas pelukan Brianna. Meskipun sedikit sulit karena awalnya Brianna bersikeras tidak mau berbicara dengan Zionathan, tapi Brianna berhasil Dianna singkirkan dari tubuhnya.

Dianna mengelus sayang wajah Brianna. "Ngobrol dulu. Kita tunggu di depan, ya."

Dianna dan Aaron beserta orang tua Brianna meninggalkan mereka berdua untuk berbicara. Mengerti mereka membutuhkan waktu sendiri, teman-temannya pun berpamitan terakhir kali dan meninggalkan mereka berdua.

"Pergi, ya tinggal pergi. Ngapain sih pamit-pamitan?" Brianna protes dengan kepala tertunduk memperhatikan kakinya yang hanya terbalut sandal jepit rumahan.

Zionathan mendesah berat dan menarik dagu Brianna. "Masa kamu marah sih? Aku, kan ke Bali doang. Aku pasti juga bakal dering hubungin kamu."

"Ngapain?"

"Ya, aku harus mastiin keadaan kamu. Setiap hari kalau bisa. Emangnya gak mau kalau aku telepon tiap hari?"

Brianna bersidekap dada dengan wajah yang masih cemberut. "Gak usah ngomong gitu kalau gak akan ditepatin, Zionathan Hageswara."

Zionathan melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Ia sudah harus masuk ke dalam sebelum semakin telat. Laki-Laki itu membawa tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya. Dagunya ia letakkan di atas kepala Brianna. Tinggi Brianna yang hanya mencapai dagunya memudahkan Zionathan untuk berbuat demikian.

"Aku udah harus pergi. Aku tau ini pertama kalinya kita pisah jauh gini, tapi bukan berarti aku bakal lupa sama kamu. Gak mungkin juga, Bri. Jadi, jangan sedih apalagi sampai marah sama aku.

Brianna meruntuhkan pertahanannya. Dia mengangguk perlahan dan membalas pelukan itu. "Hati-Hati. Jangan sampai lupa jaga kesehatan. Kamu kalau sibuk pasti lupa sama kesehatan sendiri."

Zionathan mengangguk dan melepaskan pelukannya. "Aku duluan, ya. Kamu hati-hati pulangnya. Tau, kan di mana orang tua kita?"

Brianna mengangguk. "Tau. Udah, sana. Telat kamu."

Zionathan tersenyum lega. Setidaknya ia tidak pergi dengan keadaan Brianna yang masih tidak mau bicara dengannya. Ia mengacak puncak kepala gadis itu sebelum menggendong tasnya dan berjalan masuk menuju herbang penerbangannya.

Brianna tersenyum sedih sebelum memutar tubuhnya dan berjalan menuju di mana orang tuanya berada.

Dulu, Brianna selalu merasa bahwa sampai kapan pun langkah kaki mereka akan selalu membawa mereka ke arah yang sama, tapi hari ini pikirannya berhasil dipatahkan. Brianna hanya berharap ia tidak akan kehilangan Zionathan sebagai seorang sahabat juga kakak laki-laki yang selalu ada untuknya.

*****
TBC
SPAM NEXT!!
Vote dan Komen yaa!!🌻✨️

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang