Naira menatap kedua sahabatnya jengah. Baru saja kakinya menginjak lantai kelas, dia sudah di serang dengan pertanyaan secara beruntun. Tanpa memperdulikan ocehan sahabatnya, dia melangkahkan kakinya menuju kursi yang kosong.
Gea dan Alifa saling tatap, setelah itu mereka berdua mengikuti Naira. Terdengar suara kursi yang di geser. Naira tahu siapa yang melakukan hal itu.
"Nai, aku dengar Arka di keluarkan oleh pihak kampus," ucap Alifa dengan wajah penasarannya.
"Hu'um, padahal menurut gue dia tidak melakukan kesalahan. Lo tau sendiri kan dia orangnya disiplin, belum lagi dia aktif dalam pelajaran," cerocos Gea. Naira tersenyum miris, jika mereka mengetahui yang sebenarnya, mereka tidak akan memuji Arka seperti itu.
Hembusan napas terdengar, dia menegakkan tubuhnya. "Kalian tau gak? Arka yang kita kenal baik, ternyata hanya bagian dari rencana jahatnya." Gea dan Alifa mengerutkan keningnya. Mereka belum paham dengan apa yang Naira katakan.
Melihat ekspresi sahabatnya, Naira mulai melanjutkan ucapannya. "Arka hampir menyentuh diri gue." Naira mengepalkan tangannya saat mengingat kejadian itu. Ingin sekali dia menghajar wajah yang sudah menatapnya remeh.
"Gak mungkin," sahut Gea. Naira menatap Gea datar, seperti yang dia tahu kalau sahabatnya tidak akan percaya.
"Tapi bagaimana bisa, sedangkan kita tau kalau Arka itu orang baik. Sifatnya sama persis seperti Rian." Alifa masih belum percaya dengan semua ucapan Naira. Karena dia tahu jika Arka adalah lelaki yang baik. Tidak mungkin dia akan melakukan hal buruk itu kepada Naira.
Naira mulai menceritakan semuanya dari awal dia di jebak oleh Arka sampai dengan Arka yang hampir menyentuhnya. Dan terakhir Farzan yang datang secara tiba-tiba.
Alifa menutup mulutnya terkejut, sedangkan Gea hanya menatap lurus ke depan dengan tangan mengepal kuat. Ya, dia sangat marah saat mendengar penjelasan Naira.
"Dan Farzan melaporkan ini kepada pihak berwajib," putus Naira.
Gea dan Alifa memeluk Naira erat, mereka merasa gagal menjaga sahabatnya. Tapi mereka bersyukur karena Naira tidak di sentuh oleh lelaki bajingan itu.
"Emm, Lif, bisa bantu gue gak?" ucap Naira tiba-tiba.
"Apa?"
Naira terdiam sejenak, dia menatap Alifa dengan tatapan yang sulit di artikan.
▪︎▪︎▪︎
Hari mulai sore, Naira bersandar manja di dada bidang Farzan. Farzan sekarang tidak ada jadwal oprasi, jadi dia bisa leluasa menemani istri kecilnya.
Namun, Naira menatap kesal ke arah Farzan. Karena sejak tadi siang, Farzan fokus dengan ipad di tangannya. Ya, meskipun dia tidak ke rumah sakit, tapi Farzan masih memantaunya dari kejauhan. Belum lagi, dia sekarang mengurus kampus yang sudah beberapa hari dia tinggalkan.
Naira menatap ponselnya, dia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul empat. "Lama banget sih," batin Naira, lalu dia memeluk lengan Farzan. Dia menatap film di depannya dengan malas.
Tak lama kemudian suara bel rumah terdengar sangat keras. Farzan tersentak, saat Naira tiba-tiba berlari menuju ke arah pintu yang berada tidak jauh dari sana.
"Faizah jangan lari." Namun, Naira tetap berlari. Farzan mendengus kesal. Seperti biasa Naira tidak akan mendengarnya.
Senyuman bahagia terbit di bibir mungilnya. Hal yang sangat dia nantikan akhirnya datang juga. Naira berjalan menuju kamarnya, tanpa menghiraukan Farzan yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Melihat kepergian istrinya, Farzan berniat untuk mengikuti Naira. Dia membuka pintu kamarnya, disana Naira yang sibuk membuka bungkus paket tersebut. Farzan tidak tahu apa isinya, karena paket tersebut sangat besar.
"Faizah." Naira yang tadinya sibuk membuka paket akhirnya menoleh ke arah suaminya yang sudah berdiri di ambang pintu.
Naira menghentikan kegiatannya, dia meletakkan paket tersebut di nakas. "Aa ngapain ke sini?" tanya Naira.
Farzan melangkahkan kakinya mendekati Naira, dia mendaratkan bokongnya di ranjang. "Aku ingin tau apa yang kamu pesan sampai besar kaya gitu." Naira melirik paketnya, memang tadi dia belanja banyak dengan bantuan Alifa. Naira bisa saja belanja kebutuhan baru itu di mall, hanya saja dia sedang malas untuk pergi keluar. Entah kenapa akhir-akhir ini dia begitu tidak bertenaga untuk melakukan sesuatu.
"Tidak penting hanya kebutuhanku saja," ucap Naira apa adanya. "Kebutuhan baru yang akan mengubah hidup gue," lanjutnya dalam hati.
Farzan ber'oh'ria, dia menatap jam tangannya. "Aku mandi dulu," ucapnya lalu beranjak dari duduknya. Farzan menutup pintu kamar mandi tersebut.
Saat melihat Farzan sudah masuk ke kamar mandi, Naira pun melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
"Bagus banget, tapi gimana cara pakainya, ya?" gumam Naira. Dia menatap pakaian panjang itu dengan warna yang tidak mencolok kesukaan Naira.
Saat tidak mendengar suara air di kamar mandi, Naira pun memasukkan pakaian tersebut ke dalam lemari miliknya.
Seperti dugaannya, Farzan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
Naira membulatkan matanya, apakah Farzan tidak tahu jika ada dirinya disini? Pikirnya. "Bajuku ketinggalan," ucap Farzan membuat Naira tersentak kecil.
Naira menutup pipinya yang memerah, dia mengambil baju Farzan lalu meletakkan di atas kasur. Setelah itu dia berlari kecil keluar dari kamar.
Farzan hanya terkekeh kecil, padahal dia sudah sering telanjang dada seperti ini. Tapi istrinya masih saja seperti itu.
▪︎▪︎▪︎
Entah apa yang terjadi, Naira merasa perutnya bergejolak aneh. Sejak tadi pagi, dia bolak balik ke kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Namun, yang keluar hanya cairan bening.
Naira menopang tubuhnya di wastafel, hari ini Farzan tidak ada karena dia harus ke rumah sakit tadi subuh. Naira berjalan perlahan keluar dari kamar mandi.
"Ini Nak, minum dulu." Naira mengambil gelas tersebut, lalu dia meminumnya hingga setengah. Bi Inah mengambil gelas tersebut lalu menyimpannya di nakas. Dia memijat kepala Naira, membuat sang empu memejamkan matanya.
"Bi Inah panggil Nak Farzan dulu ya," ucap Bi Inah lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Namun, gerakannya terhenti saat Naira memegang tangannya.
"Tidak usah Bi, Naira baik-baik saja kok. Mungkin ini hanya masuk angin biasa," ujar Naira sambil tersenyum mencoba menyakinkan Bi Inah.
Bi Inah tampak berpikir, lalu dia menganggukkan kepalanya. "Bi Inah panggil dokter saja, jika Nak Naira tidak mau ke rumah sakit. Soalnya Bi Inah tidak yakin, jika Nak Naira hanya masuk angin biasa." Naira mengerutkan keningnya, emangnya dia kenapa jika bukan masuk angin.
Bi Inah hanya tersenyum, lalu dia keluar dari kamar untuk memanggil Dokter. Melihat Bi Inah yang sudah pergi. Naira mengambil ponselnya, dia melihat deretan angka di benda pipih tersebut.
"Gue sudah telat satu bulan, kenapa gue baru sadar ya." Naira menggigit kukunya cemas. Jika dia sudah telat, apa jangan-jangan? Naira menggelengkan kepalanya. "Berpikir positif Naira, gak mungkin kan gue hamil. Tapi, gue sudah melakukannya, besar kemungkinan gue bakal hamil."
Naira membaringkan tubuhnya seraya menunggu Dokter datang. Dia mencoba untuk tidak memikirkan hal itu.
▪︎▪︎▪︎
TBC!
Jangan lupa tinggalkan jejak bestih, ga bayar kok cmn tinggal tekan bintangnya doang:v🌟

KAMU SEDANG MEMBACA
02:00 (Aku menikah?!)
Teen FictionPART MASIH LENGKAP! FOLLOW SEBELUM MEMBACA!! BACA DARI AWAL JANGAN LANGSUNG BACA ENDINGNYA! Saat aku terbangun dari komaku. Aku mendapatkan dua kenyataan dalam hidupku. Pertama ayahku meninggal dan kedua aku sudah menikah. Terkejut? Sudah jelas! Aku...